Melongok Sentra Produksi Tahu dan Tempe di Lenteng Agung
Sekarang, ada 21 produsen, yang terdiri dari 18 pengrajin tempe, 3 pengrajin tahu, sedangkan untuk tempat tinggal, para pengrajin dalam satu rumah.
WARTA KOTA, CILANDAK -- Berkembangnya sektor perekonomian di ibukota Jakarta tak luput dari aktivitas industri kecil dan menengah yang bergulir di dalamnya.
Salah satunya, industri pengolahan tahu dan tempe di Jalan Seratus Gang Sonton, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Hingga saat ini kegiatan pengolahan tempe dan tahu masih tetap eksis, didirikan pada tahun 1990 bangunan ini memang sengaja dibuat untuk para perajin tahu dan tempe yang saat itu tidak memiliki lokasi, pembuatannya hanya dilakukan dirumah masing-masih rumah perajin.
Hal tersebut disampaikan oleh Sungkono (59) salah satu pengrajin tahu, ia mengatakan bahwa tempat ini memang diperuntukan bagi pedagang tahun tempe yang saat itu berada di sekitaran kawasa Jakarta. "Ini Pindahan dari tampat lain seperti Kuningan barat dan Pasar Minggu, mereka sengaja dipindahkan ketempat ini," katanya saat ditemui oleh Warta Kota, Selasa (10/1/2017).
Dibangun oleh Kopti (Koperasi Tahu Tempe Indonesia) bekerja sama dengan LSM Asing dan Mercy Corps Indonesia.
Baca: Agus Yudhoyono : Jika Pengrajin Tempe Mandiri, Harganya Tidak Lagi Mahal
Pada saat itu alat-alat masih ada beberapa yang masih tradisional, untuk pembakaranya masih mengunakan minyak tanah, namun seiringnya waktu kelangkaan minyak tanah terjadi sehingga membuat para pengrajin beralih mengunakan kayu.
Karena mengunakan bahan bakar kayu membuat kayu yang habis terbakar menjadi arang sehingga membuat lokasi tempat pembuatan tempet dan tahu terkesan kumuh. "Dulu itu sempat pakai minyak tanah, karena minya tanah susah beralih ke kayu bakar, kayu sendirikan setelah terbakar jadi arang sehingga membuat terkesan kumuh padahal sih tidak kumuh-kumuh amat cuma memang kurang steril saja," kata Sungkono.
Namun pada tahun 2012 terjadi renovasi total tempat pembuatan tahu dan tempe, berubahan sendiri bangunan lebih ditinggikan dan alat-alat dalam proses pembuatannya pun sudah mengunakan stenlis dari produksi mercy corps Indonesia.
Baca: Dari Pengrajin Logam, Arta Wijaya Bisa Kuliahkan Sembilan Anak ke Perguruan Tinggi
"Untuk saat ini sudah bagus tempatnya lebih rapi, dindingnya pun sudah keramik, karena dalam produksinya harus menjamin ke kehigienisannya, alatnya pun sudah mengunakan stenlis mulai alat perebusan sampai alat untuk cetak, sedangkan untuk bahan bakar saat mengunakan gas," katanya.
Pengunaan bahan bakar gas sendiri untuk mempercepat proses perebusan, karena sebelumnya mengunakan bahan bakar minyak dan kayu dalam perebusan bisa mencapai satu jam, namun setelah mengunakan gas perebusan hanya memakan waktu sekitar 20 menit saja.
Jumali (61) salah satu rekan Sungkono mengatakan tahap proses pembuatan tempe berawal dari perebusan setelah itu dilakukan perendaman kedelai selama 12 jam, lalu dilakukan pengilingan untuk menyaring kulit kedelai, dilanjutkan pencucian kedelai hingga bersih dan tahap akhir proses fermentasi (peragian) selama tiga hari.
Sedangkan untuk tahu bahan bakunnya pun sama mengunakan kedelai, alurnya kedelai direndam selama 3 jam lalu proses pengilingan jadi bubur, dilanjutkan perebusan selama 15 menit, langkah selanjutnya penyaringan diambil ampasnya, ketika sudah mengendap makan dilanjutkan proses cetak.
"Kedelai yang diolah sehari-hari di sini bisa sampai 2 ton (2.000 Kg). 2-3 kwintal (200-300 Kg) diolah jadi tahu, sisanya tempe," kata Jumali.
Baca: Ini yang Bikin Pengrajin Tahu Putih Pilih Pakai Formalin
Satu bungkus tempe dihargai Rp 3.000.
Sedangkan tahu berisi 10 potong yaitu Rp 3.000/bungkus atau Rp 300/potong.