Putusan Kode Etik Polri
Kompolnas: Putusan Kode Etik AKBP Raden Brotoseno yang Kontroversial Bukan di Era Kapolri Sekarang
Kompolnas menegaskan putusan kode etik Polri yang kontroversial terhadap AKBP Raden Brotoseno, bukan di era Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) memastikan bahwa sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap AKBP Raden Brotoseno dilakukan sebelum era Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjabat sebagai Kapolri.
"Perlu saya sampaikan bahwa keputusan sidang kode etik ini tanggal 13 Oktober 2020, jadi itu era sebelum pak Listyo Sigit," kata Ketua Harian Kompolnas Irjen (Purn) Benny Mamoto kepada awak media, Jakarta, Kamis (2/6/2022).
Baca juga: Perwakilan Keluarga Konfirmasi Kebenaran Rekaman Suara Soal Kabar Ridwan Kamil di Swiss
Benny menekankan, ke depannya institusi Polri dapat menjadikan hal ini sebagai pembelajaran dan bentuk evaluasi.
Untuk lebih baik lagi dalam memberikan keputusan etik terhadap personel kepolisian yang terjerat masalah hukum.
"Menurut kami, ke depan Polri perlu lebih hati-hati ketika sidang kode etik dilaksanakan,” ujarnya.
“Dalam memutus kasus-kasus yang terpidananya korupsi itu perlu mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat," imbuh Benny.
Menurut Benny, Kompolnas sudah mencoba mengklarifikasi hasil putusan kode etik terkait kasus AKBP Raden Brotoseno ke Korps Bhayangkara.
Baca juga: Marcel Chandrawinata dan Deasy Pricilla Bahagia Dianugerahi Anak Pertama Setelah Menikah Tahun 2017
Kompolnas pun tak bisa berbuat apa-apa, mengingat sudah ada putusan hukum dan harus dihormati.
Meski begitu, Benny menegaskan, ke depannya Polri harus lebih berhati-hati lagi dalam memutus sidang etik.
Apalagi, terkait dengan perkara soal kasus tindak pidana korupsi.
"Karena putusannya sudah inkrah dan sidang kode etik ini tentunya sudah dilaksanakan dengan prosedur. Kita patut hormati itu,” ucapnya.
“Ke depannya, menurut kami perlu hati-hati pihak pemutus dalam sidang kode etik terpidana korupsi," tandas Benny.
Sementara itu, Pusat Bantuan Hukum Masyarakat (PBHM) menyesalkan sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang tidak memecat AKBP Raden Brotoseno dari institusi Polri sebagai penyidik di Bareskrim Polri.
Sebaliknya, justru mempertahankan eks napi korupsi itu di institusi hanya dengan alasan berprestasi selama di Polri dan saat menjadi penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua PBHM Ralian Jawalsen mengatakan, bahwa korupsi adalah salah satu kejahatan luar biasa. Karena itu harus menjadi kesepakatan antara masyarakat dan Polri bahwa kejahatan itu harus diberantas.
"Karenanya Polri harus memecat AKBP Brotoseno, karena ia pernah dihukum kasus korupsi dan terbukti melakukannya," kata Ralian kepada Wartakotalive.com, Rabu (1/6/2022).
Baca juga: Jokowi Berbincang dengan Kabais TNI di Bandara Umbu Mehang Kunda NTT, Bahas Apa?
Dia mengatakan, korupsi adalah kejahatan extraordinary crime (kejahatan luar biasa), selain terorisme dan narkoba.
Karena kejahatan luar biasa itu menjadi musuh negara, kata Ralian, maka dibuat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang KPK.
"Keseriusan Pemerintah untuk memberantas itu terlihat dengan masih dibentuknya KPK. Jadi tidak ada alasan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk mempertahankan AKBP Brotoseno di institusi Polri sebagai penyidik, hanya karena alasan pernah berprestasi," tegas Ralian.
Ralian juga mempertanyakan parameter Kapolri yang menganggap AKBP Brotoseno berprestasi, sehingga tetap dipertahankan.
"Kalau pertimbangan berprestasi lalu mengabaikan penegakan hukum, apa gunanya," tambahnya.
Ralian mengatakan, kampanye Kapolri yang ingin mewujudkan polisi presisi yakni prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan membuat pelayanan dari kepolisian lebih terintegrasi, modern, mudah dan cepat, sama sekali tidak terlihat dengan tidak dipecatnya AKBP Brotoseno.
"Masalah berkeadilan inilah yang sekarang ditanyakan masyarakat. Parameter Brotoseno hanya alasan berprestasi sehingga tidak dipecat, adalah tidak elok dan tidak tepat bila itu dijadikan ukuran," ucap aktifis Gerakan Mahasisawa Kristen Indonesia (GMKI) itu.
PBHM mendesak Kapolri untuk meninjau ulang putusan sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) terhadap AKBP Brotoseno.
"Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan bahwa anggota Polri dapat diberhentikan tidak dengan hormat," tegas Ralian.
Diketahui, AKBP Raden Boroseno terjerat kasus korupsi dan menjadi narapidana selama 2017-2020.
Selepas dari itu, AKB[ Brotoseno masih aktif bertugas menjadi penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Dengan jabatan sebagai Penyidik Madyia Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Pokri.
Pada 2016, Brotoseno pernah ditangkap Divisi Profesi dan Pengamanan Polri akibat kasus suap senilai kurang lebih Rp 3 miliar.
Selain itu, Brotoseno, didakwa menerima hadiah atau janji dalam proses penyidik tindak pidana korupsi cetak sawah di daerah Ketapang, Kalimantan Barat.
Sebelumnya Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri menegaskan, mantan narapidana korupsi AKBP Raden Brotoseno tidak pernah dipecat dari Polri.
Dia hanya disanksi berupa permintaan maaf dan demosi dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
Pelaksaanaan sidang KKEP tersebut berdasarkan putusan Nomor: PUT/72/X/2020 pada 13 Oktober 2020.
Dia terbukti bersalah dan meyakinkan tidak menjalankan tugas secara profesional dan proporsional.
"Hasil Penegakan Bentuk Pelanggaran KEPP AKBP R Brotoseno adalah tidak menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural."
"Dengan wujud perbuatan saat menjabat Kanit V Subdit III Dittipidkor Bareskrim Polri, yakni menerima suap dari tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi," kata Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Senin (30/5/2022).
Dalam sidang itu, kata Sambo, AKBP Brotoseno hanya dijatuhi sanksi untuk meminta maaf secara lisan.
Brotoseno juga hanya disanksi berupa demosi dari jabatannya sebelumnya di Dirtipikor Bareskrim Polri.
"Dijatuhi sanksi berupa perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela, kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKE."
"Dan atau secara tertulis kepada pimpinan Polri, serta direkomendasikan dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat demosi," jelasnya.
