Royalti

PHRI Protes LMKN Tarik Royalti Musik dan Lagu, Hariyadi Sukamdani: Tamu Bisa Protes

Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani menyatakan berat untuk penerapan royalti di industrinya, karena bakal terjadi gesekan dengan tamu.

Editor: Valentino Verry
tribunnews
ROYALTI - Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani keberatan atas penerapan pembayaran royalti untuk lagu dan musik yang diputar di restoran, kafe dan hotel. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Persoalan pembayaran royalti untuk lagu dan musik berbuntut panjang.

Karena Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) ingin memungut royalti dari lagu atau suara alam yang diputar di sebuah restoran, kafe atau hotel.

Royalti adalah pembayaran yang diberikan kepada pemilik hak cipta, paten, atau merek dagang sebagai imbalan atas penggunaan hak tersebut. 

Intinya, royalti adalah uang yang dibayarkan kepada pencipta atau pemilik hak atas karya atau ciptaan mereka ketika karya tersebut digunakan atau dijual. 

Baca juga: Apakah Menyanyikan Lagu di Hajatan atau Pesta Ulang-tahun Harus Bayar Royalti? Ini Kata Pakar Hukum

Setelah lama diam, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) akhirnya buka suara soal royalti ini.

Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani menyampaikan sejumlah keberatan terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

UU ini mewajibkan industri hotel dan restoran membayar royalti musik dan lagu yang mereka putar atau nyanyikan di fasilitas bisnis mereka. Bagi PHRI, ini memberatkan.

Hariyadi menilai harus ada revisi atas sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta dan aturan turunannya, karena menimbulkan beban berlebihan terhadap pelaku usaha, terutama dalam hal penarikan royalti oleh LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Baca juga: Denny Sumargo Kritik Suara Burung dan Alam Kena Royalti, LMKN: Kenapa Susah Sekali Bayar Hak Orang?

“Tagihan royalti seringkali dikenakan mundur, bahkan sejak diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2014. Ini sangat aneh dan memberatkan," ucapnya saat dihubungi Tribunnews, Senin (11/8/2025).

"Seharusnya hanya tagihan berjalan yang bisa ditagihkan serta dibayarkan,” imbuh Hariyadi Sukamdani

Menurut Hariyadi, soal royalti ini harus dibenahi, karena minim sosialisasi.

Selain itu, pendekatannya kurang bagus karena secara represif, termasuk melibatkan aparat penegak hukum dalam penagihan royalti. 

Baca juga: Polemik Royalti Belum Berakhir, Anji: Perlu Ada UU Tata Kelola Industri Musik

Kata Hariyadi, struktur tarif yang diberlakukan dinilai tidak adil dan tidak mencerminkan kondisi riil pendapatan usaha.

“Tarif royalti saat ini didasarkan pada jumlah kamar untuk hotel, jumlah kursi untuk restoran, bahkan luas tempat usaha," ucapnya.

"Ini tidak tepat karena pendapatan usaha tidak selalu konsisten," imbuhnya. 

"Akibatnya, lagu menjadi barang mahal untuk digunakan, padahal seringkali hanya digunakan sebagai backsound,” jelasnya.

PHRI meminta pemerintah dilibatkan dalam proses penyusunan tarif royalti, bukan hanya sebagai pihak yang menetapkan usulan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Dalam Pasal 89 UU Hak Cipta, menurut Hariyadi, perlu ditambahkan ketentuan yang memberikan ruang bagi pencipta untuk membebaskan ciptaannya dari royalti jika digunakan di tempat usaha.

“Sekarang ini, walaupun pencipta sudah menyatakan lagunya bebas royalti, LMK tetap menagih," ujarnya. 

"Ini menggambarkan LMK bekerja tanpa menghormati mandat dari pencipta," imbuhnya.

"Padahal seharusnya penagihan royalti hanya boleh dilakukan berdasarkan mandat yang jelas dan dapat dibuktikan,” kata Hariyadi.

Menurut Hariyadi, dana operasional LMKN dan LMK seharusnya tidak diambil dari dana royalti yang dipungut.

“Biaya operasional seharusnya berasal dari iuran keanggotaan atau sumber lain yang sah," ujarnya. 

"Royalti itu adalah dana titipan dari masyarakat untuk pencipta,” imbuhnya.

PHRI juga mempermasalahkan ketentuan dalam PP No. 56 Tahun 2021, terutama pasal yang memberikan kewenangan kepada LMKN untuk menghimpun royalti dari pencipta yang bahkan belum menjadi anggota LMK.

“Akibatnya, pelaku usaha yang membuat lagu sendiri atau menggunakan lagu bebas royalti tetap dikenakan royalti. Ini tidak adil," ucapnya. 

"LMKN hanya boleh menarik royalti jika ada mandat dari pencipta,” tegasnya.

Ia juga menyoroti ketentuan yang memperbolehkan LMKN menyimpan royalti dari pencipta yang belum terdaftar, dan jika dalam dua tahun tidak bergabung, dana dialihkan ke cadangan.

“Ini tidak tepat. Royalti itu harus didistribusikan kepada yang berhak," ujarnya. 

"Harus ada transparansi dan audit publik agar masyarakat tahu dana digunakan sebagaimana mestinya. Pemerintah juga wajib mengawasi pendistribusian dana royalti,” lanjut Hariyadi.

Menurutnya, pemahaman tentang “penggunaan komersial” juga perlu diluruskan. 

Lagu yang diputar sebagai musik latar di tempat usaha tidak seharusnya dikenakan royalti.

“Hotel dan restoran bukan tempat pertunjukan musik. Tamu datang untuk menginap dan makan, bukan untuk mendengarkan lagu," ucapnya. 

"Jangan sampai karena hal ini, pelaku usaha berhenti memutar musik, seperti kasus Mie Gacoan kemarin,” tambahnya.

PHRI juga mengkritik mandeknya pembuatan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) oleh LMKN yang seharusnya sudah rampung sesuai amanah PP 56/2021. 

“Jika tidak selesai dalam batas waktu yang ditentukan, PP itu seharusnya batal demi hukum. Ini bentuk inkonsistensi pemerintah sebagai regulator,” katanya.

Hingga saat ini PHRI mengaku belum menyampaikan usulan resmi kepada pemerintah atau DPR, namun menurut Hariyadi, urgensi revisi UU Hak Cipta sangat tinggi agar tidak terus menimbulkan kegaduhan di lapangan.

Soal kabar ada pengelola restoran yang mengenakan charge royalti musik secara eksplisit dalam struk/lembar tagihan konsumen, Hariyadi mengaku belum menerima laporan semacam itu.

"Jika memang ada, itu tidak tepat. Tamu hotel datang untuk menginap, bukan dengar lagu. Tamu restoran datang untuk makan, bukan menikmati musik," ucapnya. 

"Kalau dimasukkan dalam tagihan, pasti akan memicu protes dari tamu,” imbuhnya.

Hariyadi mendesak pemerintah agar tidak menyerahkan sepenuhnya urusan penarikan royalti kepada LMKN atau LMK.

“Bagaimana masyarakat bisa percaya kalau tidak ada perwakilan pemerintah dalam struktur LMKN? Mereka bisa menjadi semacam ‘superbody’ yang menetapkan tarif hanya dari sisi pencipta tanpa melihat kemampuan pelaku usaha," ucapnya.

"Pemerintah seharusnya hadir dan menjadi bagian dalam menyusun kebijakan agar lebih proporsional dan adil,” tandasnya.

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News 

Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved