Omnibus Law

Trending di Twitter GejayanMemanggilLagi, Demo Besar di Jogja Hari Ini Penolakan Omnibus Law

Tagar GajayanMemanggil Lagi di Twitter karena berakitan dengan akan ada aksi di Yogyakarta tolak RUU Omnibus Law

Kolase foto Twitter/Kompas.com
Trending topik hari ini, Senin (9/3/2020) GejayanMemanggil akan ada demo besar di Yogyakarta penolakan Omnibus Law 

Trending topik di Twitter dengan tagar #GejayanMemanggilLagi.

Tagar GejayanMemanggilLagi muncul akibat penolakan Omnibus law Cipta Kerja.

Aksi #GejayanMemanggil akan kembali digelar di Yogyakarta, Senin (9/3/2020) hari ini.

Kali ini, massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu (ARB) unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang - RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Sesuai dengan tagar yang dikampanyekan, aksi yang juga diikuti oleh berbagai masyarakat dan mahasiswa itu akan digelar di sepanjang Jalan Gejayan Kota Yogyakarta mulai pukul 14.00 WIB.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja Diyakini Akan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Omnibus law RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah terus mendapatkan penolakan dari publik.

Serikat buruh hingga mahasiswa ramai-ramai menyatakan penolakannya.

Mereka menilai RUU Cipta Kerja terlalu berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat.

Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 79 undang-undang dan 11 klaster dianggap bermasalah.

Setelah surat presiden dan draf RUU Cipta Kerja diterima DPR pada Rabu (12/2/2020), pembahasan bersama pemerintah belum juga dimulai.

DPR terkesan menunda-nunda pembahasan di tengah hujan kritik RUU Cipta Kerja.

Kepentingan investor Peneliti Pusat Studi Konstitusi ( Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, omnibus law RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi.

Menurut Charles, tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut.

"Ketika kita melihat bagian penjelasannya sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan. Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan," kata Charles di kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta, Kamis (5/3/2020).

Ia menilai kemudahan dalam aspek ekonomi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja diberikan kepada pengusaha atau pemilik modal.

Sementara kepentingan masyarakat justru terpinggirkan.

"Kemudahannya bukan bagi warga negara yang minim akses terhadap sumber daya alam atau sumber daya ekonomi. Kemudahan diberikan justru kepada pemilik modal, kepada asing, dalam rangka mengundang investor lebih banyak. Jadi bukan kita mudah mencari kerja," tutur dia.

Charles menyoroti soal status hubungan kerja kontrak yang tidak dibatasi.

Dia mengatakan, hak-hak pekerja untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan terancam dengan adanya ketentuan itu.

"UU ini mendorong informalisasi kerja. Kayaknya akan menciptakan lapangan kerja dan ikatan kontrak kerja yang mengarah pada informalisasi dunia kerja. Tidak ada kepastian gaji, jam kerja, tidak ada kepastian kesehatan, jaminan sosial. Relasi itu yang mau dibangun," ujar Charles.

Ia pun mendorong DPR agar mengembalikan draf RUU Cipta Kerja kepada pemerintah.

Menurutnya, DPR harus bisa bersikap tegas agar tidak menjadi kambing hitam atas penolakan RUU Cipta Kerja.

"Pemerintah sekarang melempar, prosesnya di DPR, silakan masyarakat ke DPR. Saya minta DPR tegas kalau memang bermasalah kembalikan kepada pemerintah," kata Charles.

"Jangan mau dijadikan bumper. Menahan serangan publik terhadap substansi ini," tutur dia.

Menciptakan perbudakan modern Pada kesempatan yang sama, Sekjen Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ikhsan Raharjo menilai, keberadaan omnibus law RUU Cipta Kerja justru akan menarik Indonesia kembali ke zaman kolonial Hindia Belanda.

Menurut Ikhsan, pasal-pasal terkait ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja akan menciptakan perbudakan modern.

"Semangat perbudakan modern itu sangat kuat terasa dalam draf yang kita semua bisa baca hari ini," kata Ikhsan di Jakarta, Kamis (5/3/2020).

Ia menyamakan RUU Cipta Kerja dengan aturan Koeli Ordonantie yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda.

Ikhsan menjelaskan, ketika berlaku Koeli Ordonantie memberikan jaminan kepada majikan terhadap pekerjanya jika terjadi masalah.

"Saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin ekspor komoditas-komoditas perkebunan. Untuk menarik banyak investor kemudian mereka membuat undang-undang yang namanya Koeli Ordonantie yang intinya memberikan jaminan kepada pemilik perkebunan akan tenaga kerja yang murah dan dengan perlindungan yang minim," tuturnya.

Riset dan Inovasi Satu dari 11 Kluster yang Tengah Digodog dalam RUU Omnibus Law

Ikhsan menyoroti sejumlah pasal dalam RUU Cipta Kerja yang akan merugikan para pekerja.

Salah satunya, para pekerja dihadapkan dengan ketidakpastian karena status hubungan kerja kontrak tidak dibatasi.

"Indonesia akan melahirkan generasi pekerja muda yang rentan dan juga mudah dieksploitasi dalam kondisi kerja yang buruk. Ketika mereka masuk dalam dunia kerja, mereka akan dihadapkan dengan sebuah ketidakpastian dalam bentuk status hubungan kerja yang kontrak," ujar Ikhsan.

Inkonstitusional Di sisi lain, Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif menyatakan ada 31 pasal inkonstitusional dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja.

Koordinator Bidang Konstitusi dan Ekonomi Kode Inisiatif Rahmah Mutiara mengatakan, sifat inkonstitusional itu disebabkan pemerintah tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan pasal-pasal tersebut.

"Kode Inisiatif mencatat, terdapat 31 putusan MK yang tidak diindahkan oleh pemerintah dalam menyusun substansi RUU Cipta Kerja," kata Rahmah.

Kerja Kode Inisiatif membagi ketidakacuhan pemerintah terhadap putusan MK itu dalam tiga kategori.

Pertama, putusan MK tidak ditindaklanjuti.

Kedua, tindak lanjut terhadap putusan Mk bersifat parsial atau hanya sebagian yang diakomodasi dalam RUU Cipta Kerja.

Ketiga, pasal yang telah dibatalkan MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dihidupkan kembali.

Kode Inisiatif pun menyampaikan tiga rekomendasi kepada DPR dan pemerintah terkait penyusunan RUU Cipta Kerja.

Pertama, kata Rahmah, pemerintah dan DPR harus membuka pintu seluas-luasnya untuk mempertimbangkan aspirasi publik.

Berikutnya, DPR dan pemerintah mesti mengkaji secara komprehensif implikasi dari semua aturan yang dinormakan di dalam RUU Cipta Kerja.

Terakhir, Rahmah menyebutkan DPR dan pemerintah harus benar-benar memerhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) demi memastikan konstitusionalitas RUU Cipta Kerja.

"Presiden dan DPR harus menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi dan memastikan konstitusionalitas materi muatan dalam RUU Cipta Kerja mengakomodasikan tafsiran-tafsiran konstitusional MK," kata Rahmah.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Omnibus Law RUU Cipta Kerja, antara Kepentingan Investor dan Perbudakan Modern", 

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved