Berita Nasional

Target Pertumbuhan Ekonomi 2021 Tak Tercapai, Heri Gunawan Optimistis 2022 Indonesia Bisa Bangkit

Heri Gunawan menilai, ada beberapa faktor pendukung yang bisa dioptimalkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2022

Editor: Feryanto Hadi
Ist
Anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan 

Namun, lanjutnya, perlu ditegaskan bahwa sinergitas Bank Indonesia dalam KSSK tersebut tanpa harus mengurangi independensinya.

"Kebijakan Bank Indonesia selama 2021 juga patut diberi apresiasi. Arah bauran kebijakan Bank Indonesia terbukti memberikan andil terhadap terjaganya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi," ujar Hergun.

Menurut data, selama 2021 BI kembali mengucurkan Quantitative Easing (QE) sebesar Rp141,19 triliun. BI juga melanjutkan pembelian SBN untuk pendanaan APBN sebesar Rp201,32 triliun. Selain itu, BI juga menurunkan suku bunga acuan (BI7DRR) menjadi 3,5 persen atau yang terendah sepanjang sejarah sejak Februari 2021 hingga Desember 2021.

Hergun berharap pada 2022 nanti, arah bauran kebijakan Bank Indonesia tetap ditujukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas. Sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau, tetap untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," jelasnya.

Ia melanjutkan, permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah belum pulihnya pertumbuhan kredit perbankan.

Perlu diketahui, kredit perbankan dapat diibaratkan sebagai arus darah bagi perekonomian. Kredit memasok dana bagi kebutuhan berproduksi dan berkonsumsi.

Target pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan dukungan kredit perbankan yang tinggi juga, baik berupa kredit konsumtif, kredit modal kerja, maupun kredit investasi.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan kredit pada awal Desember 2021 telah mencapai 3,98 persen dan diprediksi akan mencapai 4,5 persen (yoy) pada akhir tahun 2021.

“Prediksi pertumbuhan kredit 2021 yang mencapai 4,5 persen merupakan capaian yang lebih baik dibanding tahun 2020 yang terkontraksi 2,41 persen. Namun, capaian tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan kredit sebelum Covid-19, dimana pada 2019 tumbuh sebesar 6,08 persen dan 2018 sebesar 11,7 persen,” tambahnya.

Selain itu, lanjutnya, keperpihakan terhadap UMKM juga perlu diwujudkan dengan meningkatkan porsi kredit untuk UMKM.

Dimana sektor UMKM diharapkan menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, disamping banyak menyerap tenaga kerja dan turut membangkitkan bisnis domestik.

"Saat ini porsi kredit untuk UMKM baru mencapai 20 persen dari total kredit perbankan, sisanya belum mendapatkan akses kredit ke perbankan. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding negara-negara lain."

"Singapura memiliki porsi kredit untuk UMKM sebesar 39 persen, Malaysia 50 persen, Thailand di atas 50 persen, dan Korea Selatan mencapai 81 persen. Tahun 2022, diharapkan pemerintah maupun sektor finansial harus mampu melihat peluang ini, memberikan akses kredit perbankan kepada UMKM dapat menjadi potensi yang menjanjikan asalkan industri keuangan jeli mengidentifikasi UMKM yang berpotensi tumbuh dan berkembang. Presiden Jokowi menargetkan porsi kredit UMKM akan mencapai 30 persen pada 2024," tambahnya.

Peran lain yang tidak kalah penting ialah kebijakan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

"Ada tiga kebijakan penting LPS, yakni mengimplementasikan program penjaminan simpanan yang konsisten dan kredibel, menurunkan tingkat bunga penjaminan sehingga mendorong intermediasi perbankan, serta mengelola dana penjaminan secara prudent dan menjaga likuiditas agar dapat menjalankan fungsi penjaminan dan resolusi bank apabila diperlukan setiap saat," paparnya.

Baca juga: Parekraf Jadi Sektor Andalan di Masa Pandemi & Melambatnya Ekonomi, Kadin Puji Kinerja Sandiaga Uno

Pada akhir 2020 Tingkat Bunga Penjaminan di level 4,5 persen untuk simpanan dalam rupiah di Bank Umum.

Pada kuartal I-2021, LPS menurunkan menjadi 4,25 persen. Kemudian pada Mei 2021 menurunkan lagi menjadi 4,00 persen. Dan pada September 2021, kembali menurunkan sebesar 50 bps sehingga menjadi 3,5 persen.

“Tahun 2022 merupakan batas terakhir berlakunya relaksasi defisit APBN melebihi 3 persen. Karena itu, ekonomi 2022 harus bisa tumbuh tinggi dengan basis penerimaan pajak yang lebih kuat untuk menyongsong tahun 2023,” pungkasnya.

Sumber: Warta Kota
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved