Suara 16 Juta Pemilih Tak Terakomodir di Parlemen, Biem Benjamin Dukung Uji Materi UU Pemilu

Suara 16 Juta Pemilih Tak Terakomodir di Parlemen, Biem Benjamin Dukung Uji Materi UU Pemilu

Penulis: Feryanto Hadi | Editor: Agus Himawan
Warta Kota/Feriyanto Hadi
Biem Benjamin 

Budayawan Betawi sekaligus anggota DPR RI, Biem Triani Benjamin menyebut jika metode sainte lagoe yang saat ini digunakan sebagai basis penghitungan perolehan kursi parlemen memiliki banyak kekurangan dan cenderung merugikan.

Kerugian tidak hanya dialami oleh partai politik maupun calon anggota legislatif, namun lebih penting adalah banyak suara rakyat jadi tidak terakomodir karena caleg yang dipilih dan mendapatkan suara di bawah ambang batas perolehan kursi.

Ia pun mendukung adanya uji materi terhadap Undang-undang pemilu yang menggunakan metode itu sebagai dasar pembagian.

Sulitnya Yuki Kato Untuk Tidak Tertawa Saat Syuting Film Bersama Para Komika Kocak

Alasan Denyut Jantung yang Berdebar Tidak Beraturan Jangan Dianggap Remeh dan Jangan Diabaikan

Mensos Lantik ASN Penyandang Disabilitas Menjadi Pejabat Tinggi Pratama Kemensos

"Mungkin sekarang banyak yang belum begitu sadar bahwa hal (kesalahan) ini sangat fundamental berkenaan dengan demokrasi yang ada di Indonesia. Metode yang diadopsi dari barat itu tidak sejalan dengan konstitusi kita," ujar Biem di sela diskusi kebudayaan di Hotel Maharaja, Jakarta Selatan, Senin (26/8/2019).

Uji materi undang-undang Pemilu terkait dengan sistem konversi suara dan alokasi perolehan kursi sebelumnya diajukan oleh pemohon Syamsul Bachri Marasabessy dan Yoyo Effendi.

Latar belakang pengajuan uji materi, menurut Syamsul, karena pihaknya menganggap pemilu legislatif 2019 telah menyimpan dari amanah konstitusi.

"Karena terbukti ada tindakan diskriminatif dan penghianatan terhadap kedaulatan rakyat. Padahal semua orang tahu, dalam sistem demokrasi, kedaulatan rakyat adalah yang paling tinggi," ungkapnya.

Menurutnya, dalam konversi suara rakyat menjadi kursi tidak boleh ada perlakuan diskriminatif. "Seluruh suara yang telah disalurkan dalam pemilu harus dilibatkan dalam proses suara menjadi kursi baik di parlemen maupun di eksekutif," imbuhnya.

Yoyo Effendi menambahkan, sebagai warga negara mereka prihatin terhadap kondisi demikian.

Penipu yang Mencatut Wartawan TM yang Menggasak Harta Korban Tertangkap Ternyata Sopir Taksi Online

Diduga Gara-gara Korsleting Listrik, Delapan Ruko Ludes Setelah Satu Jam Dilalap ‘Si Jago Merah’

Lindungi Pengemudi dari Kecelakaan dan Kematian, Cyberjek Gandeng BPJS Ketenagakerjaan

"Ada sekitar 16 juta suara rakyat yang sah yang tidak dilibatkan dalam konversi suara menjadi kursi. Buat kami ini pelanggaran dalam sebuah sistem demokrasi dan tidak boleh terjadi."

Pada Pemilu 2014, ia bilang sudah pernah mengajukan hal sama. Namun, saat itu ditolak lantaran ia tak bisa membawa metode konversi pembandingnya.

Pada tahun ini, ia kembali mengajukan gugatan sama dengan menyertakan metode baru yang mereka temukan, yang mereka klaim berlandaskan keadilan dan tidak diskriminatif.

"Yang paling penting bagi kami, kedaulatan rakyat adalah paling tinggi dalam pesta demokrasi. Ini substansi dari pemilu. Kami melihat ada substansi yang dilanggar dan ini haram hukumnya," tandasnya.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved