Sisi Lain Jakarta

Melihat Kondisi Kampung Nelayan di Cilincing, Ini Cerita Pepang dan Sukardi Selama Jadi Nelayan

Melihat Kondisi Kampung Nelayan di Cilincing, Ini Cerita Pepang dan Sukardi Selama Jadi Nelayan.

Kontan.co.id/Elisabeth Adventa Previtapuri
Kampung nelayan Cilincing, Jakarta Utara. 

WARTA KOTA, PALMERAH--- Deretan kapal tradisional memenuhi area pinggiran Kampung Nelayan Cilincing, Jakarta Utara.

Saban hari, ratusan kapal bersandar di kampung tersebut.

Di sana pun terdengar suara trok... tok... tok... tok....

Suara bising seperti ini sangat akrab bagi penduduk di kawasan Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara.

Suara itu merupakan bunyi khas mesin perahu tradisional para nelayan yang mungkin tidak akrab di telinga warga perkotaan.

Masyarakat di pesisir utara Jakarta menyebutnya dengan mesin klotok, bagi mesin penggerak kapal-kapal yang bersandar di kampung mereka.

"Beginilah kondisinya setiap hari dan saya sudah biasa mendengarnya. Buat yang belum terbiasa, pasti bunyinya terasa berisik," kata Pepeng, warga di Kampung Nelayan seperti dikutip Kontan.

Pasar Kopi Masih Besar, Kembangkan Bisnis Kopi Melalui Jaringan Minimarket

Menurut Pepeng ada sekitar 150-an kepala keluarga yang menggantungkan penghidupan sebagai nelayan di tempat ini.

Termasuk juga dirinya.

Pepeng sudah puluhan tahun menjalani profesi sebagai nelayan.

Ia sudah terbiasa hidup berpindah-pindah dari satu wilayah perairan satu ke perairan lain, dan bersandar dari satu dermaga ke dermaga lain.

Hamparan laut, deburan ombak, dan angin kencang, dan badai jadi teman akrabnya.

Dan sejak 1992, ia menyandarkan kapalnya di Kampung Nelayan Cilincing dan bertahan hingga kini.

Tak hanya Pepeng, ratusan nelayan di Kampung Nelayan Cilincing juga punya pengalaman serupa.

Bermula dari hanya menyandarkan kapal, akhirnya mereka betah dan akhirnya menggantungkan hidup di tempat ini.

Kampung sederhana ini tak hanya menjadi sandaran kapal, tapi juga sandaran penghasilan, penggerak perekonomian bagi sudut pesisir ibukota.

Dua tahun terakhir sehari-hari Pepeng lebih banyak berjualan ikan hasil tangkapan nelayan lain di Kampung Nelayan Cilincing, walhasil ia lebih jarang melaut.

Ia menjajakan aneka ikan laut, cumi, sotong, serta berbagai jenis dan ukuran udang.

Pepeng menyortir hasil tangkapan tersebut sebagian dijual di lapak sendiri, sebagian lagi dijual ke pelelangan ikan.

Pepeng juga bekerja di gudang hasil tangkapan ikan.

"Ini punya bos sebagai tempat penampungan hasil tangkapan. Beberapa nelayan juga setor ke sini untuk dijual ke konsumen," kata Pepeng yang juga menyebut tidak semua nelayan menjual hasil tangkapannya secara mandiri.

Peluang Bisnis dari PLN, Syarat Membuka Bisnis Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum

Berbeda dengan Sukardi, penduduk Kampung Nelayan yang masih aktif melaut dan memasok hasil tangkapannya ke gudang penampungan atau pemasok.

"Setiap hari hasil tangkapan setor ke lapak bos. Apapun dan berapa pun hasil tangkapannya harus disetor," katanya.

Di tempat penampungan, ia menjual aneka ikan laut dan udang seharga Rp 40.000 - Rp 80.000 per kg, sedangkan untuk cumi paling murah Rp 40.000 per kilogram.

Beberapa komoditas seperti udang dan ikan ada yang dijual dalam kondisi beku dan sudah bersih.

Tentu harga yang dipatok berbeda dari tangkapan segar.

Setelah nelayan menjual ke pemasok, biasanya si pemasok baru membawa ke tempat pelelangan ikan (TPI) yang jaraknya sekitar 500 meter dari gudang.

"Kebanyakan nelayan menjual ke lapak pelelangan dan sebagian kecil ke gudang penampungan," kata Sukardi yang menyebut ada selisih harga antara yang dijual nelayan dan pelelangan.    

Bersandar

Menjelang dini hari, jumlah deretan kapal semakin banyak, tanda para nelayan membawa hasil tangkapan dari laut.

Sering kali terjadi ada kapal nelayan yang tidak kebagian sandar.

"Ini terjadi sekitar jam dua dini hari sampai subuh. Kalau siang sampai sore justru sepi," kata Pepeng.

Biasanya para nelayan di kampung tersebut pergi melaut selepas magrib.

Ada juga yang pergi lebih dini yakni sekitar pukul 17.00 WIB.

Adapun lama waktu melaut, tergantung dari jarak tempuh kapal dan hasil tangkapan.

Bila para nelayan merasa hasil tangkapan sudah memadai, biasanya langsung pulang dan rata-rata sekitar semalam saja.

Lain cerita jika hasil tangkapan masih kurang, waktu berlayar bisa lebih panjang, bisa dua malam bahkan sampai satu minggu.

"Itu kalau hasil tangkapan seret," kata Pepeng yang menyebut hari libur melaut adalah setiap Jumat.

Sukardi yang sampai saat ini masih aktif melaut mengatakan, berapa lama melaut ditentukan pula oleh jumlah hasil tangkapan dan jarak melaut.

Saat cuaca buruk hasil tangkapan nelayan biasanya jeblok.

Cuaca buruk mengakibatkan para nelayan tidak dapat melaut karena terlalu berisiko.

Dan kondisi tersebut bisa berlangsung lebih dari seminggu.

Untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, para nelayan terpaksa berutang atau bahkan menggadaikan barang berharga miliknya.

"Di periode tersebut, kami biasa menyebutnya dengan musim angin barat. Kalau sudah begitu, biasanya kasbon (utang) sama si bos (pemilik kapal) buat makan sehari-hari. Keluarga di kampung sudah tidak memikirkan," kata pria asal Cirebon ini.

PT PLN Menawarkan Kepemilikan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum

Musim paceklik

Musim angin barat memang dikenal sebagai musim paceklik oleh para nelayan sana.

Musim tersebut biasanya berlangsung sekitar bulan November hingga Maret.

Para nelayan bahkan bisa sampai berbulan-bulan tidak melaut karena cuaca buruk tersebut.

Kondisi cuaca buruk tersebut tak hanya membahayakan keselamatan para nelayan saat melaut.

Kalau tetap memaksakan melaut bisa menyebabkan kerugian.

Hasil tangkapan bisa lebih sedikit dibandingkan dengan modal untuk melaut dalam semalam.

"Bisa tidak balik modal. Untuk biaya kapal dan solar bisa habis Rp 250.000 dan belum tentu bisa dapat hasil tangkapan sebesar itu," katanya.

Kondisi merugi juga dirasakan para pemilik kapal yang harus menanggung biaya hidup anak buah plus biaya peralatan khusus saat musim cuaca buruk.

Pencemaran

Setiap hari para nelayan disibukkan mencari nafkah dan kejar setoran. Hingga tanpa mereka sadari, air laut di kawasan tersebut sudah tercemar.

Ini terlihat dari warna air laut yang mencuri perhatian.

Warnanya hitam pekat ditambah dengan banyaknya sampah aneka rupa yang mengambang.

"Semakin lama mencari ikan makin susah di pinggiran. Tahu sendiri di pinggiran laut, airnya saja sudah keruh. Jadi mencari ikan semakin ke tengah," kata Pepeng.

Sebetulnya ia dan para nelayan serta penduduk di kampung tersebut  mengeluhkan pencemaran tersebut.

Tapi mereka tidak bisa  berbuat apa-apa.

Pasalnya, pencemaran tersebut merupakan 'sumbangan' limbah industri yang ada di sekitar Cilincing.

Ini Beda Gaji dan Tunjangan Direksi BRI dan BTN

Inilah yang membuat para nelayan semakin jauh mencari hasil tangkapan ikan.

Dan sudah pasti jumlah tangkapan mereka semakin berkurang.

Ini jelas  berpengaruh terhadap pendapatan mereka.

Padahal sebelum tahun 2000-an, air luat di pinggiran masih relatif bersih.

Malah ia masih bisa mendapatkan ikan tongkol di pinggiran laut.

"Sekarang boro-boro. Untuk menangkap ikan saja harus ke tengah laut," katanya.

Sebelum air laut tercemar parah, dirinya dan para nelayan lain bisa membawa pulang sampai satu ton aneka hasil laut, mulai dari ikan, udang, cumi, gurita, sotong, dan lainnya.

Akibat laju pencemaran yang kian parah, kini, setiap malam para nelayan hanya bisa membawa pulang maksimal dua kuintal saja aneka hasil laut.

Melihat pencemaran laut yang kian parah, risiko pekerjaan sebagai nelayan, dan hasil yang tidak seberapa membuat sebagian penduduk Kampung Nelayan Cilincing tidak menyarankan anaknya untuk terus menjadi nelayan.

"Orangtua saya nelayan dan saya sempat jadi nelayan selama lima tahun, tapi orangtua melarang menjadi nelayan dan sekarang menjadi karyawan sampai sekarang," kata Jaya, penduduk Kampung Nelayan.

Selain dirinya, banyak juga generasi muda di kampung nelayan tersebut yang tidak lagi menjadi nelayan.

Sebagian besar menjadi buruh pabrik dan ada pula yang berdagang.

Malah ada yang masuk pendidikan pelayaran. Kalaupun ada yang masih meneruskan menjadi nelayan, karena kondisi ekonomi. 

"Terakhir generasi orangtua saya yang menjadi nelayan," katanya.

Bulan Agustus 2019 IHSG Turun 0,18 Persen, Ini 10 Saham yang Bikin IHSG Tertahan Naik

Berita ini sudah diunggah di Kontan dengan judul Kampung nelayan Cilincing tempat bersandar 150 nelayan

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved