Berita Nasional

Pakar Hukum UI dan Serikat Pekerja Nilai Permenaker JHT Tak Miliki Ketetapan Hukum

PP No 37 Tahun 2021 yang menjadi dasar hukum JKP merupakan aturan turunan dari UU No 11 tahun 2022 Tentang Cipta Kerja.

Editor: Feryanto Hadi
Warta Kota/Muh Azzam
Ribuan buruh atau pekerja di Kabupaten Karawang, Jawa Barat mengikuti aksi unjuk rasa untuk menolak pencairan penjaminan hari tua (JHT) usia 56 tahun di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Jakarta, pada Rabu (16/2/2022). 

WARTAKOTALIVE.COM, DEPOK – Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI), Aloysius Uwiyono, menyebutkan revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang menjelaskan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan baru bisa cair saat peserta iuran memasuki usia 56 tahun, menyimpang dari aturan yang lebih tinggi, yakni Undang-undang (UU) Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). 

Dalam Pasal 37 atat 3 UU SJSN, JHT dapat diberikan sebagaian sampai batas tertentu kepada peserta yang telah membayar iuran atau kepersertaan minimal 10 tahun.

“Maka harus diberikan kepada buruh, tidak harus menunggu umur 56 tahun. Kalau dalam Permenaker yang baru ini kan harus menunggu sampai 56 tahun. Maka ketentuan ini bertentangan dengan UU SJSN pasal 37 ayat 3,” kata Aloysius saat dihubungi pada Rabu (16/2/2022), malam.

Sementara di sisi lain, Pasal 5 Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 menyebutkan dana JHT hanya bisa diambil ketika pekerja sudah memasuki masa pension atau usia 56 tahun, sekalipun peserta mengundurkan diri atau terkena PHK

Baca juga: Cerita Buruh Bekasi Soal JHT: Itu Uang Kami Kenapa Harus Nunggu 56 Tahun?

Ia menjelaskan, dalam hirarki peraturan perundang-undangan, ketentuan yang lebih rendah seperti Permenaker tidak boleh bertentangan dengan UU diatasnya.

Jika bertentangan, peraturan yang ketentuannya lebih rendah dinyatakan batal.  

Secara sederhana, jikalau UU SJSN memperbolehkan pengambilan JHT dan harus diambil saat umur 56 tahun, maka Pemenaker Nomor 2 Tahun 2022 dapat dibenarkan.

Namun, jika ada ketentuan yang membuka kemungkinan pengambilan JHT pada masa kerja 10 tahun, maka harus diambil dalam 10 tahun. “Intinya, ketentuan-ketentuan di bawah harus sesuai dengan UU SJSN,” sambung Aloysius. 

Disamping merevisi aturan pengambilan waktu JHT, Kemnaker juga mengadakan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Progam ini dinilai sebagai upaya tambal sulam pasca lahirnya aturan penundaan pencairan dana JHT hingga pekerja berusia 56 tahun.

Nantinya, JKP akan diberikan setiap bulan selama enam bulan kepada korban PHK. 

Menanggapi hal tersebut, Aloysius menilai JHT dan JKP tak bisa dijadikan satu kesatuan karena pelaksanaan JHT berawal dari UU SJSN, sementara Peraturan Pemerintah (PP) No 37 Tahun 2021 yang menjadi dasar hukum JKP adalah aturan turunan dari UU No 11 tahun 2022 Tentang Cipta Kerja.

Seperti diketahui, UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formal oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan dilarang menerbitkan peraturan pelaksanaan baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. 

“Karena Permenaker ini kan pelaksanaan dari UU SJSN, sementara UU SJSN gak ada kaitannya dengan UU Cipta Kerja, kalau mengaitkan berarti ya batal. Karena menurut keputusan MK kan gak boleh mengatur ketentuan-ketentuan baru selama kalau mengaitkan dengan JKP,” jelasnya. 

Oleh sebab itu, Aloysius mengatakan, Pemenaker Nomor 2 Tahun 2022 harus dihapus dan kembali merujuk pada aturan JHT sebelumnya, yakni UU SJSN.

Baca juga: Buruh Bekasi Gantungkan Hidup dari Dana JHT, tak Mau Pencairan Ditahan saat PHK

“Kalau aturannya memang tidak memungkinkan pembuatan Permenaker yang ternyata merugikan pekerja ya dicabut saja. kembali berlaku ketentuan tentang jaminan UU SJSN yang 10 tahun itu, bukan yang 56 tahun,” paparnya. 

Sumber: Warta Kota
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved