"Kalau merah itu kan, simbol kehidupan, karena bukan sekadar perang tapi para leluhur juga mempertahankan kehidupan sampai disebut pelindung negeri," tutur Tonaas seperti dilansir Grid.id.
Tonaas Rinto Taroreh juga menjelaskan makna topi yang dikenakan oleh penari kabasaran tersebut.
"Kalau untuk topi ini ada burung Uak, ada tanduk sapi dan bulu ayam hutan.
Topi perang tersebut menggambarkan dunia atas, alam dewa yang menjadi pengingat bahwa dunia hanya sementara, juga memberi ingatan untuk berbuat kebaikan ke sesama dan rela mengorbankan nyawa demi keberlangsungan banyak orang," jelas Tonaas Rinto Taroreh.
Penari juga memegang senjata yang bernama Santi dengan ukuran yang panjang.
"Santi ini menjadi lambang pemisah antara yang baik dan yang jahat, ini juga pernah dipakai saat perang Spanyol dan jadi senjata khas Minahasa,"
Baca juga: Relawan Saka Tak Terpengaruh Pernyataan Jokowi, Tetap Optimis Kaesang Maju Pilkada Depok
Dan, penari juga menggunakan banyak tengkorak sebagai kalung untuk aksesori busana tersebut.
"Kalau dulu ini tengkorak manusia (musuh) dan menjadi lambang kekuatan saat perang, tapi sekarang diganti dengan tengkorak monyet," jelas Tonaas Rinto Taroreh.
I Yayat U Santi
Sementara itu Erina menjelaskan baju yang merekai pakai. Melalui akun Instagramnya, Erina menulis
"KAWASARAN MINAHASA. Tabea! Sigi Ne Waraney!"
"Kawasaran adalah tradisi leluhur Suku Minahasa Sulawesi Utara dan merupakan tarian Ksatria Minahasa yang disebut 'Waraney.
Mulanya, kawasaran dilakukan untuk menjalankan ritual Mahsasau.
Kawasaran (berasal dari kata) 'kawak' yang berarti 'melindungi' dan 'asaran' yang berarti 'sama atau berlaku seperti.'"
"Kawasaran, sama seperti leluhur di masa lalu, menjadi pelindung tanah, pelindung negeri, pelindung kehidupan. Bagian dasar baju merupakan kayu alam yang diikat kain tenun pampele dan dipadu-padankan bersama kain tenun kaiwu patola."