Manuver Presiden Jokowi
Makan Malam Bersama Surya Paloh, Pengamat: Jokowi sedang Jalankan Politik 3M
Presiden Jokowi sedang melakukan manuver politik 3 M untuk melindungi pemerintahan Prabowo-Gibran dari kekuatan oposisi.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA--Presiden Joko Widodo dinilai sedang melakukan manuver untuk melemahkan gerakan pembentukan oposisi.
Salah satu indikasinya adalah mengundang Ketua Umum Partai Nasdem untuk makan malam di Istana Presiden pada Minggu (18/2/2024).
Presiden Joko Widodo sedang melakukan langkah 3M yakni memecah, mencegah, dan merangkul lawan politik.
Seperti diketahui Partai Nasdem adalah pendukung pencalonana Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar bersama PKB dan PKS.
Sementara Presiden sangat condong mendukung pencalonan puteranya Gibran Rakabuming Raka, yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.
"Saya menyebut pertemuan Presiden Jokowi dengan Surya Paloh sebagai manuver 3 M. Apa itu 3 M, memecah, mencegah dan merangkul, atau merayu lah," kata Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda.
Baca juga: SBY Dipastikan Tidak Hadir di Istana dalam Pelantikan AHY sebagai Menteri ATR/BPN
Dalam program Obrolan News Room Kompas.com, Selasa (20/2/2024), Hanta juga menuturkan, pertemuan Jokowi dan Surya Paloh dapat dimaknai upaya untuk memecah Koalisi Perubahan yang mengusung pasangan Anies-Cak Imin.
Kongsi politik itu terdiri dari Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
"Itu kalau Pak Surya sudah goyang, kemudian sudah bergeser-geser sedikit, paling tidak sudah menerima hasil Pemilu dan seterusnya, kemungkinan sia akan bergeser.
Itu sudah tanda, dan kemungkinan (koalisi) AMIN akan pecah," ujar Hanta.
Dengan demikian, Anies tidak lagi mempunyai kaki politik untuk mengusung narasi perubahan.
Hanta melanjutkan, pertemuan Jokowi dan Surya Paloh juga merupakan upaya untuk mencegah pertemuan antara Surya Paloh dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Menurut Hanta, Jokowi perlu mencegah pertemuan dua ketua umum partai politik ini.
Tujuannya supaya PDIP dan Nasdem tidak bersekutu untuk menjadi oposisi pada pemerintahan berikutnya.
"Itu awal pertemuan yang akan mengkonsolidasi opisisi, karena kalau ada pertemuan Ibu Mega dan Pak Surya, ini ada kemungkinan akan ada oposisi yang terkonsolidasi. Itu juga yang mungkin dicegah Pak Jokowi," ujar dia.
Terakhir, pertemuan Jokowi dan Surya Paloh juga bisa dimaknai sebagai upaya Jokowi agar Partai Nasdem masuk dalam barisan pendukung pasagnan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Pasalnya, koalisi pendukung Prabowo-Gibran belum menguasai mayoritas parlemen sehingga butuh dukungan dari Nasdem maupun PKB yang dinilai tak punya DNA sebagai oposisi.
Baca juga: AHY Dilantik Jadi Menteri dan Kebiasaan Jokowi Reshuffle pada Hari Rabu Pon, Ini Maknanya
"Kita tahu pemerintahan, kalau Prabowo-Gibran dilantik, itu belum cukup 50 persen di parlemen, mereka butuh dukungan parlemen yang cukup memadai," kata Hanta.
"Minimal simple majority atau mayoritas sederhana untuk menyukseskan agenda pemerintahan, mengajukan proposal kebijakan, mereka minimal harus 55-60 persen," imbuh dia.
Seperti diketahui, Jokowi dan Paloh bertemu di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Minggu petang hingga malam lalu.
Jokowi mengeklaim bahwa pertemuannya dengan Paloh adalah pertemuan biasa dan topik yang dibahas pun masalah politik yang menurutnya biasa saja.
"Memang ada pertemuan dan itu akan sangat bermanfaat bagi perpolitikan kita, bagi negara kita," kata Jokowi, Senin (19/2/2024).
Senada, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali juga menilai pertemuan kedua tokoh itu merupakan hal yang biasa karena Nasdem masih menjadi bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
"Pertemuan itu bisa kita lihat pada perspektif bahwa Pak Jokowi dan Pak Surya itu dalam bagian koalisi Pak Jokowi 2019.
Baca juga: AHY Bakal Dilantik Jadi Menteri, Sekjen Gerindra Terkejut: Kok Saya Tidak Tahu?
Apa yang pernah saya dan Pak Surya sampaikan sebelumnya, bahwa komitmen-komitmen Nasdem akan mengawal pemerintahan sampai 2024,” kata Ali.
Butuh 70 persen kekuatan di DPR
Sebelumnya Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menyebut Prabowo dan Jokowi akan mengajak partai-partai yang berpotensi menjadi oposisi masuk dalam gerbong mereka.
“Lingkaran istana dan Prabowo saat ini sedang melakukan pendekatan untuk meyakinkan PDIP bersedia ikut mem-back up pemerintahan Prabowo ke depan.
Ini tidak perbeda sebagaimana PDIP dulu mempersilakan Prabowo masuk ke kekuasaan pasca-kekalahannya dari Jokowi pada Pilpres 2019,” kata Khoirul Umam kepada Kompas.com, Senin (19/2/2024).
Meski Prabowo-Gibran unggul jauh pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 menurut hasil hitung cepat, namun, Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo berada di urutan ketiga dalam pemilu legislatif (pileg).
Baca juga: Perkarakan Kecurangan Pemilu, Kubu Ganjar-Mahfud Bikin Tim Khusus Dipimpin Todung
Perolehan suara partai berlambang garuda itu sekitar 13 persen, tak lebih besar dari PDIP dan Partai Golkar.
Dengan hitungan demikian, Prabowo akan memiliki tingkat ketergantungan politik yang sangat tinggi demi menjaga stabilitas politik dan pemerintahannya di fase transisi awal yang seringkali penuh turbulensi.
Untuk mengamankan itu, Prabowo harus bisa mengumpulkan setidaknya 70 persen kekuatan politik di parlemen.
Oleh karenanya, tak heran jika kubu Prabowo-Gibran berupaya merangkul partai-partai di luar koalisi mereka.
Di sisi lain, kata Umam, situasi ini menjadi peluang emas bagi partai-partai menengah untuk putar balik dari koalisi lama, dengan membelot pada kubu pemenang.
Sebab, partai-partai kelas tengah cenderung tidak siap berhadap-hadapan dengan kekuasaan.
Baca juga: PKS Bersuara Keras: Pertemuan Jokowi-Surya Paloh Jangan Sampai Nihilkan Kecurangan TSM
“Mereka juga tampaknya tidak siap untuk menanggung risiko dan konsekuensi ekonomi-politik dan stabilitas internal partainya ketika mereka harus berpuasa dari kekuasaan,” ujar dosen Universitas Paramadina itu.
Atas situasi tersebut, PDIP berpeluang untuk bergabung ke pemerintahan Prabowo, namun juga tak menutup peluang menempatkan diri sebagai oposisi.
Sebagai petinggi partai, Ketua DPP PDIP Puan Maharani diyakini lebih fleksibel dan berpotensi membuka ruang negosiasi dengan kubu lawan.
Akan tetapi, langkah partai banteng bergantung pada keputusan ibunda Puan yang juga Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri.
Sementara, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang perolehan suaranya dalam pileg kian melemah diyakini akan bergabung ke pemerintahan yang berkuasa.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.