Pilkada

Tafsir Baru Perbuatan Tercela dalam Pencalonan Kepala Daerah, Mantan Napi Boleh Calonkan Diri

Pelaku perbuatan tercela diberi kesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah setelah menjalani hukuman

Editor: Feryanto Hadi
Ist
Tim kuasa hukum dari kantor Highlegal Law Firm usai bersidang di Mahkamah Konstitusi 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA, Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 31 Mei 2022, telah memberikan putusan atas perkara Nomor 2/PUU-XX/2022 perihal Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Mahkamah Konstitusi berpendapat dapat menerima dalil Pemohon melalui Kuasa Hukumnya dari kantor Highlegal Law Firm yang terdiri dari William Yani Wea, S.H., M.IP.,CLA., Hardizal, S.Sos, M.H., Harli, S.H.,M.T.,M.A., Irwan Gustaf, S.H., Ignasius Watu Mudja, S.Sos., S.H.,M.H., yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi Calon Kepala Daerah yang melakukan perbuatan tercela dan telah selesai menjalani masa hukumannya.

Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan pelaku perbuatan tercela diberi kesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah setelah menjalani hukuman dan jeda lima tahun.  

“ Pertimbangan pilihan diserahkan kepada para pemilihnya/masyarakat, namun hal tersebut tidak boleh menghilangkan informasi tentang jati diri masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” tegas Suhartoyo, Hakim MK dalam sidang pembacaan putusan.

Baca juga: Tak Berniat Ikut Pilkada, Basuki Hadimuljono: Sudah 70 Tahun Bos, Saya Sudah Selesai

Dalam sidang putusan tersebut, Mahkamah Konstistusi,  juga memerintahkan kepada penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah termasuk dalam hal ini pihak Kepolisian yang berwenang mengeluarkan SKCK, untuk segera memformulasikan bentuk/format SKCK sebagaimana dikehendaki dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada dengan menyesuaikan semangat yang ada dalam putusan tersebut. 

Sekalipun syarat melampirkan SKCK sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada tetap diberlakukan kepada setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun apapun model ataupun format SKCK dimaksud, kata William Yani Wea.

Hal tersebut tidak boleh menjadi penghalang bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan untuk dapat ikut kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun yang bersangkutan telah melakukan perbuatan tercela sepanjang yang bersangkutan telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, serta sepanjang syarat-syarat lainnya terpenuhi. 

Menurut Hardizal, salah satu kuasa hukum pemohon, pada masa pendaftaran bakal pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Sungai Penuh tahun 2020, salah satu bakal calon telah mendapat surat mandat sebagai bakal calon wakil walikota Sungai Penuh dari tiga Partai.

Baca juga: Pernah Keok Lawan Anies-Sandi, Djarot Ogah Maju Lagi di Pilkada DKI, Fokus Menangkan Partai

Namun pada akhir masa pendaftaran Pilkada tahun 2020 tersebut, salah satu partai mencabut rekomendasinya dengan alasan Pemohon memiliki catatan kriminal sebagai pengguna Psikotropika yang didasarkan pada Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang menerangkan bahwa yang bersangkutan terlibat dalam kegiatan kriminal seperti yang tercantum pada UU 35 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Oleh karena tidak memenuhi persyaratan calon akibat adanya Pembatalan Surat Rekomendasi, maka dua partai yang lain juga mengalihkan rekomendasi persetujuannya ke pasangan Walikota Sungai Penuh yang lain.

Bakal calon walikota tersebut kemudian mempersoalkan hak konstitusionalnya untuk diperlakukan secara sama dengan perorangan yang juga telah menjalani pidana seperti para terpidana narkotika dan tipikor yang telah menjalani pidana baik pidana penjara dan pidana denda serta semua teknis administrasi yang berkaitan dengan Lembaga Pemasyarakatan pada Pemilihan Kepala Daerah in casu Wakil Walikota Sungai Penuh tahun 2020, tidak dipenuhi karena berlakunya penjelasan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada, sehingga mengajukan pengujian Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada. 

Baca juga: Fahri Hamzah: Mahkamah Konstitusi Perlu Direformasi, Disandera Terus oleh Politisi

William Yani Wea, Hardizal, Harli, Irwan Gustaf, dan Ignasius Watu selaku kuasa hukum mengatakan “Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada telah menghalangi hak konstitusional Klien saya untuk menjadi calon kepala daerah, sedangkan  orang yang melakukan tindak pidana korupsi atau narkotika yang sudah diadili dan dihukum masih bisa mencalonkan, jadi terdapat diskriminasi."

Pembentukan rumusan penjelasan norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada, menurut Harli dan Hardizal,  perbuatan tercela sebagai salah satu prasyarat akumulatif dalam pencalonan kepala daerah, tidak sejalan atau tidak konsisten dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).

Menurut William Yani Wea, Pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan seseorang yang telah menjalani hukuman pemidanaan juga menjadi tujuan sistem pemasyarakatan berdasarkan UU Pemasyarakatan. Lingkup perbuatan tercela yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i tersebut terlalu luas, secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk. Pertama, perbuatan tercela yang diatur KUHP Pidana dan Pidana Khusus, Pertanggungjawaban Pidana dapat dilakukan dengan dua aspek penting, dilakukan dengan prosedur (formil) dan materiil (substantif).

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved