Gugat Presidential Threshold 20 Persen ke MK, Gatot Nurmantyo Takut Indonesia Punah

Gugatan Gatot menyangkut ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold sebesar 20 persen.

KOMPAS.com/Andi Hartik
Bekas Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo melakukan uji materiel terhadap UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Bekas Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo melakukan uji materiel terhadap UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan Gatot menyangkut ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold sebesar 20 persen.

Dalam persidangan perkara nomor 70/PUU-XIX/2021 tersebut, Gatot mengaku khawatir dengan nasib Indonesia jika terus menerapkan presidential threshold.

Baca juga: Airlangga Hartarto Diminta Tiru Gaya Komunikasi Dedi Mulyadi Tingkatkan Elektabilitas

Mengutip pernyataan Bank Dunia, Gatot menyebut Indonesia saat ini sedang menuju proses kepunahan.

"Yang saya khawatirkan adalah pernyataan dari Bank Dunia, bahwa Indonesia proses menuju kepunahan," kata Gatot dalam sidang yang disiarkan di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi, Selasa (11/1/2022).

Sebab, menurut Gatot, kebijakan Pemerintah Indonesia yang dipimpin Presiden Joko Widodo sejak 2014 sampai sekarang, telah memperlihatkan keretakan, seperti misalnya kelompok masyarakat yang terbelah.

Baca juga: Jelang MotoGP Mandalika, Jokowi: Jangan Ada Lagi Kesalahan Membongkar Logistik Tanpa Seizin Tim

Namun bukannya mempersatukan, menurut Gatot, kebijakan yang diambil setelahnya justru membuat keretakan tersebut kian menjadi.

"Kebijakan-kebijakan yang diberikan sejak 2014 sudah terjadi keretakan, tetapi kebijakan yang ada semakin hari, bukannya merekatkan tapi meretakkan.

"Ini terlihat, bangsa ini terpecah menjadi dua, dan tidak ada harapan bagaimana suatu negara terbelah, dan tidak ada harapan ke depannya," tutur Gatot.

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 13 Januari 2022, Pasien Positif Tambah 793 Orang, 385 Sembuh, 5 Wafat

Gatot menggugat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang selama ini diterapkan, dengan tujuan supaya calon pemimpin di ajang pesta demokrasi 2024 bukan sosok yang itu-itu saja, di mana hanya diramaikan oleh dua kubu koalisi partai politik.

"Yang kami sampaikan, tujuannya adalah kami ingin menyelamatkan anak-anak kami semuanya dan cucu kita semua di generasi mendatang," ucap Gatot.

Gatot didampingi Refly Harun selaku kuasa hukum, mengajukan pokok permohonan yang hanya menyangkut satu pasal, yakni pasal 222 UU 7/2017.

Baca juga: Epidemiolog: Kalau Enggak Ada Vaksin, Omicron akan Berdampak Seperti Varian Delta

Bunyinya, 'Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.'

Menurut kubu Gatot, pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan tiga pasal pada UUD 1945, yakni pasal 6 Ayat (2), pasal 6a Ayat (2), dan pasal 6a Ayat (5).

Bunyi dalam tiga pasal UUD dinilai sudah jelas mengatur hak konstitusi kepada partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sepanjang menjadi peserta pemilihan umum.

Baca juga: WHO Bilang Pemberian Vaksin Booster yang Sama Seperti Dosis Lengkap Bukan Langkah Tepat

Dalam pasal-pasal tersebut, tak ada ketentuan yang mengatakan soal keharusan 20 persen atau harus memenuhi ambang batas tertentu.

"Sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatakan harus 20 persen, atau harus memenuhi ambang batas tertentu."

"Dan itu sekali lagi sudah merupakan close legal policy yang tidak terkait tata cara, tapi substansi."

Baca juga: Terapkan Transparansi, PBNU Bakal Publikasikan Laporan Keuangan Secara Berkala

"Untuk itu seharusnya tidak ada yang namanya ambang batas," tegas Refly.

Refly menilai presidential threshold 20 persen membatasi kemunculan calon pemimpin di masa depan, serta membatasi kemewahan rakyat memilih pemimpin.

"Presidential threshold ternyata membatasi munculnya calon-calon pemimpin ke depan."

Baca juga: Tak Setuju Seragam Satpam Diganti, Legislator Gerindra: Kalau Perlu Dibikin Lebih Mirip Polisi Lagi

"Dan dalam tanda kutip kemewahan bagi pemilih atau rakyat Indonesia untuk dapat memilih calon-calon presiden," beber Refly.

Dalam petitum permohonannya, Gatot meminta MK:

1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. (Danang Triatmojo)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved