Fenomena Alam

Ada Apa Sih dengan Matahari Lockdown? Berikut Penjelasan LAPAN

Terkait dengan kondisi lockdown matahari ini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memberikan penjelasannya.

Tribun Jabar
Ilustrasi matahari lockdown dan penjelasan LAPAN 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Saat ini matahari memasuki fase minimum matahari, dimana aktifitas permukaan matahari berkurang ditandai dengan berkurangnya bintik hitam matahari.

Belakangan media luar mengistilahkan, fase minimum matahari ini dengan istilah “ lockdown matahari”.

Terkait dengan kondisi lockdown matahari ini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memberikan penjelasannya.

“Fase lockdown itu istilah yag salah kaprah ya, (yang betul) fase minimum iya,” ujar Kepala Bidang Diseminasi Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Emanuel Sungging saat dihubungi Kompas.com Senin (18/5/2020).

Fenomena Langit di Bulan Mei 2020, Hujan Meteor, Supermoon hingga Matahari Tepat di Atas Kabah

Aktivitas matahari berkurang

Pihaknya menjelaskan, fase minimum matahari muncul ketika tanda-tanda aktivitas matahari sangat berkurang yaitu ketika bintik matahari lama tidak terlihat dari piringan matahari.

“Berlangsungnya bisa lama, bisa sebentar, kami belum benar-benar memahami,” lanjut dia.

Sungging mengatakan, kondisi saat ini memang tengah berada dalam kondisi minimum matahari. Adapun berdasarkan data dari Pusat Prediksi Cuaca Luar Angkasa Amerika Serikat (SWPC NOAA) kondisi minimum matahari terjadi pada April 2020 dan diperkirakan akan berlangsung kurang lebih selama 6 bulan.

Lebih lanjut, Sungging menjelaskan, bintik matahari berkaitan dengan aktivitas matahari yang biasanya memiliki siklus 11 tahun matahari.

“Ada kalanya dia penuh bintik, ada kalanya kosong, nah kalau lagi banyak bintik, artinya Matahari sedang aktif, dan itu bisa berdampak pada teknologi antariksa,” ujar dia.

Selanjutnya apabila matahari sedang mengalami minim aktivitas, Sungging menyebut bisa tanpa bintik matahari sama sekali.

Adapun siklus 11 tahun tersebut merupakan rerata yang berarti waktu periodesasinya bisa kurang dan bisa lebih.

Siklus sebelumnya merupakan minimum siklus ke-24 yang berawal di sekitar tahun 2009-2010.

Sedangkan yang saat ini terjadi merupakan minimum siklus ke-25 yang terjadi pada 2020.

Dampak yang terjadi

Pihaknya menyebut, siklus minimum matahari biasanya berpotensi menimbulkan gangguan pada operasional satelit-satelit dan kegiatan lain yang terdampak keantariksaan seperti komunikasi jarak jauh serta akurasi GPS.

Berdasarkan catatan sejarah, Sungging menyebut fenomena minimum matahari juga pernah terjadi pada abad pertengahan yang dikenal dikenal sebagai Maunder Minimum.

Saat itu jumlah bintik Matahari sangat sedikit sekali selama lebih dari setengah abad.

Dampaknya saat itu adalah terjadinya peristiwa yang disebut sebagai Zaman Es Kecil (Little ice age).

Waktu Lamanya Berjemur di Bawah Sinar Matahari Disesuaikan dengan Warna Kulit Tubuh

“Tentunya pada jaman itu belum ada isu pemanasan global, jadi faktor antropogenik masih dapat diabaikan. Kalau sekarang, masih terus dilakukan kajiannya,” jelas Sungging.

Meski demikian, Sungging mengatakan ini adalah kondisi normal dari matahari karena masih terdapat grafik yang naik turun dari minimum menjadi maksimum dan kembali menjadi minimum lagi.

“Kalau tidak ada naik menuju maksimum, dan terus saja berada di minimum (karena tidak ada bintik Matahari yang muncul), nah itu baru dapat dikatakan kondisi yang tidak normal,” jelas dia.

Ilmuwan NASA itu khawatir bahwa kondisi ini bisa mengulang kejadian antara tahun 1790 dan 1830 yang disebut Dalton Minimum.

Di mana kondisi tersebut mengarah pada periode musim dingin yang brutal, kehilangan panen yang mengakibatkan kelaparan, dan letusan gunung berapi yang kuat.

Saat itu, kondisi suhu merosot hingga 2 derajat Celcius (3,6 derajat Fahrenheit) selama 20 tahun dan menghancurkan produksi pangan dunia.

Pada 10 April 1815, letusan gunung berapi terbesar kedua dalam 2.000 tahun terjadi di mana Gunung Tambora di Indonesia meletus dan menewaskan sedikitnya 71.000 orang.

Ini juga menyebabkan 'Tahun Tanpa Musim Panas' pada tahun 1816 dan ada salju di bulan Juli.

 Terus memantau

Lebih lanjut, ia mengatakan LAPAN, senantiasa memantau kondisi matahari dan akan memberitahukan apabila terdapat informasi yang penting kepada masyarakat.

Adapun untuk informasi selengkapnya ia mengatakan, masyarakat dapat mengakses melalui laman http://swifts.sains.lapan.go.id/

Sebelumnya, melansir dari The Sun, Dr Tony Phillips seorang astronom mengatakan, saat ini tengah memasuki kondisi minimum matahari terparah dalam satu abad terakhir.

"Kelebihan sinar kosmik menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronot dan perubahan udara kutub, memengaruhi elektro-kimia atmosfer Bumi, dan dapat membantu memicu petir," ujarnya.

Masih melansir dari laman tersebut, para ilmuwan NASA mengkhawatirkan hal ini bisa memicu kembali terjadinya Dalton Minimum yang pernah terjadi antara tahun 1790 dan 1830.

Pada saat Dalton Minimum terjadi suhu menjadi sangat dingin, muncul letusan gunung berapi, gagal panen dan timbulnya kelaparan.

Letusan Gunung Tambora di Indonesia pada 10 April 1815, yang menewaskan sedikitnya 71.000 orang juga dianggap berhubungan dengan Dalton Minimum saat itu.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Penjelasan Lapan tentang Fenomena Lockdown Matahari, Apa Dampaknya?"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved