Sisi Lain Jakarta

Kisah Roemah Piatoe Ati Soetji, Badan Usaha Sosial yang Didirikan Tahun 1914

Awalnya dia merupakan anggota perkumpulan Roemah Piatoe Ati Soetji, sebuah badan usaha sosial yang diyakini didirikan pada 27 Oktober 1914.

National Geographic Indonesia/Mahandis Yoanata Thamrin
Sosok Nyonya Lie Tjian Tjoen dalam buku biografi yang diluncurkan pada peringatan 100 tahun Yayasan Hati Suci pada 2014. 

WARTA KOTA, PALMERAH--- “Boat toetoerken satoe-per-satoe riwajatnja ada terlaloe pandjang dan soeker,” ungkap Nyonya Lie Tjian Tjoen dalam maanblad Istri edisi Oktober 1935, “tjoema saja bisa bilang dengen pendek jang ini pekerdjaan haroes dapet sokongan dari publiek aoemoemnja.”

Sang Nyonya yang memiliki nama kecil Auw Tjoei Lan (1889-1965) itu merupakan istri dari Mayor Lie Tjian Tjoen, seorang perwira tituler Tionghoa.

Awalnya dia merupakan anggota perkumpulan Roemah Piatoe Ati Soetji, sebuah badan usaha sosial yang diyakini didirikan pada 27 Oktober 1914 oleh Dokter Zigman di Batavia.

Pada saat itu sulit sekali mendapatkan donatur lantaran warga belum mengenal sebuah arti pekerjaan sosial.

Beruntungnya, suami Nyonya Lie merupakan pejabat terkemuka dalam pemerintahan Kota Batavia yang juga seorang filantropi.

Kekurangan sokongan dana ditutup oleh kantong pasangan tersebut.

Kisah ini dinukil dari buku hasil riset A Bobby Pr bertajuk Ny Lie Tjian Tjoen: Mendahului Sang Waktu yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas untuk memperingati seabad panti asuhan itu beberapa waktu lalu.

Nyonya Lie dan beberapa kolega Zigman, seperti Dirk van Hinloopen Labberton dan Soetan Temanggoeng, terjun langsung melindungi para gadis asal Macau dan Tiongkok Selatan yang menjadi korban penyelundupan ke Batavia.

Sebuah sindikat telah memperbudak mereka sebagai pelacur—atau pembantu bagi yang berparas kurang menarik.

Boeing Telah Menyelesaikan Klaim Tahap Pertama Kepada Korban Jatuhnya Boeing 737 Max 8?

Kadang, Nyonya Lie melakukan investigasi dengan mengendap-endap ke pelabuhan untuk melakukan investigasi soal keberadaaan para perempuan malang itu.

Sesekali, dia juga melakukan siasat kepada mucikarinya.

Atas ketulusan hatinya, Ratu Wihelmina menganugerahkan medali kehormatan Ridder in de Orde van Oranje Nassau kepada Nyonya Lie pada 24 Agustus 1925.

Sang Nyonya pun menjadi perempuan Tionghoa pertama yang menyandang medali tersebut.

Kendati demikian, dia tidak membanggakan diri.

Pernah ada seorang jurnalis yang menanyakan kepada Nyonya Lie, namun dia khawatir dianggap menyombongkan diri.

Dia memilih melakukan semuanya dalam senyap.

Nama perkumpulan itu pun menyandang nama Tionghoa, “Po Liang Kiok” yang bermakna “tempat perlindungan untuk menjaga kebajikan.”

Selama masa Hindia Belanda, pimpinan usaha sosial masih dijabat orang Eropa yang mengelola panti asuhan untuk anak perempuan dan lelaki.

Setelah Indonesia merdeka, Nyonya Lie menjadi pimpinan Rumah Piatu Ati Soetji dan hanya mengelola panti asuhan anak perempuan.

Rumah Piatu Ati Soetji awalnya bertempat di kawasan Gunung Sahari, namun sejak 30 November 1929 mereka menghuni gedung baru yang lebih luas di kawasan Kebon Sirih.

Acap kali, Nyonya Lie mendapatkan bingkisan bayi di pekarangan rumahnya yang sengaja dibuang oleh orang tuanya—entah lantaran tak mampu atau hasil hubungan gelap.

Bayi-bayi malang itu dirawatnya dalam buaian sebagai anak sendiri, bahkan dia memberikan nama marga “Lie” untuk mereka.

Masih Tahap Sinergi Antara Uang Elektronik Berbasis Kartu dan Server

“Jang katrima tjoema anak-anak jang piatoe, tida ada papa atawa mama, jang papanja kedjem, tida lakoeken kawadjibannja dengen betoel,” ungkap Nyonya Lie dalam majalah yang sama.

Pernah juga dia merasakan kecamuk situasi antara kesedihan dan kegembiraan, tatkala anak asuhnya telah ditemukan kembali oleh orang tuanya dan berakhir kembali ke Tiongkok.

Sejatinya banyak kisah Tionghoa filantropis yang memerhatikan nasib anak-anak di Batavia dan sekitarnya.

Namun sejak akhir 1950-an kasus bayi-bayi terbuang kian jarang terjadi.

Belakangan, Nyonya Lie tidak hanya merawat anak-anak keturunan Tionghoa, tetapi juga anak-anak setempat.

Mereka berasal dari kota-kota besar di penjuru Indonesia.

Pada perayaan 40 tahun berdirinya Ati Soetji pada 1954, Ibu Negara Fatmawati turut hadir dan memberikan ucapan selamat kepada Nyonya Lie.

Kunjungan itu menunjukkan betapa negara menaruh kepedulian tinggi atas karya sosial Ati Soetji.

Namun, pada dekade-dekade selanjutnya, tak ada catatan tentang ibu negara yang menyambanginya lagi.

Di Perpustakaan Nasional, menemukan Bintang Timor edisi 13 Mei 1874 yang mewartakan Tan Tjeng Po, seorang asisten residen dan tuan tanah, mendirikan satu sekolah atas biayanya sendiri untuk bocah-bocah desa yang mendiami kawasan tanah partikelir miliknya di Batu Ceper.

Setahun berikutnya, Bintang Timor edisi 29 Mei 1875 mengabarkan lagi seorang filantropi dan letnan tituler Souw Siauw Tjong mendirikan sekolah serupa di Mauk.

Sang tuan tanah itu dikenal kerap berderma, memberi makan orang miskin, dan rendah hati.

Sejak 1955 nama Roemah Piatoe Ati Soetji berubah menjadi Panti Asuhan Hati Suci, kemudian berkembang menjadi Yayasan Hati Suci.

Dampak Demo Terhadap Toko Ritel, Berikut Penjelasan dari Aprindo

Selama seabad perjalanannya, institusi sosial ini telah berkembang tak sekadar panti asuhan, tetapi juga pendidikan dari TK sampai SMA.

Mengapa usaha nirlaba seperti ini bisa lestari?

Barangkali, jawaban utamanya bukan soal kekayaan yang dimiliki warga kota, melainkan soal ketulusan hati—hati suci.

“Kita tidak bisa bekerja lama di lapangan sosial,” ungkap Nyonya Lie, “jika kita sendiri tidak dikuasai oleh perasaan kasih terhadap sesama manusia.”

Mencari Rumah Mulai Rp 100 Jutaan di Pameran IIPEX 2019

Berita ini sudah diunggah di National Geographic dengan judul Roemah Piatoe Ati Soetji, Filantropi Istri Mayor Cina di Betawi

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved