Polusi Udara

Balita Lima Tahun Terserang ISPA Akibat Polusi Jakarta, Orangtua Putuskan Tunda Sekolah Satu Minggu

Polusi udara di Jakarta masih tetap parah, masyarakat yang sakit ISPA seperti batuk pilek disertai demam sangat banyak.

Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Valentino Verry
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Ilustrasi polusi udara yang kini terjadi di Jakarta. Akibatnya masarakat yang sakit ISPA seperti batuk, pilek, disertai demam meningkat tajam. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Polusi udara DKI Jakarta yang kian memburuk membuat banyak anak-anak dan balita terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Bahkan, Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyebut jika kasus ISPA belakangan ini meningkat 24 hingga 31 persen, seiring dengan kondisi polusi udara dan cuaca kemarau.

Selain itu, Direktur Jenderal P2P Kemenkes RI, Maxi Rein Rondonuwu pun menyatakan jika kasus ISPA di wilayah Jabodetabek mengalami peningkatan hingga mencapai 200.000 per-bulan.

Baca juga: Tekan Ancaman Polusi Udara, 18 Water Mist Dipasang di Apartemen Kalibata City

Salah satu yang balita berinisial K (5) sampai harus bolak-balik ke rumah sakit lantaran mengalami gejala ISPA yang bertubi-tubi.

Dari penuturan orangtuanya, Dewi Purnamasari (34) mulanya anak semata wayangnya itu mengalami batuk-batuk.

Rupanya, dokter mengatakan jika putri Dewi terserang gejala amandel dan radangnya sudah membengkak.

"Amandelnya udah membengkak dan itu yang membuat dia itu sering batuk-batuk sama pilek," ujar Dewi saat dihubungi Warta Kota, Sabtu (9/9/2023).

Namun, gejala tersebut rupanya mereda di awal bulan Agustus.

Baca juga: Balita Penderita ISPA di Duren Sawit Meningkat Hingga 10 Persen Akibat Polusi Udara di Jakarta

Meski sudah reda, Dewi memutuskan untuk tetap membawa anaknya ke dokter spesialis untuk menanyakan apakah amandel putrinya bisa dioperasi atau tidak.

Namun, belum sempat pergi ke dokter spesialis, Dewi justru terkena gejala ISPA yakni batuk, demam, pusing, dan tensi darahnya rendah.

"Itu ternyata memang ISPA sih aku karena di tenggorokannya sama ada infeksi makanya sama dikasih antibiotik sama dokternya," kata Dewi.

Kala itu, Dewi memeriksakan dirinya ke RSUD Pasar Minggu. Namun, di tengah perjalanannya itu, Dewi dibuat panik.

Baca juga: Polusi Udara Meningkat, BPJamsostek dan Kelurahan Gandaria Utara Tanam Pohon di Ruang Terbuka Hijau

Pasalnya, sang anak tiba-tiba mengalami muntah-muntah usai terpapar panas dan macet di Ibu Kota.

"Anakku tuh tadinya dari rumah sehat, kan naik motor agak jauh itu rumah sakitnya, terus dia terpapar panas lah dan macet juga," ujar Dewi.

"Tiba-tiba pas pulangnya dia muntah-muntah, terus akhirnya karena dia enggak enak badan dari tadinya naik motor, aku langsung naik taksi online kan pulangnya, dia muntah di mobil," lanjutnya.

Dewi yang bingung pun memutuskan untuk segera membawa anaknya pulang terlebih dahulu agar bisa beristirahat.

Harapannya kala itu, putrinya bisa pulih kembali.

Namun, bak petir di siang bolong, Dewi justru menyaksikan putrinya demam tinggi selama tiga hari.

Di mana suhu badannya kala itu mencapai 39 derajat celcius.

"Itu penyebabnya karena panas-panasan terus macet-macetan ke rumah sakit terus baru hari ketiganya kami bawa ke dokter lagi," ujar Dewi.

Setelah dibawa ke rumah sakit, Dewi pun mengetahui jika anaknya terkena ISPA.

"Yang memicu itu karena dia ada amandel itu, itu yang memicu jadi kayak gitu," ungkap dia.

"Agak panik karena panasnya itu kalau cuma batuk atau pilek biasa sih enggak apa-apa, tapi kalau udah panas tinggi, itu yang suka membuat orang tua jadi panik," lanjutnya.

Terlebih, putri kecilnya itu kini sudah mulai bersekolah di playgroup. Sehingga, ia perlu lebih kuat memproteksi putrinya itu.

Bahkan, dirinya memutuskan untuk tidak membiarkan putrinya masuk playgroup selama satu minggu.

"Dia udah mulai sekolah playgroup itu dari bulan Juli kemarin, jadi memang setiap harinya kalau berangkat sekolah karena kurang lebih dua kilometer, dia naik motor," kata Dewi.

"Sekolahnya seminggu tiga kali, selalu pakai masker, tapi kan emang kenyataannya macet, pasti terpapar udara yang kurang bersih," imbuh dia.

Dewi berujar, setiap hari anaknya terpaksa melewati kemacetan parah dari Tanjung Barat, Jakarta Selatan, ke Kebagusan.

Apalagi, jadwal masuk sekolah putrinya adalah jam-jam terik, mulai pukul 10.30 WIB sampai 12.30 WIB.

Sehingga kerap kali, ia dan sang putri menghirup asap kendaraan yang kotor dan tak terkendali itu.

"Itu jam terik, terus kan di situ ada perbaikan jalan untuk masang drainase gitu jadi udah hampir sebulanan macet di situ, terutama kalau jalan pulang," jelas dia.

"Terus sekolahnya udah mulai masuk minggu ini, kalau minggu kemarin dia itu bolos sih karena sakit, berobat juga bolak-balik ke klinik sama ke RS, jadi seminggu itu dia bolos," lanjutnya.

Kendati begitu, Dewi menyebut jika dalam beberapa hari ke depan, dirinya masih akan terus memeriksa kondisi putrinya ke dokter.

Dewi berujar, segala upaya sudah dilakukan untuk mencegah penyakit ISPA.

Mulai dari makan makanan bergizi, memakai masker, dan minum air putih yang cukup.

Hanya saja, pekatnya polusi udara di Ibu Kota nampaknya membuat upaya itu sulit efektif.

"Kalau misalnya orang dewasa udah pasti dia lebih tahu cara menjaga itu gimana dan itupun kani udah pakai masker kalau pergi-pergi ke mana, tapi tetap aja berasa kualitas udara yang sekarang emang menyengat banget di hidung," kata Dewi.

"Berasa lah mana jarak pandang juga kalau lihat gedung-gedung juga udah enggak kelihatan udah mutih, bedalah sama satu tahun dua tahun yang lalu. Kadang-kadang ada langut biru, jarak pandangnya enggak jauh, ini memang khawatir banget apalagi buat anak-anak," lanjutnya.

Pengennya sih anak anak di rumah aja tapi dia kalau di rumah aja bosen , apalagi juga dia udah swkolah, jadi satu minggu tiga kali harus keluar rumah.

Dewi sendiri sebenarnya ingin anaknya di rumah saja. Namun jika hal itu dilakukannya, kemungkinan anaknya akan merasa bosan.

Di samping itu, dia pun sebenarnya ingin mengajak keluarganya pergi ke luar kota yang udaranya lebih bersih, sesuai arahan pemerintah.

Hanya saja, kata Dewi, tak semua orang memiliki materi dan waktu yang sama untuk mewujudkan hal tersebut.

"Pemerintah kan ada menyarankan unruk healing paru-paru, cuti dulu pergi ke mana yang udaranya bagus untuk refresh, tapi kan enggak semua orang punya spend uang untuk liburan atau jalan-jalan, nah itu sedihnya di situ," kata Dewi.

"Jadi pengen refresh ke puncak atau ke mana yang udaranya bagus, tapi ya selain ngambil cuti agak susah, biayanya juga yang enggak ada," pungkasnya.

Selain dewi, Oci (45) juga merasakan hal yang sama. Putrinya yang kini berusia 14 tahun mengalami gejala ISPA.

Seperti serak, batuk berdahak, panas, dan sesak napas.

"Dia serak, batuk, agak panas (badannya), memang ada asma sedikit," ujar Oci saat ditemui di Puskesmas Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu.

Menurutnya, gejala itu terjadi pada putrinya lantaran polusi udara yang tinggi.

"Tetap masuk sekolahnya. Cuma kan sekolahnya masuk ke wilayah polusi tinggi," ungkap dia.

Oci sendiri berupaya mencegah gejala tersebut dengan menenangkan kondisi di dalam rumah.

Yakni, dengan memasang pengharum ruangan dan difuser aromaterapi.

"Aku pasang pengharum ruangan aroma terapi itu yang difuser itu paling itu krena masih punya, sama menekankan kalau pergi kemana-mana walau cuma ke warung pakai masker," kata Oci.

"Juga menjaga makanan, sayur, buah, hindari es krim," pungkasnya.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved