Bela Komdigi, Agung Nugroho Nilai Komnas HAM Salah Tafsir Soal Kebebasan Digital
Komnas HAM dianggap keliru dalam menilai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terkait isu kebebasan berekspresi yang dapat penilaian skor 58.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Junianto Hamonangan
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Komnas HAM dianggap keliru dalam menilai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terkait isu kebebasan berekspresi.
Skor 58 yang diberikan Komnas HAM kepada Komdigi disebut terlalu dangkal, dan tidak memahami realitas ruang digital di Indonesia.
“Komnas HAM tampak lupa bahwa ruang digital hari ini bukan sekadar wadah ekspresi, tapi juga arena ancaman terhadap keselamatan publik,” ujar Ketua Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia, Agung Nugroho dari keterangannya pada Jumat (10/10/2025).
Menurut Agung, data satu tahun terakhir menunjukkan peningkatan tajam ancaman digital terhadap masyarakat.
“Mulai dari hoaks kesehatan, hoaks politik, penipuan daring, hingga kekerasan berbasis gender di ruang digital,” katanya.
Kata dia, Komnas HAM keliru memaknai kebebasan berekspresi seolah tanpa batas.
“Komdigi punya kewajiban konstitusional melindungi warga dari bahaya digital. Apakah Komnas HAM ingin negara diam saja saat warganya diserang hoaks, ditipu investasi bodong, atau anak-anak dieksploitasi secara daring atas nama kebebasan berekspresi?” ujar Agung dengan nada tajam.
Agung menegaskan, langkah moderasi konten yang dilakukan Komdigi bukan bentuk sensor, melainkan perlindungan publik.
“Setiap tindakan penghapusan punya dasar hukum, mekanisme dokumentasi, dan tujuan yang jelas. Tidak ada tindakan sewenang-wenang,” katanya.
Sikap Agung tersebut sejalan dengan pernyataan Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria dalam pertemuannya dengan Rekan Indonesia, pada Senin (6/10/2025) lalu.
Baca juga: Tinjau Rumah Pangan PNM, Zulhas Panen Brokoli hingga Ayam Petelur
Dalam forum itu, Nezar menegaskan Komdigi tidak pernah serta-merta menghapus konten tanpa dasar hukum.
Nezar juga menjelaskan, penghapusan hanya berlaku untuk konten bermuatan ujaran kebencian, disinformasi yang membahayakan publik, termasuk disinformasi dalam isu kesehatan yang kini menempati peringkat pertama setelah disinformasi politik, eksploitasi seksual anak, terorisme, penipuan digital, dan konten lain yang secara hukum memang dilarang.
Agung menambahkan, pernyataan Nezar tersebut mempertegas bahwa Komdigi tidak bekerja di luar prinsip HAM.
“Ironis kalau lembaga seperti Komnas HAM justru menilai rendah kementerian yang sedang menjaga publik dari serangan digital,” ujarnya.
Menurut Agung, paradigma HAM di era digital perlu diperbarui.
“Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas menyebar kebohongan atau kebencian. Negara wajib hadir agar kebebasan itu tidak berubah jadi alat perusak,” katanya.
Sementara itu Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria angkat bicara usai Komnas HAM memberi nilai 58 ke Komdigi karena kerap sewenang-wenang menghapus konten.
Nezar menegaskan, Komdigi tidak pernah menghapus konten tanpa dasar.
"Terima kasih atas pertanyaan terkait hasil penilaian Komnas HAM. Kami memandang laporan tersebut sebagai masukan yang berharga untuk memperkuat tata kelola ruang digital di Indonesia," ujar Nezar dikutip dari Kompas.com.
“Terkait dengan nilai rendah, khususnya pada isu kebebasan berekspresi, perlu saya tegaskan bahwa Komdigi tidak pernah serta-merta ‘menghapus konten’ tanpa dasar," sambungnya.
Sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberi nilai kategori rendah untuk Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) dalam penilaian hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Skor secara keseluruhan dari ekspert 57,4 dan skor dari komisioner keseluruhan 58,85, sehingga secara rata-rata nilai akhirnya adalah 58," kata Komisioner Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Komnas HAM RI, Rabu (8/10/2025).
Abdul Haris Semendawai menjelaskan ada enam elemen kunci penilaian yang digunakan Komnas HAM dengan skor yang diberikan oleh pakar dan para komisioner.
Elemen kuncinya adalah hak menyatakan pendapat di muka umum, hak menyatakan pendapat dalam pidato, ekspresi simbolis, hak atas kebebasan akademik, hak akses informasi, dan hak ekspresi seni. Salah satu temuan yang dipaparkan dalam penilaian tersebut adalah kriminalisasi atas ekspresi di ruang digital.
“Penghapusan konten secara sewenang-wenang, dan akses internet serta literasi digital rendah di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar)," ucap Semendawai. (faf)
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di WhatsApp.
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News.
Dua Lokasi Demo di Jakarta Hari Ini, 826 Personel Jaga Gambir dan Komnas HAM |
![]() |
---|
Dua Lokasi Unjuk Rasa di Jakarta Pusat, Jumat 10 Oktober 2025 |
![]() |
---|
Beda Gaya Kepemimpinan Jadi Tantangan Lulusan IPDN di Birokrasi Modern DKI Jakarta |
![]() |
---|
Privatisasi PAM Jaya Memicu Pro Kontra, LSM: Pengelolaan Air Bersih Justru Jadi Baik |
![]() |
---|
PMI DKI Jakarta Luruskan Informasi Keliru soal Jabatan Plt |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.