Eksklusif Warta Kota
Kisah Tragis Minah (87) Bertahan Hidup Dari Beras yang Tercecer di Pasar Cipinang
Perempuan-perempuan itu adalah pengumpul beras yang tercecer. Mereka menggantungkan hidupnya dari butir-butir beras para juragan yang jatuh ke tanah.
Penulis: Feryanto Hadi | Editor: Suprapto
“Berasnya itu buat makan ayam. Seliter harganya Rp 4 ribu. Kalau sudah langganan ya saya jualnya Rp3500. Tapi kadang ada beras yang layak makan, saya bawa pulang. Tapi jumlahnya sangat sedikit,” jelasnya.
Usia Minah kini sudah 87 tahun. Di Jakarta, ia lebih banyak hidup sendirian. Sebenernya dia tinggal mengontrak dengan dua rekan lain sesama pengumpul beras, di belakang komplek Pasar Induk Beras.
Tapi, mereka jarang di kontrakan. Minah dan rekannya lebih banyak menghabiskan waktu di Pasar Induk Beras, agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Menyambung hidup
Minah berasal dari sebuah desa di Solo, Jawa Tengah. Keputusannya merantau ke Jakarta puluhan tahun silam, karena ia terkena PHK dari sebuah perusahaan pabrik rokok di Madiun.
Pada saat bersamaan, suaminya meninggal dunia lantaran sakit.
“Saya dari Solo, merantau ke Madiun. Tapi pabrik rokok tempat saya bekerja tutup. Saya bingung mau ke mana lagi, di kampung saya tidak punya sawah. Jadinya saya ke Jakarta saja ikut teman saya. Saya diajak ngumpulin beras begini,” katanya.
Sebenarnya Minah punya seorang anak yang saat ini tinggal di kampung halaman, di Solo.
Anak Aminah sudah menikah dan bekerja sebagai buruh tani di sawah milik para tetangganya.
Sang anak sebenarnya sudah meminta Minah agar hidup bersamanya di kampung. Hanya saja, Minah tak enak hati lantaran ia tidak mau merepotkan hidup anaknya yang juga susah.
“Saya bilang ke anak saya, ‘le, aku ndak mau jadi beban kamu. Biar aku di Jakarta saja nyari uang. Kami urusi saja keluargamu,’.”
Penghasilan Minah sebagai pengumpul beras tak menentu. Terpenting bagi Minah, ia bisa menabung sedikit untuk membayar biaya patungan rumah kontrakan. Sisa uangnya, ia gunakan untuk membeli kebutuhan hidupnya sehari-hari.
“Kontrakan sebulan Rp500 ribu, dibagi tiga dengan dua teman saya. Sudah untung saya tidak hidup menggelandang, karena banyak teman saya di sini (sesame pengumpul beras) yang tidur di sembarang tempat karena uangnya tidak cukup untuk mengontrak. Kalau saya, soal makan tidak penting. Yang penting ada tempat tidur meski sempit,” katanya.
Penderitaan para pengumpul beras di sana terjadi pada musim hujan. Pada musim tersebut, beras yang tercecer sangat sulit diambil karena bercampur dengan lumpur tanah.
Minah pun harus bekerja berlipat-lipat kali untuk membersihkan beras, memisahkan dari lumpur. Hasil yang didapat, jelas tidak maksimal.