Kebiri Kimia

Ini Permintaan Keluarga Pelaku Rudapaksa 9 Anak yang Divonis Kebiri Kimia,

Ini Permintaan Keluarga Pelaku Rudapaksa 9 Anak yang Divonis Kebiri Kimia. Simak selengkapnya dalam berita ini.

Shutterstock
Ilustrasi 

HUKUMAN kebiri kimia sudah dijatuhkan terhadap Muh Aris (20), pelaku rudapaksa 9 anak di Mojokerto. 

Ini merupakan vonis pertama kebiri kimia terhadap pelaku rudapaksa.

Tapi keluarga berharap Aris tidak dikebiri kimia, tetapi cukup dimasukkan ke rumah sakit jiwa. 

Selain itu, keluarga juga menceritakan kehidupan masa kecil Aris yang aneh, dan kondisi keluarganya. 

 Pertama di Mojokerto, Tukang Las Rudapaksa 9 Anak Dihukum Kebiri Kimia

 Ini Hukuman Tepat Pelaku Kejahatan Seksual Anak, Dibanding Kebiri Kimia

Kakak tertua Aris, Sobirin (33), mengatakan, adik bungsunya itu sudah menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan sejak kecil.

Hal itu ditandai dengan perilaku keseharian Aris.

Adiknya suka berbicara sendiri, baik saat di rumah maupun saat di jalan.

Dalam pergaulan dengan lingkungan sosial, Aris juga dikucilkan karena perilakunya yang tak lazim.

"Kelakuannya seperti anak kecil. Di lingkungan sini dia dikucilkan, tapi dia tidak pernah mengamuk karena takut sama saya," kata Sobirin, Selasa (27/8/2019).

 KPAI: Kebiri Kimia Bagi Pelaku Pencabulan Anak

 Kebiri Kimia Bisa Bikin Predator Seks Makin Buas

Aris, kata Sobirin, merupakan anak keempat dari pasangan Abdus Syukur (50) dan Askinah.

Askinah meninggal lima tahun lalu. Sobirin mengaku baru mengetahui bahwa adiknya dikenai hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 100 juta, serta ditambah dengan hukuman kebiri kimia.  

"Kasihan dia enggak tahu nanti akan bagaimana. Harapan saya sih dia bisa dirawat dan pikirannya dijernihkan. Kalau bisa dirawat di rumah sakit jiwa, supaya dia bisa normal," tuturnya.

Sebelumnya diberitakan, Muh Aris (20), pemuda asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, harus menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti memerkosa sembilan anak. 

 Pertama di Mojokerto, Tukang Las Rudapaksa 9 Anak Dihukum Kebiri Kimia

Berdasarkan putusan pengadilan, terpidana kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak itu juga harus mendekam di penjara selama 12 tahun, serta denda Rp 100 juta subsider 6 bulan penjara.

Hukuman Paling Tepat Bagi Predator Seks

Sementara itu, Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai hukuman kebiri kimia kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang dimasukkan Presiden Jokowi dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang baru ditandatanganinya, tidak efektif menimbulkan efek jera pelaku.

Kebiri kimia dianggap Reza justru membuat para predator atau pelaku kejahatan seksual atas anak bisa makin membahayakan.

Sebab keterbangkitan seksual sebenarnya tidak hanya sebatas akibat faktor hormonal saja, tetapi juga masalah psikis atau fantasi.

 V Live Hadir di Indonesia dan Akan Menampilkan Banyak Artis Indonesia

Karenanya Reza berpendapat, ada sejumlah pemberatan hukuman yang lebih tepat dan pantas bagi para predator untuk membuat mereka lebih jera dibanding kebiri kimia.

Yakni menggabungkan sanksi pidana dan sanksi sosial. Sanksi pidana maksimal, kata Reza, berupa hukuman mati sangat pantas diterapkan kepada predator.

Selain itu berupa penandaan fisik pada pelaku serta pada identitasnya, sebagai bentuk sanksi sosial sangat pantas diberikan bersamaan dengan sanksi pidana.

"Pemberatan hukuman sudah sepantasnya dijatuhkan ke para makhluk durjana tersebut. Sepatutnya penggabungan sanksi pidana dan sanksi sosial lebih tepat. Daripada menyuntik predator berulang kali sebatas untuk mematikan berahi, lebih baik berikan satu ampul injeksi yang membuat predator mati. Itu sanksi pidana maksimalnya," kata Dosen Psikologi Universitas Bina Nusantara ini, kepada Warta Kota, Kamis (26/5).

Selain itu, kata Reza, ada sejumlah sanksi sosial bersifat pemberatan yang efektif dan tepat diberikan bagi predator.

 Syuting di Thailan, Siwon Super Junior jadi Model Iklan Produk Mie Instan

"Diantaranya pemberian rajah pada bagian tubuh yang terbuka, pemberian tanda khusus di EKTP-nya agar ruang geraknya tersumbat, pelarangan untuk keluar dari radius sekian kilometer dan jam-jam tertentu, serta pembangunan basis data yang memampangkan foto dan data diri si predator kepada masyarakat luas," kata Reza.

Disamping itu ada variasi lain sanksi sosial yang menurut Reza sangat tepat untuk menimbulkan efek jera.

"Yakni mengeluarkan public notice atau pemberitahuan atau pengumuman pada publik tentang identitas si predator, terutama saat predator yang tidak lama lagi akan bebas atau mengakhiri masa hukumannya atau saat bebas," kata Reza.

Public notice ini, katanya, juga harus disertai dengan foto pelaku dan ciri-ciri si predator seksual. "Ditambah lagi dengan keterangan jumlah korbannya, serta waktu kejadian. Semuanya bisa disebarluaskan melalui poster, media massa, dan media sosial," kata Reza.

Bukan hanya itu, menurut Reza, pada public notice juga harus dicantumkan nomor hotline yang dapat dihubungi masyarakat, jika sewaktu-waktu si predator menampilkan gelagat mencurigakan atau mengkhawatirkan untuk mengulangi perbuatannya.

 Selamatkan Kapal Hanyut, Dirjen Hubla Kemenhub RI Beri Penghargaan Kepada Para Nakhoda Kapal Tunda

"Lalu polisi pun menunjuk personelnya yang secara khusus bertugas sebagai pemantau si predator sekaligus sebagai pihak penghubung dengan masyarakat," kata Reza.

Dengan demikian menurutnya lewat public notice, masyarakat menjadi tahu dan lebih waspada.

"Public notice juga membuat masyarakat tahu bahwa di lingkungan mereka dalam waktu dekat akan datang kembali seorang bedebah predator dengan riwayat kejahatan luar biasa serta berpotensi residivisme yang tinggi," katanya.

Tujuan sanksi sosial seperti ini, menurut Reza, selain efek jera dan mencegah pelaku mengulangi perbuatannya juga membangun resiliensi masyarakat, tak terkecuali anak-anak.

Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi masyarakat dalam situasi apapun. Dalam hal ini resiliensi dibangun sekalipun predator bebas dan ada di lingkungan mereka.

"Membangun resiliensi masyarakat ini tak terkecuali juga anak-anak," katanya.

 Pernah Jadi Korban Pelecehan Seksual, Via Vallen Angkat Bicara Soal Hukuman Kebiri

"Sehingga, sekalipun tidak mungkin menghukum predator selama-lamanya di dalam penjara apalagi mengirimnya ke liang lahat dengan hukuman mati, maka paling tidak upaya proteksi bagi masyarakat atau korban potensial dapat diperkuat dan terbangun," kata Reza.

Serangkaian sanksi pidana dan sanksi sosial kepada predator tanpa kebiri kimia yang dianggap tak efektif dan merugikan keuangan negara, kata Reza, sudah sepatutnya diberikan dan diatur sedemikian rupa.

"Sebab, ingat, bahwa nyawa anak-anak korban kejahatan seksual bisa jadi masih dikandung badan. Namun, pada saat yang sama, jiwanya dan kehidupan sosialnya teramat sangat berat untuk terselamatkan," kata Reza.

Kebiri bikin ganas

Sebelumnya Reza menjelaskan hukuman tambahan kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual anak dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang baru saja ditandatangani Presiden Jokowi, dinilai kurang tepat.

Sebab katanya kebiri kimia tidak efektif untuk menimbulkan efek jera dan tak menjamin pelaku yang dikebiri tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.

Bukan hanya itu, Reza menganggap hukuman kebiri kimia justru akan membuat pelaku kejahatan seksual anak makin eksplosif atau makin membahayakan dibanding sebelumnya.

 Inden hingga 2 Tahun, Indonesia Bersaing dengan India untuk Produksi Suzuki Jimny di Tanah Air

Belum lagi kata Reza, biaya pemberian kebiri kimia yang ditanggung pemerintah berikut segala efek samping pengobatannya kepada pelaku kejahatan seksual anak, secara umum akan merugikan.

"Kebiri kimia bukan hanya tidak efektif jika ditujukan untuk menimbulkan efek jera, tetapi malah membahayakan masyarakat sekaligus merugikan," kata Reza yang merupakan Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne, kepada Warta Kota, Kamis (26/5).

Ia menjelaskan dimasukkannya hukuman kebiri kimia dalam Perppu yang ditandatangai Presiden Jokowi, karena Istana berasumsi bahwa, kastrasi hormonal dengan kebiri kimia akan memunculkan efek jera pada diri para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, sebagai akibat dari lumpuhnya dorongan seksualnya.

"Ada kekeliruan asumsi yang melatari disahkannya Perppu berisi hukuman kebiri itu, yakni kejahatan seksual dianggap sama dengan perilaku seksual sehingga dipercaya dan niscaya semuanya dilatari oleh motif seksual," kata Reza.

 Inden hingga 2 Tahun, Indonesia Bersaing dengan India untuk Produksi Suzuki Jimny di Tanah Air

Namun faktanya, kata Reza, dalam sangat banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak, motif pelaku justru adalah dominansi dan kontrol.

"Di balik itu ada amarah, dendam, serta kebencian yang berkobar-kobar di diri pelaku. Datangnya luapan perasaan negatif itu berasal dari, antara lain, kesakitan yang muncul karena si pelaku atau predator pernah mengalami perlakuan kekerasan serupa semasa usia belia," kata Reza.

Sehingga kata Reza, tindakan memviktimisasi anak-anak oleh predator, dapat dipahami sebagai cara si predator melampiaskan dendamnya.

"Dan anak-anak, selaku target lunak. Anak-anak merupakan pihak yang paling mudah dijadikan sebagai sasaran-pengganti pengekspresian sakit hati sang predator," katanya.

Karenanya kata Reza jika kebiri kimia yang nota bene dianggap mematikan syahwat seksual pelaku, di samping itu ada perasaan negatif pelaku mulai dari dendam, amarah dan kebencian yang berkobar yang melatari aksinya. Semua perasaan negatif itu tidak serta-merta ikut padam dengan kebiri kimia.

 Anggota DPRD Kota Bekasi Periode 2014-2019 Minta Honor karena Kerja Melebihi Masa Bakti

"Maka justru dengan kastrasi hormonal atau kebiri kimia, si predator bisa semakin eksplosif dan mencari cara lain. Karena obsesinya pada dominansi telah dihalang-halangi. Ia juga merasa telah direndahkan ke posisi pecundang dengan kebiri kimia," kata Reza.

Sehingga tambah Reza, sebagai kompensasi atas kekalahan akibat kebiri kimia yang dialami itu, si predator akan mengembangkan modus-modus baru atau pun melibatkan pihak lain guna memastikan bahwa dendamnya tetap bisa diekspresikan dan hasrat dominansi tetap bisa terpenuhi.

"Akibatnya, jika sebelumnya si predator hanya mengincar anak-anak selaku target paling potensial. Maka dengan amarah berlipat ganda akibat dikebiri, ia akan menyasar siapa pun atau tidak hanya anak-anak. Orang dewasa atau pun objek non manusia bisa menjadi sasaran agresinya," kata Reza.

Hal yang demikian kata Reza akan semakin kentara pada pelaku kejahatan seksual anak yang masuk dalam kategori paedofil mysoped. "Paedofil Mysoped ialah predator seksual yang biasa menggunakan cara-cara brutal untuk melumpuhkan korbannya," kata Reza.

Selain itu, tambah Reza, tidak tepatnya kebiri kimia untuk menghentikan predator melakukan aksinya, karena keterbangkitan seksual sebenarnya tidak hanya sebatas karena faktor hormonal saja, tetapi juga masalah fantasi.

 Apa Nama Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur? Begini Usulan dari Warga Beserta Artinya

"Itu yang membuat, maaf ini sebatas ilustrasi, dimana seorang anak yang belum memasuki usia pubertas pun, tetap bisa menunjukkan respon fisik pada alat vitalnya manakala terangsang secara seksual," katanya.

Padahal kata dia anak yang belum pubertas secara hormonal belum memiliki hormon seksual seperti orang dewasa untuk terangsang.

Diluar itu semua, katanya, kebiri kimia juga akan berpotensi sangat merugikan uang negara.

Sebab agar dorongan seksual predator tetap lumpuh, sebagaimana akseptor keluarga berencana yang menggunakan metode suntik, maka si predator juga harus diinjeksi kebiri kimia secara berkala.

"Persoalannya, siapakah yang sudi jika sekian persen anggaran negara malah dialokasikan untuk 'merawat' secara teratur makhluk-makhluk laknat yang telah memangsa anak-anak?," kata Reza.

 Seungri Jalani Pemeriksaan di Kantor Polisi Hari Ini untuk Kasus Perjudian

Selain itu, tambahnya, pengobatan karena efek samping baik secara fisik maupun psikis dari kebiri kimia yang dialami predator juga akan kembali ditanggung negara.

"Sebab ketika efek samping itu muncul dan si predator merasa perlu berobat, maka secara prosedural ia akan mengunjungi puskesmas, dokter umum di rumah sakit, lalu dokter spesialis di rumah sakit. Maka bisa diperkirakan atau dipastikan sumber pembiayaan si predator berasal dari Kartu Indonesia Sehat (KIS)," kata Reza.

Sebangun dengan pemikiran itu, Reza akhirnya bertanya, "Sampai hatikah Pemerintah membiarkan KIS-nya digunakan oleh penjahat-penjahat seksual?"

Sementara, katanya, banyak warga dan masyarakat yang pasti tidak sudi, uang negara atau uang rakyat justru dihamburkan untuk para penjahat seksual anak itu.

Apalagi, kata Reza, hal itu tak juga menjamin para predator berhenti melakukan aksinya.

Jadi, sekali lagi, Reza menegaskan bahwa kebiri kimiawi bukan hanya tidak efektif jika ditujukan untuk menimbulkan efek jera. "Tetapi malah membahayakan sekaligus merugikan," katanya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Keluarga Berharap Pemerkosa 9 Anak Tidak Dihukum Kebiri Kimia, tapi Dirawat di RSJ".

Penulis : Kontributor Jombang, Moh. Syafií

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved