Berita Nasional
Menguak Fenomena Buzzer di Indonesia, Mulai Besaran Gaji, Sistem Kerja hingga Tebar Propaganda
Informasi seputar gaji buzzer di Indonesia pernah diungkap oleh sebuah riset khusus mengenai buzzer yang pernah diterbitkan University of Oxford
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA--Dalam era keterbukaan informasi, media sosial punya peran besar dalam mempengaruhi perilaku seorang.
Hal ini menjadi peluang orang atau kelompok untuk meraup pundi-pundi uang dengan salah satunya menjadi buzzer.
Peran buzzer diyakini, sedikit atau banyak, berpengaruh kepada opini yang sengaja diciptakan.
Dan sudah menjadi rahasia umum, dalam persaingan politik saat ini, peran buzzer laris manis.
Baca juga: Korban Pencurian di Pulogadung Ilfeel saat Bikin Laporan, Petugas Malah Ungkit Banyaknya Kartu ATM
Sejumlah pegiat media sosial bahkan dengan terang-terangan mendapat bayaran besar ketika mereka menjad buzzer demi kepentingan politik tertentu.
Lalu banyak yang bertanya-tanya, berapa gaji buzzer dan bagaimana sistem kerjanya?
Tujuan buzzer dalam dunia internet sendiri cukup vital.
Hal itu lantaran penggunaan buzzer untuk tujuan tertentu semakin marak hingga mengundang perdebatan.
Tak sedikit yang blak-blakan, ingin mencari informasi lowongan jadi buzzer.
Informasi seputar gaji buzzer di Indonesia pernah diungkap oleh sebuah riset khusus mengenai buzzer yang pernah diterbitkan University of Oxford pada tahun 2019 lalu.
Baca juga: KPAI Tanggapi Desakan Hukuman Kebiri untuk Herry Wirawan yang Telah Rudapaksa Belasan Santriwati
Penelitian ini berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”.
Dalam laporan ini disebutkan harga yang dibanderol para buzzer.
Di Indonesia, penggunaan buzzer bersifat kontrak temporer.
Artinya gaji yang didapat juga sesuai dengan nilai kontrak yang disepakati.
Lantas, berapa biaya buzzer di Indonesia?
Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa buzzer di Indonesia dipekerjakan dengan sistem kontrak temporer dengan nilai antara Rp 1 juta-Rp 50 juta.
Baca juga: Jawab Tudingan Giring Soal Formula E, Anies: Saya Dapat Amanat Urusin Jakarta, Bukan Buzzer
Cara kerja buzzer Indonesia
Kebanyakan buzzer di Indonesia menggunakan cara-cara disinformasi dan media yang dimanipulasi, serta memperkuat konten.
Dalam laporan ini dijelaskan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori pemanfaatan tim buzzer berkapasitas rendah.
Artinya, praktik ini melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum, tetapi menghentikan aktivitas sampai siklus pemilihan berikutnya.
“Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri,” tulis penelitian tersebut, dikutip dari Kompas.com dalam artikel Berapa Gaji Buzzer di Indonesia?, Minggu (12/12/2021).
Baca juga: Cyber Army Ulama dan Anies Baru Ide, MUI DKI Sindir Buzzer yang Kepanasan, Denny Tegaskan Tak Takut
Fungsi buzzer
Adapun secara umum, tipologi perpesanan dan strategi valensi yang digunakan buzzer saat terlibat dalam percakapan dengan pengguna online dilakukan untuk beberapa tujuan.
Pertama, menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai.
Kedua, menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor.
Ketiga, mengalihkan percakapan atau kritik dari masalah penting. Keempat, memotori pembagian dan polarisasi. Kelima, menekan partisipasi melalui serangan atau pelecehan pribadi.
Dalam penelitian itu, buzzer disebut sebagai pasukan siber, yakni instrumen pemerintah atau aktor partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online.
Baca juga: Cacian, Fitnah dan Serangan dari Buzzer Bertubi Menghantam, Ariza: Pak Anies Selalu Tenang dan Bijak
Penelitian ini secara komparatif memeriksa organisasi formal pasukan siber di seluruh dunia dan bagaimana para aktor ini menggunakan propaganda komputasi untuk tujuan politik.
Dalam laporan tersebut, pihaknya memeriksa aktivitas pasukan dunia maya di 70 negara, termasuk Indonesia.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya variasi di berbagai negara mengenai skala dan rentang waktu pemanfaatan tim buzzer.
Baca juga: Viral Abu Janda Akui Dibayar Mahal Kubu Jokowi Sebagai Buzzer atau Influenzer, Apakah Uang APBN?
Di beberapa negara, tim muncul untuk sementara waktu di sekitar pemilihan atau untuk membentuk sikap publik seputar acara politik penting lainnya.
Fenomena Buzzer menurut Said Didu
Sebelumnya, mantan Sekretaris BUMN, Said Didu menanggapi aksi para buzzer yang kerap menyerang siapapun yang memberikan kritik kepada pemerintah dan mengangkat isu-isu yang berpotensi memecah belah persatuan.
Said Didu menilai, aksi para buzzer tersebut sudah keterlaluan dan bisa merusak iklim demokrasi.
Said Didu bercerita bagaimana awal mula penggunaan kelompok buzzer ini mulai marak, tepatnya pada saat Joko Widodo hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama pada 2012 silam.
Saat itu, Tim Jokowi-Ahok mengerahkan pasukan medsos bernama Jasmev, atau Jokowi Ahok Social Media Volunteer.
"Saya pikir publik juga tahu apa sih awal penggunaan buzzer, itu untuk penggunaan kekuasaan. Itu diawali pada 2012 saat Pak Jokowi berniat maju sebagai gubernur. Kita lihat bagaimana buzzer dimanfaatkan sedemikian rupa, dan itu berhasil," ujar Said Didu dalam wawancara bersama wartawan senior Hersubeno Arief,
Baca juga: Said Didu Ingatkan Anies, Ada Arahan Kakak Pembina kepada Buzzer Belokkan Isu Kegagalan Pusat ke DKI
Keberhasilan buzzer Jokowi-Ahok kala itu yang dianggap turut memenangkan pasangan itu, menurut Said Didu, kemudian dilegitimasi bahwa peran buzzer sangat penting untuk memberikan pengaruh kepada publik.
Bahkan, menurut Didu, para buzzer yang ada saat ini pun memang dipelihara dan dibayar untuk tujuan tertentu.
"Nah sehingga metodologi kesuksesan itu, bagaimana sejauh mana buzzer itu mengkomunikasikan apa yang diinginkan. kemudian buzzer seolah-olah diformalkan pemerintah. Pemerintah memang memelihara dan memberikan anggaran kepada buzzer,; ungkapnya.
Hanya saja, makin lama menurut Didu rakyat makin sadar bahwa informasi-informasi yang disampaikan para buzzer hanya bersifat kepentingan semata.
Tidak jarang, buzzer digunakan untuk menutupi kekurangan dari pemerintah agar dilihat baik oleh rakyat yang mudah dipengaruhi.
Kemudian muncul perlawanan dari publik, yang tanpa dibayar.
"Sebenarnya buzzer ini gampang sekali dipatahkan. Karena informasi-informasi, kemampuan mereka sama sekali nggak ada. Nah kadang-kadang kita ketawa melihat. Buzzer seperti ini copy paste.
Dampaknya sekarang adalah pengusaha merekayasa alat untuk memecahbelah bangsa. Sehingga kata-kaya kasar semua keluar, kata-kata kasar diberikan kepada yang nggak sejalan dengan pemerintah," jelas Didu.
Didu menambahkan, ada fenomena menyedihkan selama para buzzer ini bergerak menyerang siapapun yang mengkritik pemerintah.
Apabila buzzer dilaporkan, kata Didu, tidak ada proses hukum lebih lanjut dari pihak berwajib seolah menegaskan bahwa buzzer memang dipelihara untuk menciptakan kegaduhan.
"Problemnya adalah ada keberpihakan buzzer dari pengusaha. Buzzer kalau dilaporkan tidak pernah diproses, tapi kalau bukan buzzer langsung diproses. Yang menariknya adalah keberpihakan pemilik konten (warganet), yang kadang-kadang juga memihak (apa yang disebarkan buzzer). Saya kan salah satu korban buzzer. Pada saat dia laporkan orang yang tidak sejalan dengan pemerintah, itu langsung diproses," imbuhnya
Di sisi lain, menurut Didu, keberadaan para buzzer yang dipelihara itu menunjukkan ketidakmampuan pemeritah untuk menyampaikan program-program maupun mendapatkan kepercayaan rakyat melalui kementerian atau birokrasinya.
"Menurut saya Buzzer telah merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampaknya, saya lihatnya sepertinya permintah sudah tidak yakin atas kemampuan birokrasinya untuk menyampaikan programnya.
Buzzeer tugasnya menyampaikan pemerian harapan palsu kepada rakyat sekaligus mematikan orang-orang yang mematikan data sebenarnya kepada rakyat," jelasnya.
"Jadi menurut saya, sekarang itu buzzer adalah tempat penempatan para pendukung yang tidak bisa ditampung di pemerintahan, kemudian di BUMN, maka dibikinkan lahan pekerjaan buzzer dan influencer itu," Didu menambahkan.
Meski demikian, Didu bersyukur kini sebagian masyarakat mulai menggunakan pikiran dan akal sehatnya dan mulai tidak percaya dengan informasi-informasi yang disampaikan oleh para buzzer dalam mengaburkan kebenaran.
Didu menyebut, para buzzer kini hanya 'menunggu ajalnya'.
"Saya katakan makin hari saya tiap di media sosial, kesadaran rakyat semakin tinggi. Jadi saya hanya memperkirakan buzzer ini sebentar lagi umurnya dan rakyat juga sudah tidak percaya apa yang sudah disampaikan buzzer," tandasnya
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunSolo.com