Kisah Kamilah Tiga Tahun jadi Pengrajin Tusuk Sate Tradisional di Cilamaya Karawang

Kamilah (31) warga Dusun Karanganyar, Desa Cilamaya, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, baru tiga tahun menjadi pengrajin tusuk sate.

Penulis: Muhammad Azzam | Editor: Junianto Hamonangan
Warta Kota/Muhammad Azzam
Kamilah (31) warga Dusun Karanganyar, Desa Cilamaya, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat baru tiga tahun menjadi pengrajin tusuk sate. 

WARTAKOTALIVE.COM, KARAWANG - Kamilah (31) warga Dusun Karanganyar, Desa Cilamaya, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat baru tiga tahun menjadi pengrajin tusuk sate.

Awalnya dia tak mau menjadi pengrajin tusuk sate karena penghasilannya yang sangat minim.

Akan tetapi, dirinya memutuskan menjadi pengrajin karena meneruskan usaha orangtuanya maupun kakeknya yang lebih dulu menggeluti usaha tersebut.

Apalagi di dusun tempat tinggalnya itu hampir seluruhnya merupakan pengrajin tusuk sate.

Diperkiraan kampung atau dusun Karanganyar sejak tahun 1970 warganya sudah menjadi pengrajin tusuk sate.

Kembali ke Kamila, disela-sela tugasnya sebagai ibu rumah tangga, Kamila membuat tusuk sate dari bahan bambu. Dalam sehari, dirinya mampu mengolah satu bambu menjadi ratusan tusuk sate.

Satu bambu itu dapat menghasilkan 25 iket tusuk sate. Satu ikatnya itu ada sekitar 200 tusuk sate. Sehingga total bisa membuat sekitar 4.800 tusuk sate setiap bambunya.

"Tapi ini proses pembuatannya bisa seharian. Hasil produksinya baru dijual besok harinya," kata Kamila saat ditemui TribunBekasi di Kantor Desa Cilamaya pada Sabtu (21/9/2024).

Baca juga: Heru Budi Minta RT dan RW Laksanakan Tertib Administrasi Kependudukan Jelang Pilkada 2024

Dia melanjutkan, satu ikat tusuk sate dijual dengan harga Rp 3.000. Total ada 25 ikat tusuk sate dari satu bambu, sehingga jika terjual semua mendapatkan uang sebesar Rp 75.000.

Jumlah itu masih pendapatan kotor, karena belum dipotong biaya membeli bambu seharga Rp 10-15 ribu dan biaya tambahan pemotongan bambu menjadi kecil-kecil seharga Rp 7.000.

Total modal itu Rp 17-22 ribu per bambu yang menjadi 25 ikat tusuk sate itu. 

"25 ikat dikali Rp 3 ribu itu Rp 75 ribu, dipotong modal ya untung bersihnya kira-kira Rp 53 ribu tapi itu kan dua hari, satu hari proses produksi dan satu hari proses penjualan," kata dia.

Jika ramai orderan, dirinya bisa menghabiskan 15 bambu dalam satu bulan. Akan tetapi jika sepi hanya 5 bambu saja buat bahan pembuatan tusuk sate. 

Pasalnya, kata Kamila, hasil produksi tusuk sate di kampunya hanya dijual di sekitara wilayah Cilamaya saja. Belum sampai dijual ke luar daerah wilayahnya.

Untuk itu, dirinya bersama pengrajin tusuk sate lainnya berharap ada perhatian lebih dari pemerintah daerah, terutama dalam membantu pemasaran produk tusuk sate yang dibuatnya.

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved