Stunting

Pemkot Jaksel Ungkap Penyebab Stunting, Hasilnya Mengejutkan, Kepala BPOM Yakin MBG Jadi Solusi

Pemkot Jaksel berjibaku mengentaskan stunting, ternyata tak mudah. Sebab ada kebiasaan buruk di rumah tangga. Apa itu?

Editor: Valentino Verry
Warta Kota/ Panji Baskhara Ramadhan
PENYEBAB STUNTING - Pemkot Jaksel menemukan fakta bahwa stunting bukan hanya dipicu oleh asupan gizi yang buruk, tapi juga faktor lingkungan seperti persoalan sampah rumah tangga. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Stunting masih menjadi kendala bagi Indonesia dalam membangun manusia yang sehat.

Berbagai cara sudah dilakukan, namun belum berhasil secara maksimal.

Terbaru, Pemerintah Kota Jakarta Selatan mengungkapkan fakta terkait penyebab utama stunting di wilayahnya. 

Ternyata, stunting di Jaksel bukan dipicu gizi buruk, namun didominasi oleh masalah lingkungan, terutama limbah cair dan sampah rumah tangga. 

Baca juga: Ciptakan Generasi Kuat dan Sehat, Ibu Hamil dan Balita jadi Sasaran Pencegahan Stunting di Indonesia

“Berdasarkan data hasil Gerebek Stunting tahun 2024, faktor determinan penyebab kejadian stunting di Jakarta Selatan yang paling tinggi persentasenya adalah dikarenakan pengelolaan limbah cair rumah tangga tidak baik, yakni 90 persen,” kata Wakil Wali Kota Jakarta Selatan, Ali Murthadho, Selasa (27/5/2025), dikutip dari Kompas.com. 

Selain itu, pengelolaan sampah rumah tangga yang buruk menempati posisi kedua dengan 89 persen, diikuti kebiasaan merokok dalam keluarga sebesar 76 persen, dan asupan gizi tidak seimbang sebesar 62 persen. 

Dengan data tersebut, Pemkot Jaksel menekankan pentingnya aksi kolektif dari seluruh jajaran, mulai dari camat hingga lurah, untuk memaparkan kinerja nyata dalam upaya penanganan stunting, terutama menjelang penilaian Delapan Aksi Konvergensi Stunting Tahun 2025. 

Baca juga: Urban Farming di Duri Kosambi Bisa Raup Rp 5 Juta Sekali Panen, Sebagian untuk 15 Anak Stunting

“Dalam paparannya kami sajikan kepada tim penilai dari Provinsi (DKI Jakarta) data yang benar dan valid sesuai pelaksanaannya selama ini,” ujar Ali. 

Meski tantangan masih besar, Jakarta Selatan mencatatkan progres positif. 

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, prevalensi stunting di Jakarta Selatan berada di angka 16,6 persen (terendah di antara lima wilayah kota/kabupaten di DKI Jakarta). 

Angka itu bahkan kembali turun menjadi 14,9 persen menurut data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024. 

Baca juga: Cegah Stunting, Warga Kampung Muara Bahari Jakut Dapat Bantuan Beras dan Susu Gratis

Persentase balita dengan kondisi underweight dan wasting pun ikut menurun. 

Ali optimistis, capaian ini menjadi modal kuat untuk mewujudkan Jakarta Selatan bebas stunting

“Insya Allah dalam penanganan stunting ini kita dapat menggerakkan hati dan pikiran masyarakat untuk secara bersama-sama bergotong-royong, berinovasi dalam penanganan kasus stunting untuk menuju 'Jakarta Selatan Zero Stunting',” pungkasnya.

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar, mengklaim bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi solusi strategis untuk mengatasi persoalan stunting dan malnutrisi, di tengah ancaman lonjakan populasi penduduk Indonesia. 

“Makan bergizi gratis ini lah yang solusinya. Nah, solusinya itu maka kita mendukung, (meskipun) disana-sini masih terdapat secara teknis ada masalah, itu kita perbaiki,” ujar Taruna usai rapat bersama Komisi IX DPR RI, Rabu (21/5/2025). 

Taruna menyebut ada 17 kasus keracunan yang terjadi di 10 provinsi, dan itu menjadi catatan penting untuk evaluasi kedepannya. 

“Justru dari situ kita belajar dan bisa memperbaiki sistem yang ada,” tegas dia. 

Meski begitu, Taruna mengatakan, tingkat fertilitas Indonesia yang saat ini mencapai 2,7 persen berpotensi menambah sekitar 4,8 juta jiwa setiap tahunnya. 

Jika tren ini konsisten, maka populasi Indonesia bisa melonjak hingga 350 juta jiwa pada tahun 2045, saat Indonesia memasuki usia 100 tahun kemerdekaannya. 

“Artinya, kita bisa menjadi negara dengan populasi terbesar ketiga di dunia. Namun ini akan menjadi beban jika kualitas gizi anak-anak kita tidak ditangani dengan baik,” lanjut dia. 

Taruna menyebut, saat ini 80 persen anak-anak Indonesia yang mengalami masalah gizi. 

Sekitar 21 persen menderita stunting, 40 persen mengalami defisiensi mikronutrien seperti zat besi dan yodium, serta 20 persen mengalami kelebihan berat badan (overweight). 

Hanya sekitar 20 persen anak yang memiliki status gizi normal. 

“Kalau anak-anak kita tidak mendapatkan asupan gizi yang baik sejak dini, maka ke depan mereka akan lebih rentan terhadap penyakit degeneratif dan tidak mampu berkontribusi secara optimal dalam bonus demografi,” katanya.


Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News 

Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved