Pilpres 2024

Ahli Hukum Laporkan Jokowi dan Dua Putranya ke KPK, Jubir Istana: Hati-hati Jika tak ada Bukti!

Ahli hukum yang tergabung di TPDI dan Perekat usantara berani melawan Jokowi dan keluarga. Mereka lapor ke KPK atas dugaan kolusi dan nepotisme.

Editor: Valentino Verry
Wartakotalive.com/Herudin
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro bereaksi keras atas laporan yang dilakukan TPDI dan Perekat Nusantara ke KPK bahwa Joowi dan keluarga melakukan kolusi dan nepotisme. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Publik mulai melakukan perlawanan terhadap rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dianggap menyimpang dari semangat reformasi.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi diduga melakukan kolusi dan nepotisme menjelang Pilpres 2024.

Karena itu ada sebuah ormas yang berani melaporkan Jokowi dan keluarga ke KPK untuk segera diusut.

Baca juga: Dituding keputusannya Untungkan Keluarga Jokowi, Ketua MK Anwar Usman Ungkap Cerita Nabi Muhammad

Atas pelaporan itu, Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro bereaksi keras.

Juri mengingatkan, pelapor harus membuktikan tuduhannya, jangan asal lapor.

"Menyangkut Pak Presiden dan keluarga, saya ingin menyampaikan bahwa sesuai prinsip hukum: siapa yang menuduh dia yang harus membuktikan," kata Juri di Jakarta, seperti dikutip dari KOMPAS TV, Senin (23/10/2023).

Juri memberikan peringatan kepada pelapor yang juga melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Wali Kota Solo/Surakarta Gibran Rakabuming Raka, serta Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep, agar memberikan bukti, bukan sekadar asumsi.

Baca juga: Tolak Gibran Jadi Cawapres Prabowo, Warga Sunu NTT Gelar Ritual Adat dan Doa di Depan Patung Jokowi

"Jadi hati-hati melaporkan hanya dengan asumsi tanpa bukti. Apalagi yang dituduh adalah presiden dan keluarga," tegasnya.

"Terhadap pihak lain yang dituduh saya tidak berkomentar," sambungnya.

Adapun pelapornya adalah Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Persatuan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara).

Hal ini disampaikan Koordinator TPDI, Erick S Paat ketika berada di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

Baca juga: Batal Cawapres Prabowo Subianto, PAN Yakin Erick Thohir Tetap Jadi Loyalis Jokowi

"Kami dua kelompok, TPDI dan Perekat Nusantara, untuk melaporkan dugaannya kolusi, nepotisme yang diduga dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, Ketua MK Anwar, Gibran, dan Kaesang, dan lain-lain," ujarnya dikutip dari YouTube Kompas.com.

Erick mengatakan, landasan hukum pelaporan terhadap Jokowi hingga Kaesang adalah UUD 1945 ayat 1 dan 3 yang menyebut, negara Indonesia adalah negara hukum.

Selain itu, adapula TAP MPR No 11/MPR/19/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

"(Landasan hukum) TAP Nomor 8 Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme."

Koordinator TPDI, Erick S Paat beserta rombongan saat melaporkan Jokowi, Anwar Usman, Gibran dan Kaesang ke KPK, Senin (23/10/2023). Pelaporan ini atas dugaan adanya KKN terkait putusan MK soal pengabulan batas usia capres-cawapres.
Koordinator TPDI, Erick S Paat beserta rombongan saat melaporkan Jokowi, Anwar Usman, Gibran dan Kaesang ke KPK, Senin (23/10/2023). Pelaporan ini atas dugaan adanya KKN terkait putusan MK soal pengabulan batas usia capres-cawapres. (Kompas.com)

"Kemudian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme," kata Erick.

Setelah itu, Erick juga melandasi laporannya lantaran Jokowi hingga Kaesang diduga melanggar UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Kemudian UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 43 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan Pemberantasan Tipikor dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1959 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Penyelenggara Negara," kata Erick.

Erick menjelaskan, alasan pihaknya melaporkan Jokowi hingga Kaesang terkait putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres yaitu menjadi kepala daerah yang berumur di bawah 40 tahun boleh maju dalam Pilpres 2024.

Dia mengataka,n jabatan Anwar Usman yang merupakan ipar dari Jokowi diduga kuat berinidikasi akan ada konflik kepentingan dalam putusan tersebut.

Erick juga mengatakan, gugatan yang dikabulkan oleh hakim MK ini tertulis adanya nama Gibran.

Ditambah, adanya gugatan lain yang juga dilayangkan oleh PSI yang kini diketuai oleh putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep.

"Kaitannya bahwa Presiden dengan Anwar itu ipar, kita tahu ya karena menikah dengan adiknya presiden. Nah kemudian, Gibran anaknya (Jokowi)."

"Berarti sedangkan Ketua MK hubungannya antara paman dan keponakan (Gibran). Dan PSI yaitu Kaesang keponakan dengan paman," jelas Erick.

Erick menjelaskan, bahwa ketika ada gugatan di mana pemohonnya memiliki hubungan keluarga, maka hakim MK harus mengundurkan diri.

"Tapi kenapa Ketua MK tetap membiarkan dirinya tetap menjadi Ketua Majelis Hakim. Nah ini ada keterkaitannya dengan kedudukan Presiden Jokowi yang menjadi salah satu pihak yang harus hadir dalam persidangan ini," katanya.

Erick pun menduga adanya unsur kesengajaan dan pembiaran dalam penanganan perkara gugatan batas usia capres-cawapres ini.

Sehingga, imbuhnya, pada hal ini lah, diduga kuat adanya unsur kolusi dan nepotisme dari Jokowi, Anwar Usman, Gibran, dan Kaesang.

"Nah ini yang kami lihat kolusi dan nepotismenya antara Ketua MK sebagai Ketua Majelis Hakim, dengan Presiden Jokowi, dengan keponakannya Gibran, dan keponakannya Kaesang," tuturnya.

Keputusan MK tidak sah

Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana kembali memastikan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan yang membuka pintu bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres dan akan berpasangan dengan Prabowo Subianto tidak sah secara hukum.

Dia menyebut, keputusan MK tersebut jauh ari rasa keadilan konstitusional.

Apalagi, dia melihat ada dugaan benturan kepentingan antara Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman dengan Presiden Joko Widodo.

Diketahui, antara Anwar Usman dan Jokowi adalah sauadara ipar.

Dia menyebut bahwa ada indikasi Anwar Usman ingin mendorong terjadinya praktik politik dinasti

"Sebagai pengajar hukum tata negara, saya memandang situasi Negara Hukum Indonesia makin berjarak dengan keadilan konstitusional dan makin menunjukkan etika moral yang terpuruk, utamanya setelah cawe-cawe Presiden Joko Widodo menunjukkan wajah aslinya dengan terjadinya benturan kepentingan Hakim Konstitusi Anwar Usman di Mahkamah Konstitusi, serta menguatnya politik dinasti yang kolutif dengan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai paslon dalam Pilpres 2024," terang Denny Indrayana melalui keterangan tertulisnya, Senin (23/10/2023)

Mencermati hal tersebut, Denny Indrayana kembali berkirim surat ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran etika Anwar Usman.

Surat tersebut melengkapi surat pengaduan Denny sebelumnya pada 27 Agustus 2023.

"Sebagaimana telah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan, akibat tidak mundurnya Anwar Usman dari pemeriksaan dan putusan perkara, khususnya Nomor 90, terkait umur syarat capres-cawapres, maka terjadi benturan kepentingan.

Karena, sangat jelas dan terang benderang—khususnya dengan majunya Gibran sebagai pasangan Prabowo, bahwa putusan 90 berkaitan langsung dengan keluarga Anwar Usman (Baca Jokowi-Gibran). Hal mana dilarang dalam Peraturan MK tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi," terang Denny

Lebih jauh, Denny mengatakan bahwa akibat dari tidak mundurnya Anwar Usman tersebut, maka Putusan 90 menjadi tidak sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

"Karena Putusan 90 MK tersebut tidak sah, maka dengan penalaran hukum yang sehat dan wajar, tidak bisa dijadikan dasar untuk pendaftaran sebagai paslon Capres-Cawapres di KPU," ungkap Denny
.
"Oleh karena itu, jika KPU tetap menerima dan mengesahkan pendaftaran paslon yang berdasarkan Putusan 90 MK yang tidak sah demikian, maka saya mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan sengketa administrasi ke Bawaslu, untuk membatalkan penetapan pasangan calon tidak mempunyai dasar hukum tersebut," tandasnya.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Sumber: KOMPAS
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved