Pemerasan

Kasus Dugaan Pemerasan AKBP Bintoro Mencoreng Polri, Ini Pandangan DPR, Pengamat dan Kompolnas

Publik menyoroti Polri dalam menangani kasus dugaan pemerasan AKBP Bintoro. Jika terbukti ini sungguh memalukan, karena itu perlu sanksi tegas.

|
Editor: Valentino Verry
Warta Kota/Nurma Hadi
DUGAAN PEMERASAN - Polri saat ini sedang menangani kasus dugaan pemerasan mantan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Bintoro. Dia diduga memeras terhadap terdakwa kasus pembunuhan hingga miliaran rupiah. Foto diambil saat AKBP Bintoro masih bertugas. (WARTA KOTA/Nurma Hadi) 

Ade menjelaskan EDH dilaporkan karena meminta AN menjual mobil mewah Lamborghini untuk penanganan perkara hukum yang dialami.

Adapun kejadian itu terjadi sekitar April 2024 lalu.

AN meminta hasil penjualan mobil itu ditransfer kepadanya dengan nilai sebesar Rp3,5 miliar.

"Akan tetapi sampai saat ini uang penjualan mobil milik korban tidak diberikan oleh pelapor dan saat ini mobil milik korban tak dikembalikan oleh terlapor sehingga korban merasa dirugikan Rp 6,5 miliar," ucapnya.

Polda Metro akan melakukan pendalaman dan sedang tahap penyelidikan oleh tim penyelidik.

Kabid Propam Polda Metro Jaya Kombes Radjo Alriadi Harahap memastikan AKBP Bintoro bersama tiga anggota polisi lainnya segera menjalani sidang etik kasus dugaan pemerasan.

“Tidak terlampau lama lagi (sidang etik, red),” jelasnya.

Pengamat Menduga Sering Terjadi

Pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menduga kasus semacam ini cukup banyak terjadi, tetapi hanya sedikit yang berani melaporkan atau mengungkapkan.

“Tapi yang mencuat, yang berani speak up (berbicara) hanya beberapa orang, seperti pada kasus DWP. Dan yang berani speak up adalah warga negara asing, seperti itu,” kata Bambang dikutip dari Kompas.TV, Rabu (29/1/2025).

Oleh karena itu kepolisian memang harus ada pembenahan dalam sistem kontrol karena kalau tidak ada perbaikan dalam sistem kontrol, ini akan terulang-terulang lagi.

Bambang menambahkan, sebenarnya kepolisian harus membangun sistem informasi proses penyelidikan untuk transparansi.

Tujuannya, agar masyarakat bisa melihat sejauh mana proses hukum itu dilakukan oleh kepolisian.

“Kalau tidak, yang muncul ya seperti ini, masyarakat tidak bisa mengontrol, akhirnya muncullah transaksi-transaksi haram seperti ini. Ada yang menyuap, ada yang memeras, seperti itu. Siapa yang memeras atau menyuap, sama-sama tentu adalah tindak pidana,” bebernya.

Publik, kata dia,  tentu tidak bisa menyudutkan salah satu pihak.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved