Kesehatan Anak

Waspada, Anak Mendengkur Tiga Kali dalam Seminggu Jadi Tanda Bahaya Gangguan Pernafasan

Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A, Subsp.Respi(K) sebut anak mendengkur tiga kali dalam seminggu jadi tanda bahaya yang harus segera ditangani.

Wartakotalive.com/Mochammad Dipa
Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A, Subsp.Respi(K) (kiri) menjelaskan terkait bahaya mendengkur pada anak dalam kegiatan book review with the expert di Agreya Coffee Menteng, Minggu (1/6/2025). 

WARTAKOTALIVE.COM, MENTENG - Mendengkur sering dianggap hal biasa dan tidak berbahaya, terutama saat tidur.

Namun, jika anak Anda sering mendengkur, apalagi dengan suara keras dan terjadi hampir setiap malam, ini bisa menjadi tanda gangguan kesehatan serius yang tidak boleh diabaikan.

Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A, Subsp.Respi(K), mengatakan, mendengkur pada anak justru bisa menjadi tanda bahaya yang harus segera ditangani karena berkaitan erat dengan kesehatan pernapasan dan tumbuh kembang anak.

"Kalau mendengkur ini terjadi tiga kali atau lebih dalam seminggu, itu sudah masuk kategori bahaya," ungkap Prof. Bambang dalam kegiatan book review with the expert di Agreya Coffee, Menteng, Jakarta, Minggu (1/6/2025).

Bila dibiarkan, lanjut Prof. Bambang, kebiasaan ini dapat menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak selama tidur. Akibatnya, anak bisa mengalami gangguan kognitif, menjadi hiperaktif, sulit berkonsentrasi, dan tidur tidak nyenyak. 

"Kalau oksigen itu kurang ke otak, maka anaknya satu, menjadi kognitifnya kurang, anaknya menjadi hiperaktif. Belum lagi tidurnya enggak tenang. Tidurnya itu selalu seperti helikopter, muter-muter, sehingga sering terbangun," ucapnya.

Mendengkur pada anak dipicu alergi

Menurut Prof. Bambang, mendengkur pada anak sering kali dipicu oleh alergi yang tidak tertangani. Alergi ini menyebabkan pembesaran amandel tonsil (rongga kerongkongan) dan adenoid (area nasofaring) atau struktur lain seperti konka di dalam rongga hidung 

Pembesaran ini menyumbat saluran napas dan membuat anak harus bernapas lewat mulut (mouth breathing), yang memperparah iritasi saluran napas akibat masuknya udara kotor, dingin, atau panas tanpa penyaringan dari hidung.

"Hidung itu seharusnya berfungsi seperti air conditioner alami. Kalau fungsinya terganggu, kuman dan iritan lebih mudah masuk dan merusak saluran napas," jelasnya.

Adapun gejala khas anak dengan pembesaran amandel atau adenoid antara lain:

  • Tidur dengan mulut terbuka (menganga).
  • Tidur tidak tenang, posisi kepala berpindah-pindah seperti 'helikopter'.
  • Hiperaktif, susah konsentrasi di siang hari.
  • Masih ngompol di usia 3–6 tahun.
  • Sering batuk atau pilek berulang.
  • Riwayat alergi pada anak atau orang tuanya.

"Anak yang terus-menerus mendengkur berisiko tinggi mengalami gangguan yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS), yaitu henti napas sementara saat tidur akibat sumbatan di saluran napas," ungkap Prof. Bambang.

Cara mendeteksinya

Cara paling ideal untuk mendeteksi gangguan tidur adalah melalui pemeriksaan sleep study di rumah sakit, yaitu merekam kondisi tidur selama 6–8 jam dan mencatat berapa kali mendengkur, berhenti napas, atau terbangun.

Namun, untuk deteksi awal, Prof. Bambang menyarankan cara sederhana yaitu dengan merekam video anak saat tidur selama 1–2 menit, terutama saat mulut terbuka atau mendengkur.

"Tunjukkan rekaman tersebut ke dokter untuk membantu diagnosis. Gunakan alat saturasi oksigen (jika tersedia) untuk melihat apakah anak kekurangan oksigen saat tidur," sebutnya

Operasi adenoid

Prof. Bambang menyebutkan, operasi adenoid  bisa dilakukan jika kondisi pembesaran terjadi di atas 80 persen.

Namun, jika kondisi dibawah 80 persen, pembesaran adenoid dapat dikurangi melalui pengobatan, yaitu semprot hidung menggunakan kortikosteroid, yang membantu mengurangi peradangan dan pembengkakan dan cuci hidung menggunakan larutan garam steril untuk membersihkan rongga hidung dari lendir dan alergen.

"Cuci hidung bukan obat, tapi untuk bersihkan rongga hidung. Bisa dilakukan dua kali atau tiga kali sehari. Tapi kalau pakai kortikosteroid, pemakaiannya bisa dua kali sehari atau satu kali sehari," tandasnya.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved