Virus Corona
Perseteruan FKM UI dengan Pemerintah, dr Shela Putri Sundawa : Maaf Sayang, Aku Belum Lupa Ingatan
Perseteruan FKM UI dengan Pemerintah, dr Shela Putri Sundawa : Maaf Sayang, Aku Belum Lupa Ingatan
Perseteruan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dengan Pemerintah terus bergulir. Kali ini, dr Shela Putri Sundawa angkat bicara dan paparkan sejumla bukti FKM UI paparkan bahaya virus corona sejak Januari 2020 lalu.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Perseteruan antara FKM UI dengan pemerintah yang diwakili oleh Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Corona dr Achmad Yurianto terkait temuan perdana virus corona di Indonesia terus berlanjut.
Tim pakar FKM UI menyebutkan virus corona telah mewabah di Indonesia sejak bulan Januari 2020.
Namun, Achmad Yurianto mengaku pemerintah, khususnya dirinya tidak pernah diberi tahu terkait temuan tersebut.
Tak hanya itu, Yuri bahkan meminta publik untuk langsung menanyakan pada pakar FKM UI terkait penemuan tersebut.
"Sebaiknya menanyakan ke UI, karena saya juga tidak pernah dikasih tahu jika memang mereka menemukannya," katanya dikutip dari Tribunnews.com pada Senin (20/4/2020).
Pernyataan Achmad Yurianto memicu polemik dan pertentangan, khususnya dari kalangan akademisi UI.
Satu di antaranya dilontarkan oleh dr. Shela Putri Sundawa.
Dokter sekaligus Host Relatif Perspektif Podcast itu menyebutkan dirinya tidak pernah lupa atas informasi yang telah disampaikan pihaknya kepada pemerintah sejak awal Januari 2020 lalu.
Hal tersebut disampaikan dr. Shela Putri Sundawa lewat akun twitternya !dr. Shela Putri Sundawa @oxfara pada Senin (20/4/2020).
Dalam postingannya, dr. Shela Putri Sundawa menyindir Achmad Yurianto dengan menyebutkan dirinya tidak akan pernah lupa telah mengingatkan pemerintah atas bahaya virus corona.
"Kamu kira aku udah lupa, yang dulu kamu pernah bilang? Maaf sayang, aku belum lupa ingatan," tulis dr. Shela Putri Sundawa
Dalam postingan selanjutnya, dr. Shela Putri Sundawa mengunggah opininya yang diterbitkan oleh The Jakarta Post pada Jumat, 28 Februari 2020.
Dirinya juga mempertanyakan langkah pemrintah yang tidak juga kunjung mewaspadai virus corona hingga akhir Februari 2020 lalu.
"Akhir bulan Februari, saking merasa anehnya Indonesia masih steril dari corona, saya nulis ini di
@jakpost," tulis dr. Shela Putri Sundawa.
"Apakah saat itu setelah ada peringatan dari sana sini lalu meningkatkan skrining dan jd lebih waspada? Kalian tahu jawabannya," tambahnya.
Terkait sikap pemerintah tersebut, dirinya pun kembali menyindir pemerintah.
Dirinya menganalogikan rasa cinta FKM UI kepada bangsa dan negara layaknya seorang yang sedang mencinta.
• Tren Kasus Covid-19 Terus Meningkat, Fahira Idris dan Fadi Zon Sepakat PSBB DKI Jakarta Diperpanjang
Namun, cinta yang diluapkan diungkapkan dr. Shela Putri Sundawa tidak diakui dan berbalas.
"Sabar ya FKM UI, kadang mencitai negeri ini sesakit mencintai seseorang yang bahkan gak pernah tahu kita ada. Aku rapopo," tutupnya.
Postingannya pun menarik simpati dari masyarakat.
Beragam komentar dituliskan masyarakat terkait sikap hingga langkah penanganan virus corona yang dinilai belum optimal.
Berikut Opini dr. Shela Putri Sundawa dalam The Jakarta Post pada Jumat, 28 Februari 2020 :
Sudah hampir dua bulan sejak pengumuman publik tentang wabah coronavirus baru, yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, Cina.
Virus ini telah menginfeksi lebih dari 82.000 orang di seluruh dunia dan telah menyebabkan kematian 2.738 orang di daratan Cina pada hari Kamis, tetapi Indonesia belum melaporkan adanya infeksi yang dikonfirmasi dari dalam negeri.
Ini bertentangan dengan hasil penelitian oleh Mark Lipsitch dari Universitas Harvard yang menghitung risiko penyebaran virus mengingat arus masuk dan keluar dari para pelancong.
Menurut perkiraannya, Indonesia seharusnya memiliki setidaknya lima kasus coronavirus.
Namun, hingga saat ini masih ada nol kasus positif yang dilaporkan di Indonesia.
COVID-19, yang termasuk dalam kelompok yang sama dengan virus Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS) menunjukkan pola penularan yang berbeda.
Laporan terbaru dari kasus-kasus dari kapal pesiar Diamond Princess menemukan bahwa, dari 634 penumpang yang dites positif terkena virus, sebagian besar tidak menunjukkan gejala apa pun.
Sembilan dari 78 anggota kru Indonesia dinyatakan positif.
Ini menimbulkan pertanyaan.
Apakah ada kasus tanpa gejala di Indonesia?
Diberikan kasus yang terbukti dari orang yang terlihat dan merasa sehat saat membawa virus, profesional medis khawatir tentang potensi individu tersebut untuk secara tidak sadar menyebarkan penyakit kepada orang lain.
Karakter penularan penyakit ini sangat berbeda dari SARS, yang menjadi menular hanya ketika gejala muncul.
Indonesia terus menyaring orang berdasarkan gejala klinis mereka.
Petugas bandara, misalnya, memeriksa siapa saja yang mengalami gejala demam atau keluhan pernapasan.
Wisatawan juga diminta untuk melapor ke petugas jika mereka merasakan gejala apa pun.
Namun, metode penemuan kasus ini mungkin tidak efektif untuk wabah saat ini, karena individu tanpa gejala dapat membawa virus dan menyebarkan penyakit sebelum mereka menyadari bahwa mereka terinfeksi.
Keputusan untuk mengkarantina pelancong dari Wuhan, Cina, dan hanya memantau gejala fisik dan klinis mereka tanpa secara aktif menguji virus tidak memadai dan berisiko penularan berlanjut.
Selama wabah ini berlangsung, diperlukan langkah-langkah yang lebih teliti - termasuk pemutaran publik untuk semua orang yang bepergian -.
Kelangkaan dan mahalnya harga alat tes viral yang digunakan untuk mendiagnosis COVID-19 dapat dimengerti membuat pemerintah enggan memeriksa semua orang yang pernah mengunjungi atau tinggal di Wuhan.
Namun, ada beberapa kemungkinan kasus yang tidak terdeteksi dan tidak diobati, termasuk penyebaran penyakit dan kematian lebih lanjut.
Kami saat ini tidak siap menghadapi wabah infeksi pernapasan virus ini.
Praktik medis kami saat ini telah merusak pentingnya mendiagnosis infeksi virus. Peradangan paru-paru, atau pneumonia, dapat disebabkan oleh infeksi atau inhalasi bahan berbahaya.
Umumnya, ketika para profesional medis percaya bahwa pneumonia disebabkan oleh agen infeksi, mereka akan memulai perawatan antibiotik pada pasien tanpa terlebih dahulu mengevaluasi apakah itu bakteri atau virus.
Kurangnya tes viral di banyak rumah sakit di seluruh Indonesia membuat diagnosis pneumonia virus semakin sulit.
Pemberian terapi antibiotik pada kasus-kasus dengan pneumonia virus dalam kasus-kasus reguler bisa dibilang dapat diterima, karena pneumonia virus kemudian dapat memaparkan pasien pada risiko tertular pneumonia bakteri.
Namun, pada saat wabah virus, seperti COVID-19, kemampuan kami untuk mendiagnosis infeksi saluran pernapasan virus sangat penting.
Ini bukan hanya masalah dokter meresepkan antibiotik atau tidak; ini adalah masalah memutuskan apakah anggota masyarakat harus dikarantina untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Jika kita terus mengobati infeksi pernapasan tanpa mempertimbangkan kemungkinan disebabkan oleh virus, kita mungkin kehilangan diagnosis COVID-19.
Jika kita melanjutkan bisnis seperti biasa, ada risiko signifikan bahwa kita akan kehilangan kasus coronavirus, sehingga membahayakan anggota masyarakat.
Seperti yang dikutip Lipsitch dalam penelitiannya, kita harus mempertimbangkan bahwa kita mungkin tidak cukup teliti dalam mencari kasus alih-alih mengabaikan hasil penelitian sama sekali.
Penelitian harus dianggap sebagai alarm untuk bertindak lebih hati-hati.
Meskipun kematian dan penderitaan tragis akibat wabah, wabah ini juga merupakan berkah tersembunyi jika dapat mendorong profesi medis untuk menjadi lebih baik dalam mendiagnosis infeksi saluran pernapasan virus.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/dr-shela-putri-sundawa.jpg)