Kolom
Pemerintah Indonesia Perlu Mendorong Cina Untuk Membuka Dialog dengan Kelompok Muslim Moderat Uighur
Laporan itu telah menghangatkan kembali ingatan publik di tanah air mengenai nasib kaum minoritas Muslim Uighur.
Pertimbangannya ternyata tak bisa semata-mata soal kemanusiaan, tapi juga kalkulasi politik.
Sepuluh tahun lalu, Turki, misalnya, masih mendukung perjuangan etnis Uighur.
Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan bahkan pernah menyebut kebijakan Cina di Xinjiang sebagai “genosida”.
Turki bukan hanya memberi suaka bagi para pemimpin Uighur dan pelarian dari Xinjiang, tetapi juga membebaskan mereka untuk melakukan aktivitas politik selama berada di Turki.
Tapi, itu dulu. Saat ini sikap Ankara telah jauh berubah.
Sejak 2017, Turki menerapkan kebijakan keras terhadap warga Uighur yang hidup di pengasingan.
Mereka tak lagi diizinkan demonstrasi dan melakukan aksi politik di Turki.
Saat melawat ke Cina pada musim panas lalu, Erdogan bahkan balik memuji kebijakan minoritas pemerintah Cina.
Hal serupa juga terjadi pada Iran.
Mereka tak melontarkan kritik apapun terhadap Cina.
Ketergantungan mereka pada Cina memang besar.
Sebab, Cina adalah importir terbesar minyak Iran, sekaligus salah satu mitra dagang terbesar mereka.
Kita secara telanjang bisa melihat betapa besarnya pengaruh ketergantungan ekonomi dalam menentukan politik luar negeri sebuah bangsa.
Ini juga yang menjelaskan mengapa kritik terhadap Cina atas isu etnis minoritas Muslim Uighur kebanyakan datang dari negara-negara Barat, bukan dari dunia Islam.
• Tekad Ahmad Dhani Ingin Kembali Konser Bersama Dewa 19 Setelah Dibebaskan dari Tahanan
Namun, apakah kita bisa memaklumi jika alasan yang sama juga membuat Pemerintah Indonesia bungkam?