Pilpres 2024

Formappi Setuju Presidential Threshold Dihapus, Bikin Pemilu Baru tapi Gunakan Hasil Lama

Ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold yang diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, terus digugat.

Istimewa
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai sebaiknya presidential threshold ditiadakan. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold yang diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, terus digugat.

Pasal 222 UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden harus memiliki 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai sebaiknya presidential threshold ditiadakan, karena dianggap membatasi kepesertaan pemilu.

“Saya kira memang idealnya tidak perlu ada itu presidential threshold."

"Apa sih membatasi?”

“Jangankan penduduk umumnya, partai politik yang sudah menjadi peserta pemilu pun dibatasi,” kata Lucius Karius dalam sebuah diskusi virtual yang diselenggarakan The Indonesian Institute (TII), Jumat (8/7/2022).

Baca juga: Yusril Ihza Mahendra: Mahkamah Konstitusi Berubah Menjadi Penjaga Oligarki

Luis, sapaan akrabnya, menambahkan, ketentuan ambang batas pencalonan presiden tidak relevan dengan situasi saat ini. Sebab, aturan tersebut menggunakan hasil pemilu sebelumnya.

Sedangkan Indonesia saat ini tengah mencoba pemilu serentak yang akan dihelat pada 2024.

“Ini kan logika sesat begitu ya. Kita sedang bikin pemilu baru tapi menggunakan hasil pemilu yang lama.”

Baca juga: Beberkan Rekam Jejak Puan, Bambang Pacul: Tujuh Tahun Lalu Dikau Percaya Jokowi Jadi Presiden?

“Pada saat yang sama dia menerima ada peserta baru. Jadi itu aja sulit untuk dipahami. Jadi mestinya tidak penting itu threshold itu,” paparnya.

Ia mengungkap sejumlah alasan tak perlunya presidential threshold.

Pembatasan tersebut, lanjut dia, akan memunculkan calon presiden (capres) yang sedikit sehingga rawan terhadap konflik hingga polarisasi.

Baca juga: Bekas Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe Tak Sadarkan Diri Usai Ditembak Saat Pidato

Menurutnya, jika aturan ambang batas itu dicabut, maka akan memunculkan banyak capres yang dapat maju di pilpres, sehingga masyarakat punya banyak alternatif untuk memilih.

“Jadi saya kira idealnya tidak perlu begitu ya. Kalau mau membatasi ya parliamentary threshold itu masih mungkin begitu ya untuk penguatan sistem presidensial."

"Tapi presidential threhsold saya kira memang idealnya tidak perlu ada.”

Baca juga: Surya Paloh dan Megawati Dikabarkan Tak Akur, Bambang Pacul: Jangan Gampang Menjustifikasi

“Tidak perlu berapa persen, berapa persen. Nol persen saja begitu ya, seperti yang diusulkan sejumlah orang yang pernah juga mengajukan judicial review ke MK,” bebernya.

Senada, peneliti bidang politik The Indonesian Institute Ahmad Hidayah pun mempertanyakan aturan presidential threshold.

Dia heran, aturan yang sama dengan Pemilu 2019 diterapkan pada Pemilu 2024. Padahal, mekanisme pemilihan antar-periode tersebut berbeda.

Baca juga: Waketum Partai Gerindra: Mau Berapa Persen Pun Presidential Threshold, Kami Siap

Ia pun melihat presidential threshold bisa saja dibuat agar presiden terpilih nantinya bisa punya kekuatan yang setara dengan parlemen.

“Nah, itu bisa dilakukan di logika saya, kalau pilpres tidak dilakukan secara serentak."

"Jadi hasil misalnya legislatif dulu 2024, baru akhirnya pilpres. Itu masih masuk.”

Baca juga: Pakai Keppres, Hukuman Mati Bisa Diubah Jadi Penjara Seumur Hidup Bila Berbuat Baik Selama 10 Tahun

“Tapi kalau pakai 2019, saya pikir ini juga logika yang aneh, tidak masuk,” paparnya.

Sebab, sambung Ahmad, tidak menutup kemungkinan presiden yang memenangkan Pemilu nanti berbeda dengan penguasa parlemen, maka akan mempersulit langkah kepala negara.

“Karena selalau diawasi oleh legislatif misalnya. Tapi enggak juga kalau melihat 2019-2024, buktinya parpol yang kalah yang katanya dioposisi sekarang merapat semua di presiden.”

“Jadi bagi saya kekuasaan itu kayak gula ya, nanti orang-orang yang kalah juga, semut-semut pasti berkerumun ke situ. Jadi enggak usah ditakutin,” ulasnya. (Naufal Lanten)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved