Komisi III DPR Siap Tunjukkan Arsip Rapat Saat Pimpinan KPK Setuju Revisi UU 30/2002

ANGGOTA Komisi III DPR Arsul Sani mengaku memiliki catatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menginginkan revisi UU 30/2002.

Istimewa
ARSUL Sani 

ANGGOTA Komisi III DPR Arsul Sani mengaku memiliki catatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menginginkan revisi UU 30/2002.

Arsul Sani menyebut, hal itu disampaikan pimpinan KPK dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR.

"Catatan saya sebagai anggota Komisi III dalam satu RDP antara pimpinan KPK dengan Komisi III, memang ada pembicaraan."

Ini Sembilan Poin Draf Revisi UU KPK yang Bisa Melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi

"Dan pada saat itu pimpinan KPK juga menyetujui soal revisi ini, tapi tentu revisinya yang tidak melemahkan KPK," ungkap Arsul Sani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2019).

Politikus PPP ini pun mempertanyakan sikap pimpinan KPK yang tidak setuju dan menolak revisi, setelah DPR menyepakati kelanjutan dalam paripurna pada Kamis (5/9/2019) kemarin.

Untuk itu, ia berencana membuka arsip rapat saat pimpinan KPK menyetujui revisi UU KPK.

Fahri Hamzah Bilang Revisi UU 30/2002 Permintaan Pimpinan KPK

"Nanti saya akan cari arsip rapatnya."

"Mungkin nanti bisa saya sampaikan juga ke media, supaya segala sesuatunya clear lah jelas. Tidak berbantah-bantahan saja," tutur Sekjen PPP itu.

Arsul Sani pun menegaskan, pimpinan KPK yang setuju adalah periode Agus Rahardjo.

Tes DNA Pastikan Dua Terduga Pelaku Bom Bunuh Diri di Gereja Filipina Pasutri WNI, Ini Identitasnya

"Yang periode ini, yang dimaksud adalah periode ini. Karena pimpinan KPK Pak Agus Rahardjo dan kawan-kawan itu kan memulai tugasnya sejak awal 2016," tegas Arsul Sani.

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan pihaknya tengah berada di ujung tanduk.

Salah satunya, lantaran kembali mencuatnya revisi UU 30/2002 tentang KPK yang kini telah menjadi RUU Inisiatif DPR.

Agus Rahardjo membeberkan sembilan poin dalam draf revisi UU tersebut, yang bakal melemahkan dan bahkan melumpuhkan KPK secara lembaga dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

 Sekantong Kaus Polisi dari Aiptu Imran Yasin Jadi Tanda Perpisahan

"Sembilan persoalan di draf RUU KPK berisiko melumpuhkan Kerja KPK," ujar Agus Rahardjo di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019).

Berikut ini sembilan poin persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK:

1. Independensi KPK Terancam

• KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

• KPK dijadikan lembaga pemerintah pusat. 

• Pegawai KPK dimasukkan dalam kategori ASN, sehingga berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.

2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi

• Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas.

Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahun.

• Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK

• Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup.

Sehingga, bukti-bukti dari penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi

• Penyadapan diberikan batas waktu tiga bulan.

Padahal, dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang.

Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang.

• Polemik tentang penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif, karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan.

3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR

• DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih pimpinan KPK, tetapi juga memilih Dewan Pengawas.

• Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara, karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

4. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi

• Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS.

• Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

• Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia.

Lalu, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga anti-korupsi di Sierra Lone.

• Selama ini proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekrutmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber.

5. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung

• KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan korupsi.

• Hal ini berisiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara.

Dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh, sehingga akan memperlambat penanganan perkara.

6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria

• Ketentuan yang sebelumnya diatur di pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.

• Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat, dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.

7. Kewenangan Pengambilalihan Perkara di Penuntutan Dipangkas

• Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan.

• KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK.

8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan

• Pelarangan ke luar negeri.

• Meminta keterangan perbankan.

• Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi.

• Meminta bantuan Polri dan Interpol.

9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

• Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan penyelenggara negara.

• Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi.

• Selama ini KPK telah membangun sistem, dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi. (Fransiskus Adhiyuda)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved