Jakarta Audax 2022, Mengikis Mentalitas Curang Pesepeda pada Rute Jarak Jauh Berbatas Waktu
Jakarta Ultra Cycling Challange, event gowes jarak jauh mandiri dengan batsan waktu kembali digelar dengan antusiasme peserta yang begitu tinggi.
Setelah berkilo-kilometer, saya baru menyadari tak ada lagi peserta Audax yang kelihatan di depan maupun belakang.
Bak orang buta yang tak tahu jalan, saya mulai bertanya-tanya pada orang di pinggir jalan.
Akhirnya, saya yakin tersesat. Dengan berat hati, saya mengayuh kembali sepeda, menyusuri jalan yang sama, berbalik arah.
Tak lama saya menemukan teman peserta gowes dan mengikutinya menyusuri rute di bike comp.
Menilik maraknya media sosial saat ini, agaknya memang banyak peserta yang ikut Audax sekadar ingin eksis, mengisi konten media sosial.
Dengan ikut acara gowes jarak jauh yang bergengsi dan diakui secara internasional, mereka bisa pamer di berbagai platform media sosial.
Salah satu peserta, misalnya, ada yang melewati batas waktu karena dua kali membantu peserta lain menambal ban sepedanya yang bocor.
“Peserta membawa toolkit, tapi tidak tahu cara menggunakannya untuk menambal ban,” katanya.
Beruntung ada peserta yang memiliki kepedulian dan bersedia membantu, dengan konsekuensi masuk ke garis finis melewati batas waktu.
Fenomena banyaknya pesepeda kalcer yang salah kaprah ikutan Audax, agaknya patut menjadi catatan panitia.
Sebab, secara mental mereka sebetulnya belum siap.
Selama perjalanan, saya mendapati beberapa rombongan yang saya duga sekadar menyelesaikan gowes jarak jauh.
Wajah anggotanya tegang, satu berhenti, semua berhenti.
Saat salah satu sepeda bermasalah, mereka kebingungan.
Ikutan Audax, tapi secara mental seperti ikut fun bike jarak jauh berombongan.
Padahal, Audax bukan sekadar sport (kesiapan fisik dan teknis bersepeda), dibutuhkan lebih dari itu, yaitu sportivitas dan penguasaan teknis sepeda masing-masing peserta.
Tak terasa jarak finish tinggal tersisa 30 km.
Dengan sisa waktu COT masih 1 jam 40 menit, saya yakin masih bisa masuk garis finish sebelum COT.
Apalagi dua bidon baru diisi penuh, perut pun sudah terisi makanan kecil. Tenaga pun, masih ada.
Saya mengayuh sepeda lebih cepat.
Hari mulai gelap.
Ternyata saya keliru.
Memasuki Jakarta, rute yang dipilih panitia justru masuk ke jalan-jalan kecil, banyak polisi tidur, dan sedikit berkontur.
Hal ini membuat saya tidak bisa menjaga kecepatan tetap konstan. Ketidakmujuran semakin lengkap karena saya kembali kehilangan arah.
Batere Garmin teman yang saya ikuti habis. Walhasil saya kembali nyasar.
Apa daya, saya masuk garis finish sekitar satu jam melewati batas waktu.
“Biasanya yang finish di bawah COT 50%-60%,” kata Zafrullah.
Adapun total peserta yang kembali ke garis finish, jumlahnya sekitar 80%.
Sisanya, banyak yang “melarikan” diri, kembali ke rumah tanpa melapor panita.
Mengayuh sepeda ratusan kilometer bukan hal baru bagi saya.
Tahun 1988, saya pernah mengayuh Jakarta-Jogja dengan beberapa teman.
Waktu itu, teknologi sepeda belum secanggih sekarang sehingga kami harus berbekal berbagai kunci pas, pelor atau gotri karena belum menggunakan bearing hingga gemuk untuk melumasinya.
Namun baru kali ini saya mengikuti Audax.
Pelajaran berharga bagi saya untuk tidak mengabaikan teknologi agar tak menyimpang dari jalur sehingga banyak waktu yang terbuang.
Di parkiran Citos, antrean untuk foto di photo booth mengular.
Saya memilih bersenda gurau dengan beberapa teman peserta dan juga panitia.
Walau lelah menggowes 223 km, hari itu saya sudah bersenang-senang dari atas sadel sepeda Surly kesayangan.
(Christiantoko, mantan wartawan-mantan eksekutif-mantan eselon 1 pemerintahan. Senang bersepeda)