Pemanggilan tersebut mengakibatkan perhatian masyarakat terpusat kepada Rektorat UI yang pada akhirnya turut menyebabkan kembali disorotnya isu rangkap jabatan Prof. Ari sebagai Rektor UI.
Sebagai tindak lanjut dari ramainya perhatian publik terhadap hal ini, pada 30 Juni 2021, sembilan alumni UI membuat petisi berjudul “Rektor UI yang melanggar aturan, bukan BEM UI. Hapus Rangkap Jabatan Rektor UI!”
Dalam penjelasannya, petisi tersebut bertujuan untuk menuntut Prof. Ari untuk mundur dari jabatannya sebagai Rektor UI karena telah melanggar Pasal 35 huruf c PP No. 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI.
Pembuat petisi menilai bahwa selain melanggar hukum, adanya rangkap jabatan oleh Prof. Ari juga berpotensi mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan.
Petisi ini juga ditunjukkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim untuk mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran ini.
Menariknya, pada tanggal 2 Juli 2021, hanya beberapa waktu setelah naiknya berita akan rangkap jabatan Rektor Universitas Indonesia, PP No. 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI diganti dengan PP No 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI.
PP ini ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Yasonna H. Laoly.
Hal yang paling menarik adalah Pasal 35 huruf c PP No. 68 Tahun 2013 yang melarang Rektor UI merangkap jabatan sebagai “pejabat” BUMN ternyata diganti pada Pasal 39 huruf c PPNo. 75 Tahun 2021 menjadi “direksi” pada BUMN.
Penggantian diksi tersebut seakan-akan menyelamatkan Prof. Ari yang menjabat sebagai Wakil Komisaris BUMN dan membuatnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Alih-alih ditindak tegas karena pelanggaran yang dilakukan sebagaimana pelanggaran hukum pada umumnya, Prof. Ari yang secara jelas telah melanggar Pasal 35 huruf c PP No. 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI malah “diselamatkan” dengan digantinya PP tersebut menjadi PP No. 75 tahun 2021 tentang Statuta UI.
Sungguh ironis, bagaimana peristiwa yang diduga sebagai upaya untuk “menyelamatkan” Prof. Ari tersebut dilakukan tidak lama setelah kasus rangkap jabatan ini kembali disorot oleh publik.
Pelanggaran hukum yang seharusnya ditindak dengan tegas malah diselesaikan dengan mengubah peraturan hukum terkait.
Bukankah miris melihat hal tersebut terjadi di negara yang “katanya” negara hukum? Dengan demikian, timbul suatu pertanyaan, apakah Indonesia dengan tegas menegakkan hukum yang berlaku atau bersedia membelokkannya demi individu tertentu? Prof. Ari mungkin dapat menjawab pertanyaan itu.