Wakil Ketua Komisi III DPR: Tidak Semua Korupsi Harus Berujung Hukuman Mati
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengkaji kemungkinan menuntut hukuman mati kepada koruptor.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengkaji kemungkinan menuntut hukuman mati kepada koruptor.
Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni, hukuman mati bisa dijatuhkan jika tindakan yang dilakukan memiliki unsur tindak pidana korupsi yang berat, dengan kerugian negara yang besar.
“Terkait hukuman mati bagi koruptor, secara pribadi saya mendukung, namun tentunya harus melalui mekanisme yang jelas."
Baca juga: KRONOLOGI Cekcok Ibu Arteria Dahlan di Bandara, Anggiat Pasaribu Ternyata Pengidap Leukimia
"Tidak semua korupsi harus berujung hukuman mati."
"Jika memang kasusnya begitu parah dan kerugian negara sangat besar, maka tentu saja opsi hukuman mati bisa dipertimbangkan."
"Jadi perlu disesuaikan dengan kasusnya," kata Sahroni kepada wartawan, Kamis (25/11/2021).
Baca juga: Diperiksa Polisi karena Mimpi Bertemu Rasulullah, Haikal Hassan: Terjadi Saat Anak Saya Meninggal
Sahroni juga menyoroti efektivitas dari hukuman mati ini untuk memberikan efek jera pada pelaku.
Menurutnya, perlu dilihat juga apakah hukuman mati benar-benar bisa menghentikan aksi korupsi di Indonesia.
“Yang kemudian penting juga adalah efektif atau tidaknya hukuman mati untuk menimbulkan efek jera pada pelaku."
Baca juga: AHY: Moeldoko Tidak akan Berhenti Sampai Keinginannya Tercapai, Bahkan Menghalalkan Segala Cara
"Karena meskipun ada aturannya, hingga saat ini pasal mengenai hukuman mati tidak pernah benar-benar dijatuhkan,” tuturnya.
Sahroni menilai hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana mengembalikan aset negara melalui aturan money loundring atau pencucian uang.
“Jadi selain pelakunya ditindak, kita juga perlu memastikan bahwa aset negara bisa dikembalikan."
"Caranya dengan penerapan aturan money loundring dan pencucian uang yang tegas dan efektif, sehingga kerugian negara bisa diminimalisir,” ulasnya.
Memiskinkan Tak Berikan Efek Jera
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan alasan ingin menuntut hukuman mati kepada koruptor.
Ia menilai berbagai upaya penegakan hukum seperti memiskinkan hingga tindakan represif lain, tak juga memberikan efek jera bagi pelaku.
"Upaya tersebut ternyata belum cukup memberantas kejahatan korupsi."
Baca juga: Banyak Langgar Aturan, Polri Diminta Hentikan Rekrutmen Mantan Pegawai KPK Jadi ASN
"Karena itu kejaksaan merasa perlu melakukan terobosan hukum, dengan menerapkan hukuman mati," kata Burhanuddin dalam diskusi daring, Kamis (18/11/2021).
Ia mengatakan, selama ini pihaknya telah mencoba memberikan efek jera, misalnya memberikan tuntutan berat sesuai tingkat kejahatannya.
Kemudian, kata dia, pihaknya juga mengubah pola pendekatan follow the suspect (tersangka) menjadi follow the money dan follow the asset untuk mendalami perkara. Hal itu kemudian akan berujung pada perampasan aset.
Baca juga: Fraksi PDIP Geser Herman Hery ke Komisi VII DPR, Bambang Pacul Jadi Ketua Komisi III
"Memiskinkan koruptor dengan melakukan perampasan aset koruptor melalui asset recovery."
"Sehingga, penegakan hukum tidak hanya pemidanaan badan, tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan secara maksimal," tuturnya.
Jaksa, kata dia, juga telah berupaya menyeleksi pemberian justice collaborator (JC) bagi para koruptor yang terjerat.
Baca juga: KPK: Korupsi Pilihan Hidup, Hari Ini Enggak, Besok Belum Tentu
Upaya hukum lain melalui sistem keperdataan juga sempat diupayakan kepada koruptor yang meninggal dunia atau diputus bebas, namun ditemukan ada kerugian keuangan negara dalam peristiwa tersebut.
Namun demikian, kata dia, semua upaya tersebut belum dapat memberantas kejahatan korupsi di Indonesia.
Karena itu, pendekatan yang lebih ekstrem untuk mengupayakan tuntutan hukuman mati kepada terdakwa korupsi, tengah dikaji dan diupayakan oleh Kejaksaan.
Baca juga: Wakil Ketua Komisi II DPR: Otoritas Penentuan Jadwal Pemilu 2024 Mutlak Berada di Tangan KPU
"Terkait penerapan hukuman mati bagi koruptor ini yang pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan, tentunya akan menimbulkan pro kontra."
"Keberadaan sanski pidana yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting di dalam proses pemberantasan korupsi guna menghadirkan efek jera," jelasnya.
Apalagi, kata dia, jalan untuk menerapkan hukuman mati tersebut diperbolehkan dalam Undang-udang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca juga: Dankor Brimob Bakal Dijabat Jenderal Bintang Tiga, Markas Hingga Pasukan Ditambah
Sehingga, terobosan hukum dinilainya dapat dilakukan untuk menyelesaikan perkara masalah korupsi di Indonesia.
Ia mencontohkan, sanksi itu termaktub dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor, yang merumuskan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman pidana mati.
Misalnya, kata dia, dana-dana yang diperuntukkan untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, hingga penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 18 November 2021: Suntikan Pertama 132.073.986, Dosis Kedua 86.335.923
Kemudian, ia juga mengatakan frasa pengulangan tindak pidana sebagai syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor dikaji ulang.
Burhanuddin merujuk pada konsep residivis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang memaknai pengulangan sebagai perbuatan pidana setelah dikembalikan ke masyarakat.
Jika diterapkan dalam tindak pidana korupsi, Burhanuddin menilai konsep residivis itu tidak akan berjalan efektif dan menimbulkan efek jera.
Baca juga: Epidemiolog UI: Kita Bisa Tekan Lonjakan, Tak Mungkin Ada Gelombang Ketiga, Jangan Terlalu Paranoid
Sebab, koruptor dapat melakukan korupsi di berbagai tempat dengan modus yang berbeda.
"Jika pelaku sudah diputus dengan hukuman penjara dan pelaku tersebut telah melakukan perbuatan korupsi di tempat lain, apakah terhadap pelaku tersebut dapat dikenakan pengulangan tindak pidana dalam korupsi?"
"Isu hukum ini patut kita renungkan bersama dan kaji lebih dalam," ucapnya.
Baca juga: Relawan Jokowi: Menteri yang Sudah Berpikir Jadi Capres-Cawapres Tidak Tahu Malu dan Tak Berakhlak
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengkaji kemungkinan menuntut hukuman mati kepada koruptor.
Penerapan tuntutan hukuman mati ini ia nilai tepat untuk memberikan rasa keadilan di masyarakat.
Pernyataan ini disampaikan Burhannudin saat melakukan briefing bersama Kajati, Wakajati, Kajari, dan Kacabjari, dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Kamis (28/10/2021).
Baca juga: BREAKING NEWS: Tes PCR Turun Harga Jadi Rp 275 Ribu untuk Jawa-Bali, Rp 300 Ribu di Pulau Lain
"Bapak Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati, guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud."
"Tentunya penerapannya harus tetap memperhatikan hukum positif yang berlaku, serta nilai-nilai hak asasi manusia," kata Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer, Kamis (28/10/2021).
Jaksa Agung, kata Leo, mempertimbangkan tuntutan hukuman mati, setelah melihat penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung.
Baca juga: Penyuntikan Dimulai Tahun Depan, Pemerintah Kaji Kombinasi Merek Paling Ideal untuk Vaksin Booster
Dua yang menjadi sorotan adalah kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri.
"Jiwasraya dan Asabri sangat memprihatinkan kita bersama, di mana tidak hanya menimbulkan kerugian negara kasus Jiwasraya Rp 16,8 triliun dan Asabri Rp 22,78 triliun."
"Namun sangat berdampak luas, baik kepada masyarakat maupun para prajurit," ujarnya.
Baca juga: Apa Kabar Rencana Rekrutmen 57 Mantan Pegawai KPK Jadi ASN? Polri: Masih Diproses
Leo menuturkan, Jiwasraya dan Asabri menyangkut hak banyak pegawai maupun prajurit yang menggantungkan jaminan hidup hari tuanya.
Namun, dana itu justru dikorupsi oleh oknum tertentu.
"Perkara Jiwasraya menyangkut hak-hak orang banyak dan hak-hak pegawai dalam jaminan sosial."
Baca juga: Pemerintah Sudah Habiskan Rp 28,2 Triliun untuk Belanja Vaksin Covid-19
"Demikian pula perkara korupsi di ASABRI, terkait dengan hak-hak seluruh prajurit."
"Di mana ada harapan besar untuk masa pensiun dan untuk masa depan keluarga mereka di hari tua," paparnya.
Selain itu, kata Leo, Jaksa Agung juga membuka kemungkinan menuntut vonis selain hukuman mati kepada koruptor.
Baca juga: Pengamat: Kalau Menentukan Jadwal Pemilu Saja Masih Ragu, Berarti KPU Tidak Mandiri
"Bapak Jaksa Agung juga menyampaikan kemungkinan konstruksi lain yang akan dilakukan."
"Yaitu bagaimana mengupayakan agar hasil rampasan juga dapat bermanfaat langsung."
"Dan adanya kepastian, baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang terdampak korban dari kejahatan korupsi," terang Leo. (Chaerul Umam)