Kisah Inspiratif

Kisah Deni Lulusan UIN Jakarta, Lolos dari DO-Dapat Beasiswa ke Vatikan Usai Terbitkan Buku Katolik

Kisah Deni Iskandar, Lolos Di-DO UIN Jakarta dan Dapat Bea Siswa ke Vatikan karena Terbitkan Buku 'Katolik di Tanah Santri'.

Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Dwi Rizki
Istimewa
Deni Iskandar, anak pedagang kopi Tanah Abang ketika berada di Vatikan 

WARTAKOTALIVE.COM, PALMERAH - Ada banyak cerita di balik kesuksesan Deni Iskandar (30), anak pedagang kopi di Tanah Abang yang mendapatkan beasiswa Nostra Aetate Vatikan beberapa bulan lalu.

Di antaranya, cerita tentang dirinya yang hampir Drop Out (DO) oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lantaran tak kunjung menyelesaikan skripsinya.

Yang mana kala itu, Deni sudah masuk semester 14 atau tahun ke tujuh dirinya berkuliah.

Tak heran jika banyak orang, mulai dari rekanan ibundanya di pasar hingga seniornya yang meremehkan dirinya bisa lulus dari UIN Jakarta.

Deni sendiri masuk ke UIN Jakarta pada tahun 2012 dan mengambil jurusan Studi Agama-Agama.

"Saya mah udah kebal, kalaupun dicengin (ejek) ya wajar kan saya mah bukan siapa-siapa, pejabat bukan, anak kiai bukan, wajar enggak apa," ujar Deni saat ditemui usai wawancara ekslusif bersama Warta Kota, di Studio Tribun Network, Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (7/9/2023).

"Cuma kan kepikiran saya udah lulus kuliah itu, orang kan berbalik persepsinya itu. Saya itu termasuk orang yang diprediksi enggak lulus kuliah itu, termasuk oleh senior-senior saya," lanjut dia.

Baca juga: Viral Prewed Berujung Bencana, Ini Identitas Fotografer dan Pasangan yang Picu Kebakaran di Bromo

Baca juga: Identitas Wanita yang Labrak Rocky Gerung di Mabes Polri Terungkap, Caleg PDIP-Fans Ganjar dan Ahok

Deni Iskandar anak pedagang kopi di Tanah Abang dapat beasiswa sekolah di Vatikan
Deni Iskandar anak pedagang kopi di Tanah Abang dapat beasiswa sekolah di Vatikan (Istimewa)

Jangankan senior, Deni pun sebenarnya ragu dengan dirinya sendiri.

"Gimana coba rumusnya, 28 mata kuliah di posisi semester 14, posisi skripsi belum jadi. 28 matkul itu 98 SKS, kalau ukuran normal itu, dua semester," kata Deni.

Hanya saja, pandangan itu berhasil ditepis oleh Deni setelah dia unjuk gigi menampilkan skripsinya yang mengangkat tema tentang agama Katolik.

"Jadi saya kuliah serius itu semester 14, itu bisa selesai dengan silaturahmi, dialog, komunikasi yang baik, selesai Alhamdulillah," jelas Deni.

Deni berujar, skripsi itu berhasil diselesaikannya pada 2019.

Di tahun yang sama itu pula, dirinya resmi menyandang gelar sarjana.

Uniknya, meski sempat dipandang sebelah mata, Deni rupanya memiliki tekad yang kuat nan sungguh-sungguh.

Skripsi yang sudah disusunnya itu, ia lengkapi dengan sejumlah data-data, hingga melahirkan sebuah buku yang berjudul 'Katolik di Tanah Santri'.

"Itu disambut baik oleh bapak Kardinal (Uskup Jakarta), oleh Keuskupan Bogor, disambut baik oleh para pastor, termasuk oleh senior-senior PMKRI," kata Deni.

Walhasil, dia ditawari belajar ilmu agama langsung oleh Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo untuk berangkat ke Vatikan, Roma, Italia.

"Hingga pada akhirnya ada satu Romo, Romo Mikael Endro Susanto bicara ke saya, nawarin mau enggak sekolah tentang perdamaian di Vatikan katanya," ungkap Deni.

"Saya awalnya enggak percaya itu, karena di luar jangkauan saya. Saya kan bukan Katolik, saya bukan pastor, saya juga alumni sekolah Islam. Ini gimana rumusnya? Pokoknya kamu berdoa aja, begitu bahasa Romo Endro," lanjutnya.

Rupanya, setelah buku Katolik di Tanah Santri karya Deni terbit, tawaran itu semakin kuat menghampirnya.

Hal itu lantaran dirinya membuat gerakan bersama pemuda Katolik di Banten tentang perjumpaan tokoh agama, di samping mengkaji soal buku yang tengah ditulisnya itu.

"Karena tema kami itu ingin membuktikan isi buku ini (Katolik di Tanah Santri), kami buktikan dalam gerakan itu, terjadilah itu (berangkat ke Vatikan)," ujarnya. 

Deni Anak Pedagang Kopi di Pasar Tanah Abang Belajar Agama di Vatikan, Iyot: Ingat Kita ini Islam

Kisah inspiratif datang dari Deni Iskandar, seorang pemuda muslim yang belajar agama di Vatikan.

Keteguhannya pada ajaran Islam, tak menggoyahkan imannya meski membaur dengan umat Katolik.

Kepada Tribunnews.com, Deni Iskandar mengungkapkan hal itu karena pesan sang bunda, Iyot (62).

"Den, tidak apa-apa belajar di Roma, tapi ingat ya, kita ini Islam. Kata orang-orang yang ngomong ke Emak, di Vatikan itu Katolik semua, jadi awas jangan tertarik oleh materi, kita ini Islam," ucap Deni menirukan pesan Iyot.

Baca juga: Mantan Pengikut Panji Gumilang Ungkap Ponpes Al Zaytun Dirancang Mirip Vatikan: Negara Dalam Negara

Menurut Deni, pesan itu keluar ketika mengantarnya ke Bandara Soekarno Hatta (Soetta) untuk belajar di Roma, Italia, karena mendapat beasiswa dari Yayasan Nostra Aetate, Vatikan, beberapa waktu lalu.

Kepasrahan seorang ibu inilah yang merupakan bekal bagi Deni Iskandar pada akhir Januari 2023, menapaki sejarah hidupnya sendiri.

"Sepanjang hidup, sesekalinya emak melihat bandara ketika mengantarkan saya ke Bandara Soetta menuju ke Roma, Italia. Proses menuju Roma sangat lancar, dan saya yakin bahwa hal itu terjadi karena emak merestui niatan kepergian saya ke Roma,“ kisah Deni Iskandar, Jumat (25/8/2023).

Deni Iskandar selama enam bulan bersekolah di Roma studi tentang hubungan antar agama.

Tidak banyak dan tidak mudah mendapatkan beasiswa dari Yayasan Nostra Aetate, Vatikan, untuk bersekolah di Roma.

Baca juga: Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia Beri Hadiah Paus Fransiskus Gunungan Wayang Kulit

Di akhir studinya itu, ia mendapat kesempatan bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan, Rabu (28/06/2023).

Kesempatan yang tiada duanya dan mungkin tidak pernah akan terulang lagi.

Iyot, seorang single parent yang hanya lulusan Madrasah Tsanawiyah.

Ia adalah ibu dari Deni Iskandar. Karena nasib, Iyot menjadi penjual kopi di pasar kambing Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Dia memiliki tiga anak yakni satu perempuan telah meninggal dan dua anak laki-laki dan Deni anak kedua.

Deni Iskandar bersama sang bunda, Iyot, seorang pedagang kopi di Pasar Tanah Abang.
Deni Iskandar bersama sang bunda, Iyot, seorang pedagang kopi di Pasar Tanah Abang. (tribunnews.com)

Mereka tinggal di Desa Montor, Kecamatan Pagelarang, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Setelah diceraikan suaminya, ia memutuskan mandiri dan menantang hidup.

Keputusan itu tidak mudah, diawali dengan membantu penjual nasi di Tanah Abang, Jakarta.

Untuk itu, ia harus merelakan Deni Iskandar di kampung dan si bungsu yang masih kecil yang dibawa serta bertarung nasib di Tanah Abang, Jakarta.

Deni Iskandar ditinggal di desa Pandeglang bersama kakak perempuan Iyot.

Mengingat masa depan kedua anaknya masih panjang, Iyot yang aslinya dari Pandeglang, Banten, ingin bertaruh untuk memperbaiki nasib.

Ketika ada kesempatan untuk mandiri, pada tahun 2001, Iyot menggadaikan tanah keluarganya untuk dapat membeli kios kecil sederahana di Tanah Abang.

Keputusan ini sangat mengkhawatirkan keluarga kandungnya, khawatir jika tanah itu akan terbang selamanya.

Namun, single parent ini tidak mau menyerah dengan nasib.

Kios kecil dan sederhana itu digunakan untuk jualan kopi serta nasi.

Ia berjualan kopi 24 jam full. Ia dibantu saudaranya.

Selama 21 tahun, ia menjual kopi dari harga mulai Rp 2.000 per gelas hingga Rp Rp 3.000. Harga yang normal untuk di pasar Tanah Abang.

Hebatnya, meski kerja 24 jam, ia tidak lupa menenuaikan kewajiban agamanya.

Alhasil, hasil kerja kerasnya selama tiga tahun mampu menebus tanah keluarga yang digadaikan seharga 15 gram emas pada waktu itu.

Iyot tidak mau bermain-main dengan hidupnya. Dirinya hanya ingin anaknya berpendidikan dan menjadi pegawai negeri.

Meski berkekurangan secara materi, Iyot menolak uang sebesar Rp 350.000 pemberian anaknya, Deni Iskandar yang nekat putus sekolah dan memilih jadi kernet truk.

“Uang itu dilempar oleh emak di depan saya. Emak tidak mau terima uang hasil jerih payah saya. Beliau menghendaki saya bisa meraih Pendidikan tinggi. Itu terjadi tahun 2011,” ujar Deni Iskandar.

Selama berjualan di Tanah Abang, Iyot telah menyaksikan pasar terbesar di Jakarta itu dilalap si jago merah sebanyak tiga kali.

Kerasnya kehidupan dan kemiskinan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi keluarga Iyot.

Ia dan anak-anaknya dapat hidup karena tekad bajanya.

Ia menyadari arti kemiskinan dan anak-anaknya dididik untuk tidak malu dengan kemiskinan.

Baju baru bagi keluarga hanya ada pada waktu datangnya Hari Raya Idul Fitri.

Mimpi Iyot adala, dirinya ingin buah hatinya bisa belajar setinggi mungkin dan menjadi pegawai negeri. Itu saja dan sangat sederhana !

"Saya sangat tahu bagaimana perjuangan emak saya sebagai tulang punggung keluarga. Beliau tidak mau anak-anaknya mengalami kepahitan hidup seperti dirinya," ucapnya.

"Emak sudah mengalami naik turunnya gelas di dapur kopinya dari yang hanya dua gelas per hari hingga 200 gelas satu hari satu malam. Sangat mudah dihitung berapa perolehan seharinya," imbuhnya.

"Tetapi hari tidaklah selalu bersahabat dengan emak dan rejeki selalu ada takarannya. Namun, banting tulang emak menjadi daya dorong yang tiada hentinya bagi saya,” lanjut Deni Iskandar, yang selama satu tahun yakni 2015-2016, membantu ibunya untuk jualan kopi dari pukul 21.00 – 04.00.

Deni tahu betapa perjuangan ibunya merupakan cinta tak berujung sepanjang masa.

Deni juga menyadari bahwa cinta luar biasa emaknya tidak mungkin terbalaskan.

Namun anak tetaplah anak. Deni ingin juga menunjukkan cintanya kepada sang emak.

Ketika mendapatkan uang saku saat di Roma, sebagian uang sakunya disisihkan dan dikirimkan ke emaknya di Indonesia. Dan, alhamdulilah… uang itu tidak dilemparkan lagi oleh emaknya seperti dulu kala. Hidup adalah anugerah….

Menangis

Ibu Iyot menangis ketika Deni Iskandar menyelesaikan S1 dari UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Ushuluddin, Jurusan Studi Agama-Agama bulan Juli 2019.

"Emak nungguin saya ujian skripsi meski tidak tahu apa itu. Tetapi kehadiran emak itulah yang memberi kemantapan dan kekuatan kepada saya yang sangat luar biasa. Emak juga menangis ketika saya diwisuda pada Agustus 2019. Emak bukan orang berpendidikan tetapi emak tahu anaknya sudah selesai sekolah,“ ucapnya yang akrab disapa Bung Goler.

Sebenarnya UIN Syarif Hidayatullah bukanlah perguruan tinggi satu-satunya yang dimasuki.

Sebelum ke UIN, Deni Iskandar sempat kuliah di Universitas Az-Zahra, Jatinegara, Jakarta Timur.

Ketika menginjak semester dua, Deni meninggalkan kampus Az-Zahra, Jatinegera karena di jurusannya yakni Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Agama, mahasiswanya hanya 3 (tiga) orang.

Akhirnya ia harus menyebrang ke UIN. Ternyata, di UIN Deni banyak bertemu dengan rekan-rekannya yang dulu pernah mondok bersama semasa di madrasah Aliyah.

Deni Iskandar adalah salah satu murid dari Abuya KH Ahmad Muhtadi bin Dimyathi al-Bantani, ulama terkenal di Provinsi Banten.

Anak kedua dari Ibu Iyot ini memang unik dalam pendidikannya.

Ketika ibunya berjualan kopi di Tanah Abang, Jakarta, ia dititipkan kepada kakak perempuan emaknya.

Hanya si bungsu yang dibawa oleh ibunya ke Jakarta. Ia lulusan SMP di Babakan Lor, Cikedal, Pandeglang.

Ketika lulus SMP, ia ingin melanjutkan ke STM supaya bisa segera bekerja.

Kalau lulus, keinginannya agar bisa meringankan beban emaknya. Namun, keinginan itu tidak tersampaikan.

Ia disekolahkan di Madrasah Aliyah, harus mondok. Ia tidak suka.

Berulangkali ia meninggalkan pesantren karena tidak betah dan selalu teringat beban emaknya.

Meski berulangkali kabur, berulangkali pula, dia dikirim pulang ke pesantren.

Sang emak hanya yakin dengan belajar agama, anak laki-lakinya akan menjadi orang yang berguna.

Namun apa daya, pada kelas tiga, Deni melarikan diri dan akhirnya memilih menjadi kernet truk yang disopiri saudaranya – truk ekspedisi di Cikarang, Jabar. Anak kedua ini hanya mempunyai cita-cita jadi sopir bis, dan tidak mau bersekolah.

Mengalami 'shock therapy' karena uang hasil jerih payahnya ditolak dan dibuang oleh sang emak, ia sadar harus menyelesaikan SMAnya.

Ia ingin memenuhi harapan ibunya. Deni akhirnya menempuh ujian persamaan (Paket C) lulus dari PKBMN 21 di yang berlokasi di Karet Tengsin, Jakarta.

"Mental saya sudah tertempa sejak kecil. Saya tidak malu mengakui siapa keluarga dan latar belakang saya. Dan, ketika saya kembali dari Vatikan, saya menghadapi kenyataan baru yakni, emak tidak berjualan kopi di Tanah Abang lagi. Lutut emak sakit harus banyak istirahat. Emak pulang ke kampung di Pandeglang," ucapnya.

"Tetapi, emak tetap berjualan kopi di rumah. Kiosnya di Tanah Abang dikontrakin. Emak sudah tua. Beliau tidak hanya menjadi tumpuan bagi dua anaknya, tetapi emak juga menjadi tumpuan bagi keluarga kandungnya,” imbuh Deni Iskandar.

"Saya ingin mempunyai mental seperti emak. Saya menyerahkan hidup kepada Allah. Dia yang telah memberi saya pengalaman iman yang luar biasa dengan dimampukan bersekolah di Roma dengan beasiswa lagi. Apakah saya akan Kembali ke Roma lagi, hanya Allah yang tahu,” ujar Deni. Setelah menyelesaikan beasiswanya dari Yayasan Nostra Aetate, Deni Iskandar mendapat tawaran beasiswa untuk bersekolah di Universitas Kepausan, St Thomas Aquinas, Angelicum di Roma.

Namun, kendala tetap ada. Meski sekolah sudah didapat tetapi belum tentu bisa kembali ke Roma. Deni harus mencari dukungan finansial untuk penginapan dan kebutuhan hidup selama di Roma.

Deni meyakini semua sudah ada jalannya termasuk pertemuannya dengan Rm Markus Solo Kewuta SVD dari Yayasan Nostra Aetate.

Ia mengaku bahwa Rm. Markus Solo, satu-satunya pejabat Vatikan yang berasal dari Indonesia, adalah orang tua 'rohaninya'.

Dirinya belajar banyak tentang hidup dari Rm Markus Solo.

“Saya ini orang kampung, ndeso.. tetapi beliau mengajari saya tentang hidup.. hidup dalam arti sesungguhnya. Beliau menasehati saya, untuk tetap menjadi Islam sebagaimana emak menghendaki. Ketika saya meninggalkan Islam, menurut Padre Marco, program pendidikan saya di Roma telah gagal,” pungkas Deni.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved