Double Double Track

Perluasan Trayek DDT di Bekasi Terganjal Tuntutan Warga, Appraisal Harga Tanah Diminta Hitung Ulang

Perluasan Trayek DDT di Bekasi Terganjal Tuntutan Warga, Appraisal Harga Tanah Diminta Hitung Ulang

Penulis: Fitriyandi Al Fajri |

"Saat ini kami fokus reaktivasi (pembangunan kembali jalur yang non-aktif) jalur kereta api Rangkasbitung-Labuan. Mungkin setelah 2021 (DDT segmen Cakung-Cikarang) akan diselesaikan," ujarnya.

Menurut dia, proyek ini sudah dicanangkan sejak 2002 lalu. Awalnya dibiayai oleh pinjaman dari Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) dengan syarat tanah bebas 100 persen.

Namun di tengah perjalanan, pembebasan tanah menemui hambatan sehingga Direktorat Jendral Perkeretaapian (DJKA) membiayai anggaran obligasi syariah mulai tahun 2015 lalu.

"Sebenarnya jalur sudah dibangun dari Jatinegara-Kota Bekasi tetapi terputus di Kranji dan dibawah flyover Summarecon Bekasi," katanya.

Dia menambahkan, keberadaan DDT memang sudah sangat dibutuhkan. Sebab DDT akan menjadi jalur pemisah antara kereta rel listrik (KRL) Commuter Line dengan kereta api jarak jauh penumpang maupun barang.

"Dengan adanya masing-masing jalur, tentu tidak akan saling mengganggu karena KRL Commuter Line pasti akan menunggu kereta jarak jauh melintas terlebih dahulu," ungkapnya. 

Warga Minta Appraisal Proyek DDT di Bekasi Dihitung Ulang, Dana Konsinyasi Mencapai Rp 7,94 miliar

Dihitung Ulang

Puluhan warga yang tinggal di belakang Stasiun Kranji, terutama di RW 02 Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi yang terkena proyek kereta api Double-Double Track (DDT) menuntut agar appraisal atau penilaian bangunan miliknya dihitung ulang.

Sampai sekarang mereka masih bertahan dengan harapan Kementerian Perhubungan melalui tim independen melakukan appraisal ulang terhadap bangunannya.

"Kami minta dihitung ulang, karena appraisal yang dilakukan oleh tim dari KJPP Fast sudah kadaluarsa," kata Pardede pada Senin (15/4/2019).

Menurut dia, pada 2015 lalu tim appraisal melakukan penilaian terhadap bangunan, lahan, tanaman dan sebagainya milik warga yang terkena dampak dari proyek ini.

Namun warga menolak nilai yang disebutkan dengan alasan ada proses yang tidak benar dalam appraisal.

Kata dia, nilai suatu bangunan dilihat dari beberapa indikator misalnya berdasarkan letak rumah.

Bangunan yang berada di pinggir jalan tentu, nilainya lebih besar dibanding rumah di dalam perkampungan.

Begitu juga rumah yang sekaligus digunakan untuk usaha, idealnya lebih tinggi dibanding rumah yang hanya digunakan sebagai tempat tinggal.

Halaman
1234
Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved