Menurut Anies, membagikan bansos itu sesuai kebutuhan.
“Kebutuhan siapa? Kebutuhan penerima. Bukan kebutuhan pemberi," tegasnya.
"Seperti Anda dikasih makan, daripada saya kasih makan tiga kali sehari, saya kasih makan sekaligus, tiga-tiganya dimakan semua. Bisa enggak gitu?” ujar Anies memberi ilustrasi.
Baca juga: Disambut Ribuan Masyarakat Manado Jam 3 Pagi, Anies: Saya Amat Terharu
Sudah saatnya, kata Gubernur DKI Jakarta 2017-2022, kita mengembalikan bansos tanpa pamrih. Jangan bansos yang penuh pamrih.
“Kita harus kampanyekan sama-sama bahwa ini adalah uang rakyat. Bukan uang pribadi," ujarnya.
"Saya merasa yakin, makin hari rakyat Indonesia makin kritis. Apalagi semua mengungkapkan soal bansos ini. Mudah-mudahan haknya diterima, tetapi hak suaranya tidak digadaikan,” ucapnya.
Kampus Bersuara
Anies juga merespons keprihatinan mayoritas intelektual kampus terhadap kondisi darurat demokrasi saat ini.
Menurut Anies, dalam sistem politik demokrasi, ada saluran-saluran yang dipakai untuk menyuarakan aspirasi masyarakat, yakni DPR dan partai politik.
“Ketika saluran-saluran itu berfungsi, kampus akan berkonsentrasi pada urusan pendidikan dan urusan penelitian. Karena proses politik berjalan," ujarnya.
"Apa yang menjadi aspirasi publik diproses. Namun, ketika yang menjadi aspirasi publik itu tidak lagi diungkapkan oleh partai-partai, dewan, yang terjadi justru penseragaman," imbuhnya.
"Terjadi kemampetan, maka aspirasi itu mencari jalur baru. Kampus menjadi artikulator ketika aspirasi itu mampet,” lanjut Anies.
Dia mengungkapkan, ketika kampus-kampus menyuarakan pendapat, artinya ada aspirasi yang kuat yang mampet, yang tidak diutarakan dalam saluran-saluran politik yang ada.
“Di situ kemudian kampus bergerak dan menyuarakan, karena di situ kampus tempat kaum cendekia membaca situasi apa yang terjadi," ucapnya.
"Tetapi mereka juga tahu ini bukan wilayah yang mereka perlu terlibat secara langsung, ketika proses politik berjalan. Tetapi ketika itu mampet, mereka bersuara,” katanya lagi.