Pilpres 2024

Soal Keputusan MKMK: Ganjar Pranowo Minta Rakyat Menilai, Denny Indrayana Sesalkan Jimly Asshiddiqie

Ganjar Pranowo meminta rakyat menilai keputusan MKMK yang tidak membatalkan putusan perkara No 90 2023. Denny Indrayana kecewa pada Jimly Asshiddiqie

Editor: Rusna Djanur Buana
KOMPAS.com/Ardito Ramadhan
Bakal calon presiden Ganjar Pranowo seusai Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Lubang Buaya, Jakarta, Rabu (8/11/2023). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA--Ganjar Pranowo menegaskan pihaknya akan menghormati keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang tidak mencabut Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023.

Padahal terbukti jelas ada pelanggaran etika berat ketika Mahkamah Konstitusi membat keputusan No 90 tahun 2023 itu.

Tidak dibatalkannya keputusan itu membuat Gibran Rakabuming Rak sah melenggang ke kontestasi Pilpres 2024 berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Ganjar yang berpasangan dengan Mahfud MD memilih tidak banyak komentar.

Tapi pasangan yang diusung PDIP, PPP, Perindo dan Hanura ini yakin, rakyat sudah cukup cerdas untuk melihat dan menilai apa yang terjadi sebenarnya.

Baca juga: VIDEO Bersama Megawati, Ganjar dan Mahfud MD Ziarah ke Makam Soekarno

"Ya saya sih enggak akan berkomentar soal itu karena sudah diputuskan ya kita hormati atas keputusannya," kata Ganjar seusai Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Lubang Buaya, Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Politikus PDIP ini berpandangan, masyarakat dapat memberikan penilaiannya sendiri atas putusan tersebut. Ia hanya berharap agar proses demokrasi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dapat berjalan lebih baik.

"Semuanya silakan menilai sendiri-sendiri akan proses yang terjadi di sana. Kita harapkan demokrasinya besok lebih baik saja," ujar Ganjar seperti dilansir Kompas.com.

Denny Indrayana kecewa

Sementara dalam keterangan tertulisnya, pakar hukum tata negara Denny Indrayana mengaku bisa memahami dan mengerti keputusan MKMK yang hanya mencopot jabatan Anwar Usman sebagai ketua MK.

Tapi mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu juga menyesalkan putusan MKM.

Baca juga: Ini Beda Respons Gibran, Cak Imin, dan Mahfud MD Terkait Pencopotan Ketua MK Anwar Usman

Memahami, karena Majelis Kehormatan punya keterbatasan kewenangan, tetapi menyesalkan karena Jimly Asshiddiqie melepaskan kesempatan mengukir sejarah membuat putusan monumental (landmark decision) yang menegakkan kembali hukum Indonesia yang seharusnya bermoral dan berkeadilan.

"Jika ada orang yang mempunyai kompetensi untuk menghadirkan keadilan konstitusional, maka sosok itu adalah Profesor Jimly Asshiddiqie, tentu bersama-sama dengan Profesor Bintan R Saragih dan Yang Mulia Doktor Wahiddudin Adams.

Karena itu, saya bersyukur dan menaruh harapan besar ketika mengetahui Profesor Jimly diberi amanah sebagai Ketua MKMK," tulis Jimly.

Menurutnya kapasitas-intelektual Profesor Jimly jelas mumpuni. Integritas-moralnya nyata tidak terbeli.

Sayangnya, putusan MKMK masih terjebak hanya menghadirkan keadilan normatif, tetapi gagal melahirkan keadilan substantif.

Sebenarnya hanya dibutuhkan inovasi hukum, dan sedikit bumbu keberanian, untuk menghadirkan solusi yang lebih efektif dan konstruktif.

"Hukum kita sudah sakit parah-sekarat. Menyembuhkannya tidak bisa dengan pengobatan biasa-biasa saja, tetapi perlu operasi besar yang memang meniti di antara jurang kehidupan dan kematian.

Baca juga: Buntut Pencopotan Ketua MK Anwar Usman, Jubir Anies Tantang Prabowo Coret Gibran

Saat jantung keadilan tersumbat total lemak kolesterol "akal bulus dan akal fulus", maka harus ada tindakan akal sehat yang membelah dada, dan mem-bypass aliran darah, agar kembali lancar normal.

Sayangnya, MKMK masih melakukan tindakan pengobatan biasa, dan membiarkan penyakit kanker hukum yang koruptif, kolutif, dan nepotis, tetap hidup dan tumbuh subur-menjalar, merusak sendi-nadi Pemilihan Presiden 2024.

MKMK memilih menjatuhkan sanksi pemberhentian jabatan sebagai Ketua MK, padahal seharusnya pemecatan sebagai negarawan hakim konstitusi.

Karena alasan menghindari banding, MKMK memilih hanya memberhentikan Anwar Usman dari posisi sebagai Ketua MK.

Padahal aturannya dengan jelas-tegas mengatakan, pelanggaran etika berat sanksinya hanyalah pemberhentian dengan tidak hormat.

Lagipula ada konsep hukum acara, uitvoerbaar bij voorraad, putusan bisa tetap dijalankan lebih dulu meskipun ada upaya hukum banding.

"Putusan MKMK yang demikian adalah setengah jalan, separuhnya lagi tergantung kesadaran Anwar Usman.

Setelah dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat, yaitu melanggar Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, masih adakah sisa harga diri dan rasa malunya untuk bertahan.

Akan lebih pas jika Anwar Usman tahu diri dan mundur sebagai hakim konstitusi. Meskipun, terus terang saya tidak yakin, tindakan yang terhormat demikian akan dilakukan," tuturnya.

Baca juga: Hasil Sidang MKMK: Ketua MK Anwar Usman Dicopot dari posisi, Namun Gibran Tetap Melaju ke Pilpres

Denny juga menyayangkan keputusan MKMK yang tidak tegas mendorong Mahkamah Konstitusi secara sepat memeriksa kembali syarat umur capres-cawapres.

Dengan berlindung pada asas final and binding, MKMK membiarkan Putusan 90 yang dinyatakan lahir dari berbagai pelanggaran etika hakim konstitusi Anwar Usman tetap berlaku dan tidak mempengaruhi proses pendaftaran Pilpres 2024.

Sambil secara tidak tegas, MKMK mengisyaratkan akan ada putusan atas permohonan baru terkait syarat umur capres-cawapres yang akan disidangkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi.

Padahal, lanjut Denny, setiap asas hukum bukan kitab suci yang harus diberhalakan, apalagi dipertuhankan. Hukum selalu membuka ruang pengecualian, "exceptio probat regulam in casibus non exceptis", the exception confirms the rule in cases not excepted. There is an exception to every rule. Selalu ada pengecualian atas setiap prinsip hukum.

Jika tidak bisa menyatakan Putusan 90 tidak sah, paling tidak MKMK menyatakan dengan tegas dalam amarnya, agar Mahkamah Konstitusi memeriksa kembali perkara 90 dengan komposisi hakim yang berbeda, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sebelum berakhir masa penetapan paslon Pilpres 2024 oleh KPU.

Hal itu penting, justru untuk membuat pencawapresan Gibran Rakabuming Raka tidak terus dipersoalkan karena hadir dari hasil putusan MK yang telah dinyatakan melanggar etika.

Baca juga: Denny Indrayana Tegaskan Jika Masih Punya Harga Diri Anwar Usman Mundur dari Mahkamah Konstitusi

Menyatakan pertandingan Pilpres 2024 sudah dimulai dan aturan syarat tidak boleh lagi diubah, adalah tidak fair. Karena Putusan 90 sengaja dilakukan jauh terlambat, menjelang masa pendaftaran paslon.

Maka, hanya menjadi fair, jika politisasi kelambatan waktu putusan 90 itu diseimbangkan dengan percepatan Putusan 90 tanpa hakim Anwar Usman yang melanggar etika.

"Saya dan Zainal Arifin Mochtar sudah memasukkan uji formil atas Putusan 90, jika saja ada niat, maka tidak sulit untuk MK memeriksa cepat formalitas uji syarat umur capres-cawapres, dan memutuskan sebelum batas penetapan paslon capres-cawapres oleh KPU di tanggal 13 November 2023.

Hanya dengan demikian maka legitimasi konstitusional dan soal keabsahan pencawapresan Gibran Rakabuming Raka bisa dituntaskan," jelas Denny.

"Putusan hukum yang hadir dengan pelanggaran etika, seharusnya batal moralitas hukumnya. "Leges sine moribus vanae", laws without morals (are in) vain. Laws without morality are meaningless.

Tegasnya, hukum tanpa moralitas, tidak ada artinya, dan karenanya batal demi hukum.

Jadi, Putusan MKMK belum tuntas menyelesaikan masalah. Masih menimbulkan komplikasi, akibat operasi dan solusi hukum yang setengah hati," imbuhnya.

 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved