Berita Bekasi
Sosok Tri Adhianto Plt Wali Kota Bekasi dan Kader PDIP, Cabut Izin Stadion untuk Anies Baswedan
Sosok Tri Adhianto Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi dan Plt Wali Kota Bekasi, batalkan izin penggunaan stadion untuk kegiatan Anies Baswedan
Penulis: Rangga Baskoro | Editor: Suprapto
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-- Sosok Tri Adhianto, Plt Wali Kota Bekasi, ramai menjadi pembicaraan publik setelah membatalkan izin Stadion Patriot Candrabhaga yang akan digunakan oleh pendukung Anies Baswedan.
Tri Adhianto membatalkan izin penggunaan stadion sehari sebelum acara PKS bertajuk 'Senam Bareng Rakyat' yang akan digelar pada Sabtu (29/7/2023) dimulai.
Pemilik nama lengkap Tri Adhianto Tjahyono adalah kader PDI Perjuangan yang terpilih menjadi Wakil Wali Kota Bekasi periode 2018-2023.
Pada Pilkada 2018, mantan Kepala Dishub Kota Bekasi ini berpasangan dengan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi Rahmat Effendi.
Dalam perjalanan waktu, Rahmat Effendi alias Pepen terjerat kasus korupsi dan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tri Adhianto kemudian diangkat menjadi Plt Wali Kota Bekasi sampai putusan atas kasus Rahmat Effendi memiliki kekuatan hukum tetap.
Baca juga: Tri Adhianto Akui Cabut Izin Stadion untuk Acara Anies Baswedan usai Pihaknya Dipanggil ke Polres
Tri Adhianto Kalahkan Jago PKS-Gerindra
Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 Kota Bekasi, Tri Adhianto yang berpasangan dengan Rahmat Effendi, didukung 7 partai politik, yaitu Partai Golkar, PAN, Partai Demokrat, PPP, Partai Hanura, PKB, dan PDIP.
Mereka bersaing dengan pasangan Nur Suprianto dan Adhy Firdaus yang didukung PKS dan Partai Gerindra.
Pasangan pasangan Rahmat Effendi-Tri Adhianto meraih 697.634 suara, sementara Nur-Adhy memperoleh 335.900 suara.
Pada 20 September 2018, Rahmat-Tri dilantik menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bekasi periode 2018-2023.
Tri saat ini adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi.
Masa Kecil Tri Adhianto
Tri Adhianto lahir di Jakarta pada 3 Januari 1970, sebagai anak ketiga dari 6 anak pasangan G Soeprapto dan Endang Sri Guntur Hudiani.
Tri memiliki 2 kakak perempuan dan tiga adik perempuan, dan merupakan satu-satunya anak lelaki di keluarga tersebut.
Masa kecil dilaluinya di kawasan Karet, Tanahabang, Jakarta Pusat, Mentengatas, Tebet, Jakarta Selatan, dan Bekasi, Jawa Barat.
"Saya tinggal di lingkungan perumahan kampung di Jakarta, rumahnya petak," ujar Tri.
Tri waktu kecil ikut bersama budenya sebelum bisa mebeli rumah sendiri.
"Rumah itu kayak kontrakan gitu, ada tiga kamar dijadiin satu. Karena kita tuh enam bersaudara, saya sendirian laki-laki anak ketiga. Orang tua saya bilang 'kamu punya tanggung jawab lebih, karena kamu laki-laki, jadi kamu harus jadi orang yang berhasil' itu yang selalu terngiang dalam benak saya," katanya kepada Warta Kota.
Ayah Tri berprofesi sebagai guru pelajaran Biologi. Meski berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), gajinya tergolong pas-pasan untuk menghidupi keluarga dengan 6 orang anak.
Baca juga: Anies Baswedan Unggah Foto Bareng Ganjar Pranowo di Silde Terakhir Akun Instagramnya: Sobat Lama
Karena itu sang ayah selalu berpesan kepada anak-anaknya agar bersekolah di sekolah negeri yang uang sekolahnya murah.
Pesan ini diingat terus oleh Tri, sehingga dia selalu berusaha agar bisa diterima di sekolah negeri.
"Perjalanan sejak, SD saya dimotivasi untuk selalu masuk ke sekolah negeri, karena kan biayanya murah," tutur Tri.
Tri lulus dari SMAN 3 Jakarta tahun 1989, namun dia tak langsung kuliah karena ingin meringankan beban ekonomi keluarga dulu.
Ketika itu dua kakaknya telah kuliah di universitas swasta, sehingga agak berat bagi keluarganya bila Tri juga kuliah di universitas swasta pada tahun itu.
Apalagi orangtuanya juga harus membiayai sekolah ketiga adiknya.
"Dua orang kakak saya sudah kuliah di swasta, tentunya enggak mungkin saya swasta lagi. Kakak pertama di Universitas Atmajaya (jurusan) Psikologi, kakak kedua di UNAS ngambil (jurusan) Biologi. Akhirnya saya menganggur setahun karena masalah keuangan karena Bapak belum bisa membiayai saya kuliah," ujar Tri.
Di tahun 1990, Tri kembali mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan berhasil diterima di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
"Tahun berikutnya saya sama adik kan mau masuk kuliah tuh. Nah gimana nih? Akhirnya adik saya dorong masuk ke kedokteran hewan di UGM supaya dia bisa masuk ke negeri. Saya juga yang tadinya obsesi ke ITB, saya turunkan obsesinya untuk masuk ke Universitas Soedirman. Biar murah maksudnya, Alhamdulillah masuk," katanya.
Selain mengikuti UMPTN, Tri juga mendaftar ke Sekolah Tinggi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yang kini bernama Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD).
Dia berhasil diterima di sekolah kedinasan milik Departemen Perhubungan tersebut.
Tri memahami bahwa ayahnya harus membiaya pendidikan kakak dan adiknya, sehingga dia memilih STTD guna meringankan beban orangtua.
"Saya pikir, kan ini sekolah enggak bayar, sudah gitu digaji, habis lulus langsung jadi PNS. Walaupun saat itu gajinya kecil, tapi minimal kan dengan punya penghasilan tenang lah," katanya.
Pendidikan kedinasan Diploma 3 (D3) berlangsung selama tiga tahun.
Sesuai harapannya, Tri langsung mendapat mendapat pekerjaan dan diangkat menjadi PNS.
Penempatan pertamanya di Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), yang dijalaninya selama setahun, lalu dipindah ke Provinsi Lampung.
Di sana, sambil bekerja Tri melanjutkan sekolah ke jenjang Strata 1 (S1) dan Strata 2 (S2).
Pindah dari Lampung ke Bakasi
Karier Tri Adhianto di Kota Bekasi baru dimulai pada tahun 2000, setelah pindah dari Lampung.
Jabatannya ketika itu sebagai Kepala Seksi Pengendalian Operasional di Dinas Perhubungan Kota Bekasi.
Menariknya, kepindahan Tri ke Bekasi karena dia ingin bersatu dengan keluarganya yang tinggal di Bekasi.
Dia menikah tahun 1997 saat masih berdinas di Lampung.
Selama tiga tahun dia harus tinggal terpisah dari sang istri, karena statusnya sebagai pegawai Departemen Perhubungan yang ditempatkan di Provinsi Lampung.
Kemudian di tahun 1998 muncul lah kebijakan otonomi daerah, yang dimanfaatkan Tri untuk bisa bersatu dengan keluarganya.
"Saya harus membuat pilihan karena enggak mungkin jauh-jauhan terus sama istri di Bekasi. Tanggal 3 oktober 2000 saya pindah, pas kelahiran anak saya yang kedua. Jadi mulai karier di Bekasi tahun 2000," katanya.
Kemudian dia diangkat menjadi Kepala Bidang (Kabid) Lalu Lintas, yang ternyata menjadi jalan untuk ditempatkan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
Kariernya di sana diawali sebagai Sekretaris PUPR, sampai menjadi Kepala Dinas PUPR, atau sekarang namanya Bina Marga dan Sumber Daya Air (BMSDA) Kota Bekasi.
Karier Politik
Kemudian datang pinangan dari Rahmat Effendi untuk menjadi wakilnya di Pilkada 2018: Kota Bekasi, dan Tri menerimanya.
Maka, sebelum semua proses Pilkada 2018 dimulai, Tri memutuskan melepas status PNS-nya dan terjun di dunia politik, bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN).
Ternyata jalannya memang di situ, sebab pasangan Rahmat Effendi - Tri Adhianto memenangi Pilkada 2018 tersebut, sehingga saat ini sampai 2023 nanti Tri menjabat sebagai Wakil Wali Kota Bekasi.
"Ya karier saya mengalir saja, awalnya jadi kasie, kabid, lalu jadi sekreraris PU, Kadis PU, dan sekaranga Wakil Wali Kota. Jadi CV saya enggak banyak gitu lho. Orang kan mental sana, mental sini, saya enggak. Jadi begitulah karier saya," ujar Tri.
Pada tahun 2019 Tri meninggalkan PAN dan bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Saat ini dia menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Kota Bekasi.
Kehidupan Pribadi
Berasal dari keluarga sederhana, sejak kecil Tri Adhianto harus bekerja keras dulu untuk memperoleh apa yang diinginkannya.
Bahkan untuk sekadar bisa jajan dia harus bekerja dulu, dan upahnya untuk jajan.
Terkadang upah yang diperolehnya ditabung untuk membeli perlengkapan sepak bola, yang menjadi hobinya saat masih anak-anak.
"Dulu pas kecil kerja apa saja. Pernah waktu itu saya jadi tukang air tuh di rumah. Tugasnya cuma jagain selang sama mindahin ke ember-ember. Dari situ upahnya ditabung buat beli sepatu bola. Karena kalau mau jajan kita nyari uang dulu," katanya.
Kemudian dia membantu ibunya yang membuat kue untuk dijual, sehingga bisa menambah keuangan keluarga.
"Ibu jual kue nitip ke warung. Ya begitu lah kehidupan saya masa kecil. Tapi alhamdulillah anak-anaknya berprestasi. Jadi bagi saya menyenangkan dan tidak terlupakan," tambah Tri.
Kemudian semasa remaja, pria yang akrab disapa Mas Tri ini pernah bekerja menjadi kenek angkutan umum K-12 di Kota Bekasi.
"Saat pindah tahun 1986 ke Bekasi, jadi kenek di K-12. Teman-teman saya juga masih ada tuh. Setahun itu jadi kenek," ujar Tri.
Tokoh Panutan
Tri juga mengungkapkan sangat mengagumi sosok Ayahnya, G Soeprapto.
Apalahi sang ayah menyelipkan harapan besar dalam nama anak laki-laki satu-satunya itu.
"Makanya, dimulai dari istilah what is name? Apakah arti sebuah nama? Bapak saya bilang arti nama saya, Tri Adhianto Tjahjono. Tri artinya anak ketiga, Adhi itu baik, Anto itu laki-laki, Tjahyono itu memberikan cahaya. Jadi ada harapan besar dari orangtua saya bahwa saya kelak bisa menerangi tidak hanya keluarga, tapi juga Indonesia dan dunia. Harapannya seperti itu," ujar Tri.
Oleh sebab itu Ayahnya terus memberikan motivasi kepada Tri, dan juga anak-anaknya yang lain agar mereka bisa menjadi "orang besar".
"Saya berasal dari keluarga seorang guru yang penuh disiplin. Kemudian diajarkan tentang kebaikan dan kehidupan. Jadi Bapak saya selalu memberikan contoh yang baik yang ditiru oleh anak-anaknya. Beliau selalu memberikan motivasi agar nantinya jadi 'orang yang besar'," katanya.
Tri menceritakan, sebelum menjadi seorang guru, ayahnya sempat terjun ke dunia politik kala tercatat menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM).
Namun kesibukan di dunia politik menyebabkan kuliahannya terbengkalai sehingga ayahnya memutuskan untuk mendaftar menjadi seorang guru.
Meski masa kecilnya serba sederhana, Tri sangat bangga saat ayahnya berhasil menyandang predikat guru teladan tingkat Nasional.
"Itu hebatnya beliau, tahun 1977 jadi guru teladan mewakili Jakarta di tingkat nasional. Saya masih ingat, dulu kalau bapak saya gajian, PNS kan dapat beras tuh dulu, setengahnya dijual untuk beli yang bagus karena beras PNS kan 'pera' tuh. Jadi ngalamin lah saya," katanya.
Setelah memiliki keluarga sendiri, Tri melanjutkan tradisi keluarga yang dicontohkan ayahnya, yakni selalu meluangkan waktu untuk menjaga kebersamaan keluarga, sehingga terjalin komunikasi yang baik bersama anak-anaknya.
"Yang tidak pernah saya tinggalkan, ajaran orangtua saya setiap pagi sempatkan diri antar anak-anak sekolah. Kemudian makan malam bersama, kalau libur sarapan bersama. Ini keteladanan yang diajarkan orangtua, dan saya wariskan ke anak-anak saya," kata Tri.
Artikel ini telah tayang di Tribunwartakotawiki.com dengan judul Tri Adhianto: Wakil Wali Kota Bekasi yang Menunda Kuliah untuk Meringankan Beban OrangtuaPenulis: Rangga Baskoro | Editor: AC Pinkan Ulaan
Pemkab Bekasi Bikin Terobosan, Pelebaran Jalan Exit Tol Gabus Tambun Diaspal Pakai Limbah Plastik |
![]() |
---|
Tren Viral Klinik Kecantikan, Pasien Kerap Minta Dokter Ubah Wajah Seperti Filter di Media Sosial |
![]() |
---|
Salah Gunakan Izin Tinggal dengan Modus Investasi Fiktif, Tujuh WNA Ditangkap Imigrasi Bekasi |
![]() |
---|
Takut Dihadang, Sopir Truk Boks di Cikarang Bekasi Terpaksa Angkut Puluhan Pelajar Menuju DPR RI |
![]() |
---|
Polres Metro Bekasi Kota Amankan 121 Pelajar yang Mau Ikut Demo di Depan Gedung DPR |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.