Hari Kesehatan Nasional
Hari Kesehatan Nasional, Pelabelan BPA Galon Guna Ulang oleh BPOM Dipertanyakan, Apa Sih Urgensinya?
Pelabelan kandungan Bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dipertanyakan sejumlah pihak.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: PanjiBaskhara
WARTAKOTALIVE.COM - Digelar sebuah diskusi bertajuk 'Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku', Kamis (10/11/2022).
Dikusi yang digelar di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat ini sekaligus melanjutkan diskusi dengan tema 'Wujudkan Kesehatan Rakyat Melalui Regulasi yang Non Diskriminatif'.
Acara dikusi tersebut juga sebagai bentuk menyambut Hari Kesehatan Nasional yang ke-58.
Dalam diskusitersebut hadiri oleh lima narasumber yang terdiri dari:
Baca juga: Kementerian Koperasi dan UKM Nilai Kebijakan Pelabelan BPA Berdampak Negatif Bagi UMKM
Baca juga: Belum ada Bukti, Kandungan BPA di Galon Mempengaruhi Kesehatan, Begini Penjelasan Ahli
Baca juga: Isu Pelabelan Bisphenol-A atau BPA Dianggap Pedagang Warung Kelontong Hanya Persaingan Usaha Semata
- Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo
- Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI Dr Rizal E Halim
- Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA dan Peneliti Senior SEAFAST IPB Prof. Dr. Purwiyatno Hariyadi
- Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Hermawan Saputra
- Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin, M,SC, Ph.D
Dimoderatori Gaib Maruto Sigit, yang saat itu membahas tentang 'Urgensi Pelabelan BPA Galon Guna Ulang'.
Pada diskusi itu, Hermawan Saputra menyampaikan dari sudut kesehatan masyarakat bahwa isu kesehatan masyarakat harus melihat evidence base-nya.
"Untuk BPA ini, dari kasus konsumsi kami belum melihat evidence base atau fenomena dan fakta yang cukup dan berdampak luas di masyarakat."

"Apabila ada isu zat ini berbahaya khususnya di pangan, maka kendalinya ada di produksi dan di distribusi bukan di labelnya. Ini tidak bisa coba-coba" tuturnya.
Pelabelan ini menjadi tidak efektif karena unsur pelabelan itu masuk ke dalam kendali perilaku bukan pada substansi yang seharusnya sudah dikendalikan pada saat produksi.
Di kesempatan ini, Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo juga menyampaikan, tugas pokok dari BPOM adalah mengawasi.
Namun ketika harus menyusun kebijakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga harus jernih melihat apakah ini akan menimbulkan kegaduhan atau tidak.
"Hal ini bisa dilakukan dengan sosialiasi, duduk dengan stakeholder dan edukasi," tambahnya.
Sementara itu, Rizal Edy Halim, meminta BPOM agar tidak hanya melabeli satu jenis kemasan plastik saja, tapi harus dilakukan terhadap semua kemasan.
Hal itu menurut dia, karena semua kemasan plastik itu mengandung zat-zat kimia berbahaya.
"Jadi, jika BPOM ingin mewacanakan pelabelan, ya semua harus dilabeli, baik kemasan berbahan Polikarbonat maupun PET. Karena semua plastik itu sama-sama berbahaya bagi kesehatan," ujarnya.
"Kalau BPOM mau buat pelabelan BPA, pertanyaannya kan ada isu lingkungan juga kalau kita hanya memakai yang sekali pakai itu. Aktivis lingkungan akan bereaksi karena akan terjadi penimbunan sampah yang lebih banyak," tuturnya.
Pada diskusi tersebut, Prof Purwiyatno Hariyadi menyampaikan, upaya pelabelan itu tidak tahu apa tujuannya.
Namun hal itu terjadi karena sebenarnya sudah ada aturan-aturan yang mengatur tentang pengendalian risiko dari senyawa kimia yang digunakan pada kemasan pangan yaitu ada di Peraturan BPOM 20/2019.
"Kalau memang sudah melewati ambang batas, ditarik tidak perlu dilabel. Saya tak tahu untuk apa itu. PP Pangan kita menyatakan semua regulasi yang dikeluarkan otoritas pengawasan pangan harus melakukan kajian risiko. Nah ini yang harus dikomunikasikan" ujar Prof Purwiyatno.
Hal yang sama juga disampaikan Akhmad Zainal Abidin.
Ia merasa labelisasi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Galon Guna Ulang (GGU) tidak perlu lagi karena sebenarnya Peraturan BPOM 20/2019 itu sudah cukup.
"Di aturan PBOM 20/2019 itu semua sudah dituliskan. Itu lebih accepted dan produk yang diedarkan juga sudah disertifikasi BPOM,”
“Migrasi BPA dari galon guna ulang ke produk air di dalamnya itu masih seperseratus dari kadar maksimum yang diizinkan. Termasuk sampel galon yang terjemur sinar matahari,"
"Meski memang ditemukan kandungan migrasi yang lebih tinggi dari yang ditempatkan di tempat yang tidak terkena matahari, namun kadarnya juga masih jauh di bawah batas maksimum yang diizinkan" papar dia.
Dari sisi ilmiah, kata Zainal, semua zat kimia itu pasti berbahaya.
Tidak hanya BPA, zat-zat prekursor yang digunakan untuk membuat botol atau galon plastik PET (polyethylene terephthalate) atau sekali pakai juga sama-sama ada bahayanya.
"Etilen glikol yang menjadi salah satu prekursor yang digunakan untuk membuat botol atau galon plastik PET atau sekali pakai sangat beracun dan bisa menyerang sistem saraf pusat, jantung dan ginjal serta dapat bersifat fatal jika tidak segera ditangani," papar Zainal kembali.
Kepala BPOM Sebut Risiko BPA dengan Penyakit Tertentu Belum Jelas Kausalitasnya
Bahaya-bahaya resiko BPA seperti yang disampaikan beberapa pihak seperti mengganggu fertilitas, kanker, dan lain-lain sampai saat ini belum jelas kausalitas atau asumsi dasar dari ilmu sainsnya.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito menyampaikan
Hal senada juga disampaikan sejumlah ahli pangan dan pakar kimia dari universitas ternama serta sejumlah dokter.
“Perubahan-perubahan science, knowledge dan ilmu pengetahuan yang ada di masyarakat yang menunjukkan adanya bahaya-bahaya resiko terhadap aspek kesehatan masyarakat dan konsumen, itu harus kita respon dengan regulasi," ujar Penny sebagaimana diberitakan Metro TV dalam acara Metro Pagi Prime Time, Rabu (8/6/2022).
"Salah satunya adalah risiko BPA yang akan memberikan dampak kesehatan seperti berbagai risiko yang dikaitkan dengan gangguan fertifility, cancer, dan berbagai penyakit lainnya yang sampai saat ini belum jelas kausalitasnya,” tambahnya.
Sebagaimana dikutip dari berbagai media sebelumnya, hal ini juga ditegaskan oleh beberapa ahli kesehatan. Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD-KHOM, FINASIM, FACP mengatakan belum ada bukti air galon guna ulang menyebabkan penyakit kanker.
Menurutnya, 90-95 persen kanker itu dari lingkungan atau environment.
“Kebanyakan karena paparan-paparan gaya hidup seperti kurang olahraga dan makan makanan yang salah, merokok, dan lain sebagainya. Jadi belum ada penelitian aii galon itu menyebabkan kanker,” ujarnya.
Dr. M. Alamsyah Aziz, SpOG (K), M.Kes., KIC, dokter spesialis kandungan yang juga Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), juga mengatakan sampai saat ini dirinya tidak pernah menemukan adanya gangguan terhadap janin karena ibunya meminum air galon.
Karenanya, dia meminta para ibu hamil agar tidak khawatir menggunakan kemasan AMDK galon guna ulang ini, karena aman sekali dan tidak berbahaya terhadap ibu maupun pada janinnya.
Sesuai SNI
Senada dengan ahli kesehatan, ahli pangan dan pakar kimia dari universitas ternama di Indonesia seperti UI dan ITB juga mengatakan kemasan pangan yang mengandung BPA masih aman digunakan.
Apalagi menurut mereka, produk-produk tersebut sudah memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).
Guru Besar Bidang Keamanan Pangan dan Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, C.Ht, mengatakan jika sudah memiliki sertifikat SNI, semua kemasan pangan yang mengandung BPA itu termasuk galon AMDK sudah dijamin keamanannya.
"Saya khawatir pernyatan-pernyataan mengenai bahaya BPA ini hanya dijadikan alat persaingan dagang di antara pengusaha AMDK," katanya.
Hal senada disampaikan Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik yang juga Kepala Laboratorium Green Polymer Technology – Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng..
Dia menegaskan perlu ada kajian rinci untuk menjawab atau membuktikan kekhawatiran migrasi bisphenol A (BPA) pada kemasan galon air minum berbahan PC.
Hal itu dimungkinkan oleh kesulitan klasifikasi dalam pengambilan sampel kemasan galon berdasarkan jumlah kali guna-ulangnya.
"Produsen yang terkait tidak akan sembarang mengeluarkan produk kemasan ini, terlebih harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat seperti yang ditetapkan BPOM," ujarnya.
Menurut Chalid, pada dasarnya kemasan galon berbahan PC secara disain material bahan bakunya relatif aman untuk air minum dengan jumlah kali guna-ulang tertentu, yang memperhatikan sifat-sifat fungsionalnya seperti migrasi BPA sebagai sisa bahan baku atau hasil degradasi dari polikarbonat pada kemasan tersebut.
"Tentunya, produsen telah melakukan antisipasi itu. Memang tidak mudah mengendalikan batas jumlah kali guna-ulang di masyarakat itu."
"Karenanya, sebelum diedarkan ke masyarakat, kemasan itu juga sudah diuji oleh pihak-pihak terkait, baik itu oleh Kemenperin maupun BPOM,” ungkapnya.
Pakar kimia UI lainnya yang juga dosen di Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia (UI) Dr. rer. nat. Agustino Zulys, MSc, juga mengatakan bahwa air galon PC itu aman untuk digunakan karena sudah memiliki sertifikat SNI.
“Pengujian kadar BPA pada air dalam kemasan isi ulang ini memang perlu dikonfirmasi dulu seberapa besar kadarnya, apakah sudah melampaui batas ambang atau tidak. Tapi, menurut saya, kalau sudah ber-SNI seharusnya produknya sudah aman,” tukasnya.
DR Ahmad Zainal, pakar polimer dari ITB juga menyayangkan adanya narasi yang salah dalam memahami kandungan BPA dalam galon guna ulang berbahan Polikarbonat (PC) yang dihembuskan pihak-pihak tertentu akhir-akhir ini.
Sebagai pakar polimer, dia melihat PC itu merupakan bahan plastik yang aman.
Dia mengatakan antara BPA dan PC itu dua hal yang berbeda. Banyak orang salah mengartikan antara bahan kemasan plastik Polikarbonat dan BPA sebagai prekursor pembuatnya.
Menurutnya, beberapa pihak sering hanya melihat dari sisi BPA-nya saja yang disebutkan berbahaya bagi kesehatan tanpa memahami bahan bentukannya yaitu Polikarbonatnya yang aman jika digunakan untuk kemasan pangan.
Menurutnya, BPA itu memang ada dalam proses untuk pembuatan plastik PC.
Dia mengibaratkannya seperti garam NaCl (Natrium Chlorida), dimana masyarakat bukan mau menggunakan Klor yang jadi bahan pembentuk garam itu, tapi yang digunakan adalah NaCl yang tidak berbahaya jika dikonsumsi.
”Jadi dalam memahami ini, masyarakat harus pandai mengerti agar tidak dibelokkan oleh informasi yang bisa menyesatkan dan merugikan,” kata Zainal.
Dia juga berharap berita-berita yang terkait BPA galon guna ulang harus dijelaskan secara ilmiah dan jangan dikontroversikan menurut ilustrasi masing-masing yang bisa menyesatkan.
“Jadi, harus dengan data ilmiah sehingga masyarakat kita akan memahami dan bisa mengambil keputusan sendiri,” ujarnya.
IDI Dukung BPOM Regulasi Pelabelan Bisfenol A
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendukung rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan label kandungan Bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK).
Pelabelan itu diharapkan bisa meningkatkan upaya perlindungan kesehatan masyarakat.
"PB IDI mendukung upaya Badan POM RI dalam kajian regulasi pelabelan BPA pada Kemasan Plastik demi keamanan dan perlindungan Kesehatan masyarakat,” ujar Sekretaris Jendral (Sekjen) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Ulul Albab, SpOG, dalam keterangan resmi, Selasa (16/8/2022).
Dr. Ulul Albab, SpOG mengatakan, selama ini masyarakat hanya menyoroti jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi terhadap kesehatan saja.
“Namun mengabaikan pengaruh kemasan makanan atau minuman tersebut serta kandungan dalam kemasan tersebut terhadap kesehatan,” ucapnya.
Untuk itu, IDI memberikan sejumlah rekomendasi kepada terkait persoalan ini.
Pertama, pemerintah diminta untuk memberikan label terdapat BPA atau tidak pada semua kemasan makanan dan minuman.
Kedua, produsen diminta membahas kandungan dan aturan pelabelan BPA kepada BPOM.
Ketiga, masyarakat diminta untuk memilih kemasan plastik yang bebas BPA, termasuk pada AMDK.
Terakhir, hindari menggunakan, menyimpan, ataupun mencuci botol berkali-kali dalam suhu tinggi.
Perlu diketahui, BPA (Bisphenol A) adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membuat sejenis plastik polikarbonat, sering digunakan untuk FCM (Food Contact Materials) seperti kemasan air galon atau sebagai resin epoksi dalam lapisan pelindung kaleng untuk pangan atau minuman.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, sekitar 78 persen industri menggunakan plastik untuk makanan dan minuman kemasan. Sementara sekitar 16,5 persen sisanya digunakan untuk kemasan minuman berkarbonasi.
Menurut Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI Agustina Puspitasari, migrasi partikel BPA ke dalam makanan atau minuman memiliki dampak risiko kesehatan bagi konsumennya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa BPA mempengaruhi fisiologi, kelenjar prostat, serta perkembangan otak pada janin, bayi dan anak-anak.
"BPA juga mempengaruhi kesehatan dan perilaku anak. Penelitian lain juga menunjukan kemungkinan hubungan antara BPA dengan peningkatan tekanan darah, diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular," ujarnya.
Karena itu, banyak negara dunia yang telah membuat regulasi terkait BPA ini. Tahun 2008, Badan Pengawas Makanan dan Obat di Amerika Serikat (US-FDA) menetapkan batas konsentrasi asupan BPA.
Sedangkan Kanada mengeluarkan larangan terbatas penggunaan BPA dan mengklasifikasikannya sebagai zat beracun.
Pada tahun 2011, Komisi Regulasi Uni Eropa mengeluarkan SML (Specific Migration Limit) dan melarang menggunakan BPA pada produk botol bayi dan anak-anak.
Adapun Perancis melarang penggunaan BPA pada seluruh kemasan kontak pangan.
Negara lain seperti Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia melarang penggunaan BPA pada kemasan kontak pangan untuk konsumen usia rentan 0-3 tahun.
(Wartakotalive.com/FAF/Mochamad Dipa Anggara/SUF)