Omnibus Law

Tertangkap Basah, Dua Pria Diduga Copet Dihujani Bogem Massa yang Unjuk Rasa di Kedubes Prancis

Penulis: Desy Selviany
Editor: Feryanto Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Polisi bawa pria diduga pelaku copet di Sabang, Menteng, Jakarta Pusat usai unjuk rasa di Kedutaan Besar Prancis, Senin (2/11/2020)

WARTAKOTALIVE.COM, MENTENG - Dua pelaku diduga copet di unjuk rasa Kedutaan Besar Prancis, Menteng, Jakarta Pusat diamankan massa. Seorang pelaku babak belur dihakimi massa.

Puluhan massa sempat berkerumun di samping Gedung Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Para massa disebut tengah menangkap basah copet yang beraksi ditengah unjuk rasa.

"Katanya menangkap copet," ujar seorang pria yang tidak mau disebutkan namanya ditemui dekat kerumunan massa Senin (2/11/2020) sore.

Baca juga: Copet Merajalela saat Aksi Demo di Kedubes Perancis

Massa pun membawa pria diduga copet itu ke Polsubsektor Sabang yang jaraknya hanya 200 meter dari lokasi.

Di situ seorang pria berkaus putih dengan menggunakan celana abu-abu terlihat babak belur di bagian mata.

Pria itu dibonceng polisi dibagian depan motor untuk dibawa ke Polres Metro Jakarta Pusat.

Ketika ditanya, pria itu mengelak bahwa dirinya bukan copet.

"Saya bukan copet. Saya bukan copet," ujar pria tersebut ke awak media.

Baca juga: Polda Metro Siapkan 15.766 Personel Gabungan Amankan Demonstrasi di Sejumlah Titik

Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat AKBP Burhanuddin mengatakan bahwa pihaknya memang amankan dua pria diduga copet.

Kedua pria berinisial JH (30) dan EJ (23) diamankan massa dan dibawa ke pos polisi setempat.

"Keduanya masih diduga copet yang diamankan massa. Kami masih mendalami saksi dan korban," jelas Burhanuddin ditemui di Polsubsektor Sabang.

Para pelaku diduga copet itu disebut menyaru menggunakan kostum seperti massa aksi.

Hal itu membuat keberadaannya sulit disadari massa atau pihak polisi.

Baca juga: Kebutuhan Hidup Meningkat di saat Pandemi Virus Corona Buruh Kota Bekasi Minta UMK 2021 Naik

Burhanuddin mengaku bahwa dua pelaku itu sempat dapat bogem mentah dari massa saat diamankan.

Ketika ditangkap massa, polisi tidak temukan barang bukti berupa handphone yang dicuri diduga pelaku.

"Saat ini kami masih mendalami dan mencari bukti ya," jelas Burhanuddin.

Pihaknya membawa kedua pelaku ke Polres Metro Jakarta Pusat untuk pendalaman.

Burhanuddin meminta massa aksi untuk lebih dapat waspada saat menggelar unjuk rasa.

Baca juga: Banyak Klaim saat DKI Raih Award Dunia, Anies: Yang Dinilai Inovasi Transportasi 15 Bulan Terakhir

Sebab aksi unjuk rasa memang menjadi sasaran copet untuk beraksi karena ramai dan padat.

"Jadi kami harap simpan barang berharga di tempat aman. Karena jangankan massa, polisi saja sulit bedakan mana copet dan mana massa aksi," imbau Burhanuddin. 

Massa kepung kedubes Prancis

Sejumlah massa melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Kedutaan Besar (Kedubes) Prancis, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (2/11/2020).

Massa berdemo untuk memprotes sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Islam.

Seperti diketahui, sejumlah insiden berdarah terjadi dalam dua bulan terakhir di Perancis, menyusul kritik keras umat Islam atas karikatur Nabi Muhammad yang dicetak ulang oleh majalah satire Perancis.

Baca juga: MUI Tangsel Ajak Umat Islam Boikot Beli Produk Asal Prancis

Baca juga: Presiden Jokowi : Indonesia Mengecam Keras Peryataan Presiden Prancis Emmanuel Macron

Baca juga: Presiden Prancis Sebut Sudah Tiga Kali Negaranya Diserang Teroris, Emmanuel Macron: Terorisme Islam

Pernyataan kontroversi Presiden Prancis Emmanuel Macron

Beberapa pernyataan kontroversi Presiden Prancis Emmanuel Macron menjadi perbincangan publik.

Dinilai pernyataan Emmanuel Macron menghina agama Islam, menyudutkan ummat Islam dan Nabi Muhammad SAW.

Lalu, seperti apa pernyataan kontroversial Emmanuel Macron tersebut hingga membuat penduduk penganut agama Islam murka?

Sebelumnya, Macron mengatakan tak akan melarang pencetakan karikatur Nabi Muhammad SAW, yang sempat menimbulkan kontroversi, Kamis (22/10/2020).

Baca juga: SIMAK Pernyataan Kontroversi Presiden Prancis Emmanuel Macron Hina Agama Islam dan Nabi Muhammad SAW

Baca juga: Ini Kiprah Emmanuel Macron, Presiden Prancis yang Dinilai Menghina Agama Islam dan Nabi Muhammad SAW

Baca juga: Presiden Prancis Dinilai Hina Islam dan Nabi Muhammad SAW, Berikut Fakta-fakta Sosok Emmanuel Macron

Menurut Emmanuel Macron hal itu merupakan bagian dari kebebasan dalam berekspresi.

Tak ayal pernyataan itu menimbulkan kemarahan di dunia Islam dan juga banyak warga Arab.

Pasalnya, gambar Nabi Muhammad SAW merupakan sesuatu yang dilarang keras di agama Islam.

Selain itu, Emmanuel Macron juga menyebut Islam teroris, setelah adanya pemenggalan seorang guru sejarah di Paris.

Guru bernama Samuel Paty itu dipenggal beberapa hari setelah diskusikan dan perlihatkan gambar yang disebut sebagai Nabi Muhammad SAW.

Sang presiden berkata guru itu, Samuel Paty, "dibunuh karena para Islamis menginginkan masa depan kami", tetapi Prancis "tidak akan menyerahkan kartun kami".

Penggambaran Nabi Muhammad dapat sangat menyinggung bagi umat Islam karena tradisi Islam secara eksplisit melarang gambar Muhammad dan Allah.

Namun sekularisme negara - atau laïcité - adalah pusat identitas nasional Prancis.

Pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron dinilai telah menghina agama Islam dan Nabi Muhammad SAW. (Dok AFP/Intisari)

Membatasi kebebasan berekspresi untuk melindungi perasaan satu komunitas tertentu, menurut negara, merusak persatuan.

Pada hari Minggu, Macron menegaskan kembali pembelaannya terhadap nilai-nilai Prancis dalam sebuah twit yang berbunyi: "Kami tidak akan menyerah, selamanya."

Kemarahan Pemimpin

Para pemimpin politik di Turki dan Pakistan telah marah kepada Macron, menuduhnya tidak menghormati "kebebasan berkeyakinan" dan memarjinalkan jutaan Muslim di Prancis.

Pada hari Minggu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, untuk kedua kalinya, bahwa Macron harus melakukan "pemeriksaan mental" pada pandangannya tentang Islam.

Komentar serupa mendorong Prancis memanggil duta besarnya untuk Turki untuk konsultasi pada hari Sabtu.

Produk Diboikot

Produk-produk Prancis diturunkan dari beberapa rak supermarket di Yordania, Qatar, dan Kuwait pada hari Minggu.

Produk kecantikan dan perawatan rambut buatan Prancis, misalnya, tidak lagi dipajang.

Di Kuwait, serikat pengecer besar telah memerintahkan pemboikotan barang-barang Prancis.

Serikat Masyarakat Koperasi Konsumen, yang merupakan serikat non-pemerintah, mengatakan telah mengeluarkan arahan sebagai tanggapan atas "penghinaan berulang" terhadap Nabi Muhammad.

Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Prancis mengakui langkah tersebut.

Ia menulis: "Seruan untuk boikot ini tidak berdasar dan harus segera dihentikan, beserta semua serangan terhadap negara kami, yang didorong oleh kelompok minoritas radikal."

Di dunia maya, seruan untuk boikot serupa di negara-negara Arab lainnya, seperti Arab Saudi, telah beredar.

Tagar yang menyerukan boikot jaringan supermarket Prancis, Carrefour, adalah topik paling tren kedua di Arab Saudi, ekonomi terbesar di dunia Arab.

Sementara itu, unjuk rasa anti-Prancis berskala kecil digelar di Libya, Gaza, dan Suriah utara, tempat yang dikuasai milisi yang didukung Turki.

Mengapa Prancis terlibat dalam perselisihan ini?

Pembelaan keras Macron terhadap sekularisme Prancis dan kritik terhadap Islam radikal menyusul pembunuhan Paty telah membuat marah beberapa sosok di dunia Muslim.

Presiden Erdogan bertanya dalam pidatonya: "Apa masalah individu bernama Macron dengan Islam dan Muslim?"

Sementara pemimpin Pakistan, Imran Khan menuduh sang pemimpin Prancis "menyerang Islam, jelas tanpa memahami apapun tentangnya".

"Presiden Macron telah menyerang dan melukai sentimen jutaan Muslim di Eropa dan di seluruh dunia," katanya dalam sebuah twit.

Awal bulan ini, sebelum pembunuhan sang guru, Macron mengumumkan rencana undang-undang yang lebih ketat untuk mengatasi hal yang ia sebut "separatisme Islam" di Prancis.

Ia mengatakan, kelompok minoritas Muslim di Prancis - terdiri dari kira-kira enam juta orang - berpotensi membentuk "masyarakat tandingan".

Ia menggambarkan Islam sebagai agama "dalam krisis".

Kartun yang menggambarkan nabi Muhammad memiliki warisan politik yang gelap dan intens di Prancis.

Pada 2015, 12 orang tewas dalam serangan di kantor majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, yang menerbitkan kartun tersebut.

Beberapa komunitas Muslim terbesar di Eropa Barat menuduh Macron berusaha menekan agama mereka dan mengatakan kampanyenya berisiko melegitimasi Islamofobia.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesa di dunia, belum ada seruan boikot produk Prancis di Indonesia.

Kendati demikian,  Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi mengecam keras pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang kartun Nabi Muhammad SAW.

Menurut Muhyiddin, pernyataan Macron ini telah membangkitkan gerakan Islamophobia.

"MUI menilai bahwa Macron secara tak langsung telah mendukung gerakan Islamphobia"

"Bahkan kecaman beliau terhadap pelaku pembunuhan atas wartawan Tabloid Charlile Habdo telah menempatkan Macron sebagai pemimpin Eropa yang menduiung tumbuh suburnya gerakan Islamophobia," ujar Muhyiddin melalui keterangan tertulis, Senin (26/10/2020).

Menurut Muhyiddin, Macron harus belajar banyak tentang toleransi beragama kepada Islam.

Dirinya menilai kebebasan tanpa batas dan melawan norma justru akan mengakibatkan kegaduhan dan kekacauan.

"MUI meminta kepada Menlu agar segera memanggil Dubes Prancis untuk Indonesia guna mendapatkan klarifikasi dan penjelasan komprehensif terkait sikap Pernyataan Presiden Emmanuel Macron," tegas Muhyiddin.

Muhyiddin mengatakan masyarakat muslim dunia sangat geram dan menyesalkan sikap Emmanuel Macron. Apalagi pengungkitan kasus Charlie Hebdo di tengah Pandemic Covid-19.

Menurut Muhyiddin Prancis harusnya belajar banyak dari negara Jerman.

Kanselir Jerman Angela Merkel dinilainya cukup dewasa dalam bersikap dan menghargai perbedaan sudut pandang di negara yang heterogen.

"Ternyata pernyataan Macron tentang Islam dan umat Islam sebagai main trigger di banyak kasus kekerasan di dunia, terutama jika umat islam mayoritas"

"Ini sangat berbahaya seakan menyamakan Islam agama kekerasan dan intoleran," kata Muhyiddin.

Padahal, menurut Muhyiddin, pertumbuhan Muslim di kalangan warga Prancis terus bertambah tiap tahunnya.

Menurutnya, muslim Prancis punya andil besar dalam membangun negara tersebut.

"Para pemain sepak bola muslim Prancis telah berkontribusi besar kepada bangsa dan negara Prancis," pungkas Muhyiddin.

Berita Terkini