Hari Anak Indonesia
Adaptasi Kebiasaan Baru Menjadi Keharusan saat Transisi Pandemi, Ini Kita agar Anak Tetap Sehat
Saat ini mulai memasuki masa transisi pandemi virus corona, karena itu perlu adatasi kebiasaan baru bagi anak-anak yang rentan.
Penulis: Mochamad Dipa Anggara | Editor: Valentino Verry
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Saat ini kasus virus Covid-19 mulai meningkat lagi, namun masyarakat 'dipaksa' untuk memasuki masa transisi dari pandemi ke endemi.
Karena itu, kita harus memahami langkah atau kiat hidup sehat agar terhindar dari sakit virus Covid-19.
Pemahaman sangat diperlukan bagi anak-anak, sebab mereka kelompok rentan yang bisa membawa virus dan menyebarkan pada orangtua atau lansia.
Nadya Pramesrani, M.Psi, Psikolog Keluarga di Rumah Dandelion mengatakan, bahwa selama pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas manusia di luar rumah membuat banyak sekali terjadinya kasus keterlambatan perkembangan anak terutama di aspek sosial emosional dan motorik kasar anak.
“Dominannya keterlambatan ini disebabkan oleh pertama kurangnya stimulasi karena keterbatasan kondisi dan juga yang mempengaruhi level stress yang dialami anak dan lingkungan sekitar dalam arti orangtuanya. Hal ini banyak dialami oleh anak-anak secara global,” ujar Nadya dalam konferensi pers virtual Bebelac Rayakan Hari Anak Hebat Nasional, Kamis (21/7/2022).
Nadya menyebutkan, di masa transisi pasca pandemi Covid-19 dimana pelonggaran aktivitas masyarakat di luar rumah mulai dilakukan, membuat sejumlah orang tua merasa khawatir terhadap anak dalam beradaptasi.
Baca juga: Setiap Hari Anak-anak di Rusun Marunda Hisap Debu Batu Bara, Bagaimana Tanggungjawabnya?
“Anak akan pertama kali berinteraksi dengan orang lain secara mandiri yang tidak lagi didampingi oleh orang tuanya pasca pandemi," ujarnya.
"Secara umum masalah yang kerap terjadi dilingkungan sekolah adalah bagaimana anak menimbulkan perilaku agresi yang lebih tinggi atau anak yang menarik diri,” ungkapnya.
Secara umum, lanjut Nadya, bagi anak-anak yang harus kembali berinteraksi ke dunia luar rumah, masalah yang sering ditemui adalah mereka akan sangat cemas dan sulit untuk berpisah dengan orangtua.
Baca juga: Ini Kata Pedagang Siomay Soal Perpanjangan PSBB Pra Adaptasi Kebiasaan Baru di Kabupaten Bogor
“Karena saat ini banyak orang tua yang sudah kembali ke kantor dan ini kemudian menimbulkan drama di rumah. Kemudian ketika anak berinteraksi dengan orang baru mereka jadi takut dan menarik diri, hingga tantrum,” sebutnya.
Masalah selanjutnya adalah penurunan aktivitas fisik diiringi dengan peningkatan screen time penggunaan gawai selama pandemi berdampak pada kesehatan fisik anak dan itu mempengaruhi bagaimana ketika mereka kembali ke dunia sosial.
“Secara umum karena pada saat pandemi lebih banyak screen time secara emosi anak-anak pandemi ini lebih banyak yang rewel perilaku suasana hatinya bisa naik dan turun dengan sangat cepat. dan ketika lagi bad mood, lebih sulit untuk meregulasi hal itu dan kembali kepada happy moodnya.
Kemudian, masalah lainnya adalah anak menjadi hiperaktif dan kurang fokus. Hal ini merupakan dampak dari peningkatan screen time atau penggunaan gawai pada masa pandemi.
“Karena kurang gerak dan peningkatan screen time anak menjadi hiperaktif gerak sana gerak sini tapi tidak bertujuan dan bikin kekacauan di rumah dan kondisi rumah yang kacau pada akhirnya berbalik lagi kepada si kecil yang membuat mereka jadi semakin sulit untuk fokus,” ungkap Nadya.
Enam kiat memulai kebiasaan baru
Menurut Nadya, ada enam kiat yang dapat dilakukan orang tua terhadap anak dalam memulai kebiasaan baru memasuki pasca pandemi.
Pertama, pemberian asupan nutrisi yang tepat sehingga mendukung anak memiliki saluran cerna yang sehat (Happy Tummy), perkembangan daya pikir yang hebat (Happy Brain) dimana keduanya akan berpengaruh pada kemampuan sosial-emosional anak.
Kedua, membangun struktur pada anak dengan cara menerapkan rutinitas yang teratur. Dengan menerapkan struktur, anak akan lebih memahami batasan dalam berperilaku, mampu mengendalikan diri, memiliki sikap disiplin dan mandiri.
“Yang tadinya udah tenang di rumah aja selama dua tahun, kemudian ada ketidakseimbangan yang terjadi ketika rutinitas berubah lagi yang tadinya semua bisa di rumah aja mesti keluar lagi, mesti macet-macetan lagi. Anak yang tadinya sekolah tinggal bangun tidur buka laptop terus belajar online, sekarang mesti bangun lebih pagi, mandi dulu siap-siap untuk sekolah,” ujar Nadya.
Ketiga, stimulasi kreatif di rumah yang diberikan yang dilakukan kerja sama antar orang tua. Caranya, dengan memberikan kegiatan bermain yang menyenangkan dan terstruktur yang tujuannya menguatkan kemampuan anak berinteraksi dengan orang lain ataupun meningkatkan daya tahan tubuhnya.
Keempat, memberi kesempatan bergerak aktif agar anak dapat tumbuh sehat dan berani. Contohnya, memberikan kegiatan bermain yang menyenangkan dan terstruktur yang tujuannya menguatkan kemampuan anak berinteraksi dengan orang lain ataupun meningkatkan daya tahan tubuhnya.
Nadya mengungkapkan, setiap harinya anak-anak dibawah usia 5 tahun, terutama usia 2-3 tahun, kebutuhan untuk mereka bergerak aktif setiap hari adalah 300 menit atau 5 jam setiap harinya
Maka dari itu, orang tua perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk bergerak aktif. Hal tersebut untuk menstimulasi rangsangan yang diterima otak mereka dan membantu mereka belajar lebih efektif.
Kelima, interaksi dua arah untuk mengembangkan social emotional skills dan melatih kebaikan dalam diri anak.
“Berikan kesempatan melakukan interaksi dua arah, tapi akan lebih baik interaksi dengan orang lain di luar rumah. Misalnya interaksi dengan tetangga, interaksi dengan bapak satpam di depan rumah,” ucapnya.
Keenam, ajak anak lihat sekeliling apa ada yang membutuhkan bantuan dan bagaimana cara bantunya.
Contohnya, membantu ibu menulis daftar belanja, membantu ibu memasak atau membantu ayah merapikan lemari baju, dan lain-lain.
“Ajak anak lihat sekeliling apa ada yang butuh bantuan dan bagaimana cara bantunya, apa yang bisa kamu lakukan untuk bisa membuat orang lain lebih happy. Intinya, melibatkan mereka kembali pada kegiatan keseharian kita,” ujar Nadya.
Survei
Sementara itu, terkait dengan situasi pandemi berpotensi mengganggu tumbuh kembang anak dalam berbagai aspek seperti motorik, bahasa dan sosial emosional, Bebelac melakukan survei.
Survei tersebut dilakukan terhadap 1232 responden orang tua dengan mayoritas berumur 26-35 tahun (73,3 persen partisipan), pendidikan terakhir S1 (42,9 persen) serta memiliki usia anak berumur 3-5 tahun (51 persen) dan 1-2 tahun (36 persen) yang tersebar di Indonesia dengan mayoritas di pulau Jawa (47,4 persen).
Hasil survei menyatakan sebanyak 31,7 persen orangtua menjawab bahwa sang anak menangis setiap bertemu orang baru, sedangkan 14,8 persen orang tua menjawab bahwa sang anak terlambat berbicara dan 13 persen orang tua menjawab sang anak belum bisa merespon orang lain.
Berbagai kendala yang mungkin dialami si Kecil saat memasuki masa transisi dari pandemi ke pascapandemi diantaranya 388 dari 1232 responden orang tua (31,5 persen) merasa si Kecil belum terbiasa berinteraksi dengan orang lain sebagai dampak dari situasi pandemi
“Perubahan rutinitas kembali ke normal ini sedikit banyak menyebabkan kekhawatiran pada orang tua, salah satunya adalah apakah si Kecil sudah mampu beradaptasi untuk berinteraksi dengan lingkungan baru setelah selama dua tahun hidup berjarak dari orang lain dan lingkungan sekitar,” ungkap Marketing Manager Bebelac Anissa Permatadhieta Ardiellaputri, dalam kesempatan yang sama.
Menurut Anissa, bila tidak dicermati, hal ini dapat berdampak pada tumbuh kembang mereka kedepannya.
“Untuk memastikan pertumbuhan si kecil sesuai dengan grafik kesehatan dan tetap optimal sesuai tahapan usianya, maka Ia harus dibekali dengan nutrisi yang lengkap serta stimulasi kreatif yang memadai,” pungkas Anissa.