Sejarah Jakarta
Sejarah Jakarta: Mampang Prapatan dari Pusat Peternakan Susu Sapi Hingga Kawasan Sibuk
Mampang Prapatan yang kini menjadi salah satu daerah tersibuk di Jakarta ternyata memiliki banyak sejarah Jakarta.
WARTAKOTALIVE.COM - Mampang Prapatan yang kini menjadi salah satu daerah tersibuk di Jakarta ternyata memiliki banyak sejarah Jakarta.
Beragam versi asal usul Mampang Prapatan menurut sejumlah sejarawan.
Saat ini Mampang Prapatan menjadi salah satu kecamatan di Jakarta Selatan. Kecamatan Mampang Prapatan saat ini memiliki lima kelurahan.
Kelima kelurahan itu yakni Kelurahan Kuningan Barat, Kelurahan Pela Mampang, Kelurahan Bangka, Kelurahan Tegal Parang, dan Kelurahan Mampang Prapatan.
Kecamatan Mampang Prapatan pada mulanya meliputi wilayah Pancoran. Hingga pada tanggal 18 Desember 1990, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1990.
Peraturan itu mengatur pembentukan kecamatan baru di wilayah DKI Jakarta.
Bagian timur Kecamatan Mampang Prapatan pada akhirnya dimekarkan dan menjadi kecamatan baru, yaitu Kecamatan Pancoran.
Di Kecamatan Mampang Prapatan terdapat jalan protokol yang dinamakan Jalan Mampang Prapatan.
Jalan sepanjang 2,1 km itu merupakan salah satu jalan tersibuk di Jakarta. Namun ternyata Jalan Mampang Prapatan punya sejarah yang panjang.
Pada sejarah Mampang Prapatan yang ditulis oleh Zaenuddin HM dalam bukunya berjudul 212 Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe (2012) disebutkan asal usul nama Mampang Prapatan diduga berasal dari dua kata yakni Mampang dan Prapatan
Mampang dalam artian terpampang sehingga terlihat jelas, dan prapatan alias perempatan jalan.
Sehingga kemungkinan nama Mampang Prapatan ialah kawasan yang memiliki simpang empat jalan yang sangat mudah terlihat dengan jelas terutama bagi para pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor yang melintas di kawasan itu.
Diketahui hingga saat ini lokasi Mampang Prapatan sangat strategis karena menjadi
perlintasan kendaraan yang hendak menuju ke Pasar Minggu, ke Blok M, dan ke Kuningan.
Karena itu tidaklah heran bila pada siang hari, lalu lintas kendaraannya sangat padat dan sering mengalami kemacetan yang cukup parah.
Bahkan di era Megawati Soekarnoputri jadi presiden, 2001-2004, Presiden Megawati sering melewati Jalan Mampang sepulang dari Istana Kepresidenan menuju rumah pribadinya di Kebagusan, Jakarta Selatan.
Iring-iringan kendaraan Mega terlihat kerap melintasi Jalan Mampang, tembus Kebun Binatang Ragunan, dan keluar di Pintu Timur Kebagusan.
Namun pada sejarah Mampang Prapatan lainnya, menurut Sejarawan Alwi Shihab mempercayai selain diambil dari nama perempatan, nama Mampang diambil dari sebuah kali atau sungai yang melintasi wilayah itu.
Sebabnya, nama Mampang atau Land Mampang sudah dikenal sejak pendudukan Hindia Belanda.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Jatinegara Saksi Bisu Kegigihan Pangeran Jayakarta Melawan Penjajah
Ada juga pendapat lain yang menyebut, Mampang merupakan nama pohon yang dulu banyak tumbuh di kawasan itu. Lebih tepatnya pohon Jalu Mampang yang nama latinnya Monstera Pertusa Auct.
Pada sejarah Mampang Prapatan nama tersebut memang sudah tercatat dalam sejarah Hindia Belanda.
Di Land Mampang sudah sejak lama dikenal Prapatan Mampang, suatu persimpangan jalan dari Tanah Abang ke Duren Tiga/Pejaten dan dari Pancoran ke Slipi.
Pada Peta 1938 jalan dari Mampang Prapatan ke Menteng yang kini menjadi jalan Rasuna Said (Kuningan) yang tegak lurus ke utara belum ada.
Jalan yang sudah ada adalah dari Prapatan Mampang ke arah barat laut menuju Tanahabang melalui Dukuh.
Dalam perkembangannya, jalan dari Mampang Prapatan yang menuju ke arah Duren Tiga disebut Jalan Mampang Prapatan.
Sementara terusan Jalan Mampang Prapatan disebut Jalan Warung Buncit (Jalan Warung Rawa Jati Barat).
Tercatat pada 2 Desember 1695, kawasan dari hulu sampai muara Mampang merupakan milik Hendrik Lucaasz Cardeel alias Pangeran Wiraguna.
Sosok Pangeran Wiraguna pun masih simpang siur.
Dalam buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat, disebutkan Pangeran Wiraguna merupakan nama seorang tuan tanah Belanda kelahiran Steenwij bernama Hendrik Lucaasz Cardeel.
Cardeel mendapat gelar bangsawan tertinggi itu dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar atau biasa disebut Sultan Haji.
Disebutkan, Cardeel mendapat gelar itu karena telah berjasa membantu Sultan Haji renovasi Keraton Surosowan di Banten yang terbakar sebagian.
Keraton itu merupakan tempat bertahtanya Sultan Ageng Tirtayasa, ayah Sultan Haji.
Disebutkan pula, Cardeel berada di Banten setelah melarikan diri dari Batavia karena ingin memeluk agama Islam dan membaktikan diri kepada Sultan Banten.
Namun ada juga yang percaya bahwa sosok Pangeran Wiraguna ialah Mbah Kumpi.
Konon, panggilan ini karena dulu Pangeran Wiraguna punya pasukan satu kompi. Dalam dunia militer, satu kompi kurang lebih seratus orang.
Masyarakat sekitar makam juga meyakini bahwa Pangeran Wiraguna merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit.
Dia disebutkan sebagai anak Brawijaya V, raja terakhir dari Kerajaan Majapahit di abad ke-15. Konon sang pangeran dan pasukannya sebanyak satu kompi membawa misi mengelola kemakmuran di Batavia.
Dari situlah istilah Mbah Kumpi muncul. Wiraguna sendiri bukan nama asli, melainkan nama julukan.
Makam Pangeran Wiraguna masih ada hingga saat ini dan dijaga oleh seorang juru kunci. Lokasinya di Jalan Pejaten Barat, RT 5 RW 3, Pejaten Barat, Jakarta Selatan.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Cilandak Pernah Alami Tragedi Mencekam Hingga Jadi Tempat Nongkrong Anak Gaul
Pada zaman dulu Mampang Prapatan merupakan salah satu tempat penghasil susu terbesar di Jakarta, selain Kemang. Kawasan Mampang dahulu ialah pemukiman orang Betawi yang enggan disebut sebagai warga Batavia.
Para penduduk ketika itu banyak yang memiliki peternakan kecil, sekitar tiga atau empat ekor sapi. Seperti juga minyak, susunya pun mereka jual.
Daerah tersebut, pada masa Betawi tempo dulu merupakan pusat usaha peternakan sapi.
Namun nahas, pada masa kini sudah tidak berbekas sama sekali. Peternakan yang dulu merupakan penghasilan rakyat juga ikut sirna.
Pemprov DKI Jakarta sempat berencana mengganti nama jalan terusan Rasuna Said-Jalan Mampang Prapatan-Jalan Warung Jati Barat (Warung Buncit) menjadi Jalan AH Nasution. Usulan ini muncul dari Ikatan Keluarga Nasution.
Namun usulan ini ditolak sejumlah sejarawan lantaran nama Mampang Prapatan dan Warung Buncit memiliki makna yang bagus.
Ide mengubah nama Mampang Prapatan dan Warung Jati Barat telah ditunda oleh Gubernur DKI Anies Baswedan.
Anies mengatakan ia menghentikan sosialisasi perubahan nama karena ingin mengubah Keputusan Gubernur Nomor 28 tahun 1999 terlebih dahulu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.