Pilpres 2024

Puan Maharani Tegaskan Pertemuan dengan Cak Imin dan Airlangga Bukan Cari Bacawapres Ganjar Pranowo

Puan Maharani temui Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Penulis: Alfian Firmansyah | Editor: Sigit Nugroho
WartaKota/Alfian Firmansyah
Puan Maharani menemui Airlangga Hartarto di Jalan Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Kamis (27/7/2023) sore. 

Hasto mengatakan dirinya sudah bertemu dengan ketiga kader PDIP tersebut dan melalukan diskusi panjang.

Hasil diskusi tersebut, para kader itu kata Hasto, mengakui sempat ada penawaran-penawaran politik untuk berbelok dari PDIP.

Namun menurut Hasto, baik Budiman Sudjatmiko, Effendi Simbolon, dan Gibran Rakabuming memastikan akan tetap setia pada PDIP.

"Saya sudah bertemu Effendi Simbolon, Budiman Sudjatmiko, saya lakukan dialog panjang, meskipun ada bentuk penawaran-penawaran tapi mereka nyatakan merah adalah merah sebagai bentuk loyalitas,” jelas Hasto kepada awak media.

Hasto menerangkan bahwa sesuai dengan survei, PDIP merupakan partai yang solid. Pun seperti PDIP solid ketika mendukung Jokowi di Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan dua periode Presiden RI.

Sebab kata Hasto, bagi PDIP, pemilu hanya untuk pemimpin yang tepat dan mempunyai landasan moral yang baik.

Pun kata Hasto pemimpin tidak boleh membelah kekuatan pihak lain.

Baca juga: Nasib Cinta Mega di Ujung Tanduk Buntut Main Gim Slot, Ketua Kehormatan PDIP Bakal Ambil Sikap Tegas

104 Korban Hilang

Di sisi lain, DPP PDI Perjuangan (PDIP) memeringati Peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat, Kamis (27/7/2023).

Peringatan Peristiwa Kudatuli diisi dengan diskusi bertajuk Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996 Gerbang Demokratisasi Indonesia.

Dalam dsikusi itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP Hasto Kristiyanto menilai salah kaprah jika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut tragedi Kudatuli 27 Juli 1996 sebagai pelanggaran HAM biasa.

Menurut Hasto, peristiwa tersebut harusnya dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

"Meskipun Komnas HAM menyatakan hanya ada lima korban, tetapi dalam suatu komunikasi spiritual yang kami lakukan sebagai bangsa yang punya cara-cara untuk berkomunikasi dalam arus spiritual itu, paling tidak ada 104 korban hilang," kata Hasto.

Hasto berujar bahwa seharusnya diungkap aktor intelektual dan pihak-pihak yang terlibat dalam Tragedi Kudatuli, sehingga bangsa ini ambil pelajaran dari peristiwa itu.

Menurut dosen Universitas Pertahanan (Unhan) ini, pengungkapan tragedi itu akan menjadikan masa depan Indonesia tidak ada lagi kekuasaan yang menindas.

Sumber: Warta Kota
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved