Sejarah Jakarta

Sejarah Jakarta: Lapangan Kebon Torong Peninggalan Tuan Tanah Glodok, Kini Mau Dibangun Puskesmas

Inilah kisah sebuah lapangan Kebon Torong yang ditinggalkan tuan tanah di kawasan Glodok, Jakarta Barat

Wartakotalive/Nuri Yatul Hikmah
Suasana lapangan Kebon Torong yang masih aktif digunakan warga Kelurahan Glodok, Tamansari, Jakarta Barat, untuk aktivitas olahraga. 

WARTAKOTALIVE.COM, TAMANSARI — Berada di sebuah komplek perumahan di Jalan Kemurnian Selatan, Glodok, Jakarta Barat, lapangan Kebon Torong disulap warga menjadi fasilitas olahraga untuk umum sejak 1950.

Hal itu disampaikan oleh Slamet (85), mantan Ketua RW 01 Kelurahan Glodok era 80-an saat ditemui Wartakotalive.com di lapangan Kebon Torong, Sabtu (11/3/2023).

Pria yang sejak lahir tinggal di sekitar lapangan Kebon Torong itu berujar, fasilitas umum itu sebetulnya telah ada sejak 1945.

Namun hanya berupa sebidang tanah seluas 975 meter persegi. 

Lalu pada tahun 1950, lapangan tersebut dilengkapi oleh peralatan pendukung olahraga, seperti tiang dan ring basket.

Tak hanya itu, lanjut Slamet, lapangan itu juga diberikan pagar dan jaring-jaring dari besi, agar aktivitas olahraga warga menjadi aman.

Slamet (85), mantan Ketua RW 01 Kelurahan Glodok era 1980 menceritakan asal lapangan Kebon Torong
Slamet (85), mantan Ketua RW 01 Kelurahan Glodok era 1980 menceritakan asal lapangan Kebon Torong (Wartakotalive/Nuri Yatul Hikmah)

Menurut dia, lapangan itu diwariskan oleh tuan tanah yang memiliki rumah tak jauh dari lokasi lapangan Kebon Torong

"Ini merupakan salah satu fasilitas umum (fasum) yang disiapkan oleh tuan tanah yang lama. Jadi dia punya syarat, kalau misalkan dia jual rumah ini semua, dia harus tinggalkan satu bidang tanah yang kosong untuk mereka (warga) olahraga," ujar Slamet saat ditemui, Sabtu.

Baca juga: Sejarah Jakarta: Ini Awal Pemukiman Warga di Lingkungan Depo Pertamina Plumpang

Kemudian, lanjut Slamet, sang tuan tanah itu meninggal dunia sehingga diwariskan oleh anaknya bernama Edi.

Namun sebab ada pertikaian dalam keluarganya, Edi meninggal dunia dengan cara dibunuh oleh ibu tirinya, tanpa sempat memiliki keturunan. 

"Sebelum meninggal itu namanya Pak Edi, jadi bapak ibunya sudah meninggal. Pak Edi terakhir, Pak Edi itu dibunuh sama ibu tirinya dengan menyuruh orang Ambon," kata Slamet.

"Jadi enggak ada turunan yang terusin, jadi dianggap ini (lapangan Kebon Torong) tidak diurus," lanjutnya.

Oleh karena itu, kata Slamet, warga bersama swadaya masyarakat berinisiatif mengurus lahan kosong tersebut pada tahun 1960.

Baca juga: Sejarah Jakarta, Rusun Kebon Kacang, Hunian Vertikal Tertua Digagas Wali Kota Pertama

Para warga bahu membahu meratakan tanah tersebut dengan semen, hingga menjadi sebuah lapangan umum.

"Awalnya itu hanya sebidang tanah, kemudian warga beramai-ramai bersama swadaya itu dipelur, sekitar tahun 1960 sebelum 1965," kata dia.

"Tapi memang dari awal diperuntukkan untuk kegiatan olahraga. Karena dari dulu sudah ada tiangnya, tiang-tiang basket, sudah ada dulu yang main tenis itu, buktinya itu tiang tenis masih ada, ada badminton juga di situ," imbuhnya. 

Pria yang menjabat sebagai Ketua RW 01 mulai tahun 1982 hingga 1990 itu menuturkan, pada 1980 warga berinisiatif membangun sebuah yayasan yang dinamai Yayasan Sejahtera Kemurnian.

Adapun fungsinya, untuk mengurusi lapangan Kebon Torong tersebut agar tidak terbengkalai. 

"Jadi warga itu tahun 80-an punya inisiatif mendirikan satu Yayasan Sejahtera Kemurnian, itu dari warga-warga yang lebih tua dari saya waktu itu," ujar Slamet.

"Yayasan itu sudah lama, cuman diurusin sama mereka untuk lapangan Kebon Torong ini," lanjutnya.

Diakui Slamet, pengurus yayasan saat itu sudah mengajukan surat izin penggunaan bangunan ke pihak Wali Kota DKI Jakarta, yakni Fauzi Bowo. 

"Pada saat itu yayasan mengajukan surat ke Wali Kota dulu, karena kan dulu masih Wali Kota DKI Jakarta keseluruhan. Jadi pada saat itu surat yang dikeluarkan itu diajukan kepada Wakil Gubernur (Wagub) Fauzi Bowo waktu itu tahun 80-an," jelas Slamet.

Dari pengajuan tersebut, lanjut dia, pihak Yayasan Sejahtera Kemurnian mendapatkan hak pakai selama 10 tahun.

Setelah 10 tahun tersebut, surat itu harus diperpanjang. Namun, kabar keberlanjutannya Slamet tidak mengetahui secara pasti.

"Setelah 10 tahun itu harus diperpanjang katanya, tapi Ketua Yayasannya putuskan pegawainya untuk mengurus, tapi enggak tahu terakhirnya bagaimana," lanjut dia.

Dirinya mengetahui bahwa pada 1979 pemerintah mengeluarkan satu peraturan dimana semua sertifikat yang tidak diperpanjang, otomatis kembali kepada pemerintah.

Kendati begitu, warga di RW 01 Kelurahan Glodok berpatokan pada kepemilikan tuan tanah atas Eigendom atau bukti kepemilikan tanah warisan Belanda.  

"Tetapi saya enggak mau tahu, itu otomatis kah atau gimana, tetapi kali ini saya tahunya (lapangan Kebon Torong) punya tuan tanah namanya Eigendom, itu adalah hak milik selamanya. Mungkin dia (pemerintah) enggak ngerti ya," kata dia.

"Itu bahasa Belanda dan itu dinilai hak milik selamanya kalau dia memiliki keturunan masih ada, dia bisa lanjutkan. Tetapi sayangnya tuan tanah ini sudah tidak punya keturunan sudah tidak ada, jadi enggak ada yang ngurus," lanjutnya.

Slamet mengatakan, hingga saat ini masyarakat Kelurahan Glodok lah yang dipercaya mengurus lapangan tersebut untuk aktivitas olahraga dan kegiatan masyarakat lain. 

Menurutnya, tanah kosong yang ditinggalkan penghuninya itu banyak bukan hanya lapangan Kebon Torong.

Misalnya seperti kios atau bangunan yang ditinggalkan bekas kerusuhan 1998. 

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah tidak boleh mengambil seenaknya jika memang bangunan tertentu pernah memiliki hak milik.

"Hingga saat ini memang susah ya, karena kan banyak juga (bangunan) yang enggak diurus orang Tionghoa, atau diambil contoh dulu tahun 1998 kerusuhan bulan Mei, itu di Angke kan banyak di kanan kiri bangunan tidak bertuan," kata Slamet. 

"Itu enggak pernah dibuka hampir 30 tahun, tapi enggak pernah dikutak kutik itu. Apa itu jadi pemerintah punya? enggak kan, mungkin mereka itu pada kabur ke Amerika, ke mana karena trauma pada saat itu. Jadi semua rumah bukan berarti kalau kosong, pemerintah punya. Enggak boleh begitu," lanjut dia.

Terlebih, warga menganggap jika lapangan Kebon Torong merupakan ruang terbuka ramah anak dan lasia (RPTRA-L) satu-satunya di wilayah Kelurahan Glodok.

Sehingga, rencana pemerintah hendak mengalihfungsikan lahan tersebut menjadi puskesmas, sangat ditentang oleh masyarakat.

"Warga merasa ini tempat sangat dibutuhkan agar badan sehat, kan tiap pagi biasa olagraga. Apalagi dari tahun 1950 sampai saat ini itu tetap aja dipakai untuk basket, senam, tari taichi," kata Slamet. 

Menurutnya, kegembiraan warga yang masih belia maupun lanjut usia kala menggunakan lapangan tersebut merupakan cerita menyentuh yang bisa terenggut apabila pemerintah benar-benar mengalihungsikan lahan tersebut.

"Udah pasti happy kalau misalkan main di sini, coba lihat itu cucu mau main di mana lalau enggak di sini? masa hak mereka main begini dirampas juga, jadi ini kan hak mereka," papar Slamet.

"Tempat lain aja dibangunin RPTRA, masa di sini yang udah ada tempat main mau dihapus? itu udah enggak pantas lah pemerintah kayak gitu," imbuh dia.

Pasalnya, menurut Slamet, lapangan Kebon Torong ini tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat RW 01 Kelurahan Glodok saja, melainkan semua orang bisa menikmatinya. (m40)

 

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved