Ketua KPK Minta Presidential Threshold Dihapus Agar 'Bohir' dan 'Balas Budi' Politik Lenyap
Firli mengatakan, KPK telah mengkaji penyebab korupsi atas dasar pencarian dana untuk pengembalian modal saat kampanye.
Kepala daerah, kata Firli, menggunakan kuasanya untuk menciptakan birokrasi yang korup untuk membalas budi si 'bohir'.
"Karena dari mana lagi mereka mencari pengganti itu kalau bukan dari kas negara?" Cetus Firli.
Firli juga menyebut biaya politik yang mahal untuk mencari dana kepada 'bohir', bukan cuma saat kampanye.
Baca juga: Tersangka Teroris yang Diciduk di Sumsel Pelatih Bela Diri Anggota Jamaah Islamiyah
Beberapa transaksional yang biasa disebut dengan mahar juga masih sangat mahal dalam berpolitik di Indonesia.
Dia mencontohkan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Oku) yang tidak mempunyai bupati definitif saat ini.
Firli menyebut, dari sembilan partai politik yang ada di Oku, tidak ada satu pun mengajukan calon bupati pengganti sampai saat ini.
Baca juga: Anak di Bawah Usia 18 Tahun Belum Boleh Donor Darah, Apalagi Plasma Konvalesen
"Kenapa ini terjadi? Ya karena politik transaksional dengan mahar."
"Persoalannya politik transaksional akan menciptakan kultur kepemimpinan yang koruptif karena akan membutuhkan modal sangat besar," ulas Firli.
Atas dasar itulah, Firli meminta presidential threshold di Indonesia menjadi nol persen.
Baca juga: 30.761 Polisi Bakal Amankan Ibadah Natal di Gereja Protestan, 13.821 Personel di Gereja Katolik
Menurutnya, biaya politik yang mahal membuat potensi korupsi yang dilakukan kepala daerah meningkat.
"Selain adanya indikator memperkaya diri, upaya 'balik modal' dan 'balas budi' pada donatur oleh para kepala daerah dan legislatif setelah terpilih, membuat KPK merasa penting bersikap."
"Sehingga pemberantasan korupsi bisa diselesaikan dari hulu ke hilir," beber Firli. (Ilham Rian Pratama)