Polemik Partai Demokrat Hingga Yusril Ihza Mahendra Jadi Kuasa Hukum, Begini Tanggapan Fahri Bachmid

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Dr Fahri Bachmid turut angkat bicara mengenai Polemik Partai Demokrat.

Editor: PanjiBaskhara
Istimewa
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Dr Fahri Bachmid turut angkat bicara mengenai Polemik Partai Demokrat. 

”Ini murni masalah hukum yang tidak perlu ditafsirkan atau sengaja membangun tafsir yang bercorak politis."

"Dengan demikian, sangatlah elok, jika segala berdebatan sedapat mungkin diorientasikan pada perdebatan yang jauh lebih akademik dan konstitusional, dan bukan perdebatan kusir yang bersifat politis,” tegasnya.

Fahri Bachmid, menambahkan, permohonan JR AD/ART Partai Demokrat era AHY ke MA tersebut merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas melalui suatu terobosan hukum.

Saat Yusril Ihza Mahendra ajukan permohonan ini ke MA, lanjut Fahri, secara sadar harus mahfum bahwa masalah AD/ART partai politik dari sisi peraturan perundang-undangan dalam hal penormaan, memang luput menjangkau serta mengatur soal masalah pelembagaan pranata pengujian norma AD/ART parpol tersebut.

”Karena UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota"

"Tak ada satupun perintah bersifat imperatif dan mewajibkan bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan, oleh norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya," papar Fahri.

Kata Fahri, jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum legal vacuum yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU di atasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan breakthrough secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang.

Fahri juga menilai, proses pengajuan judicial review AD/ART Partai Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi.

Yakni menjadi terobosan hukum rule breaking penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh pihak MA RI.

Sehingga, lanjutnya, secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan.

Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri.

Ataupun ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum rechtsverwarring itulah urgensi dan pentingnya dari lagal action ini sesungguhnya.

”Berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, maka idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART partai politik harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum."

"Sebab, partai politik berkedudukan sebagai badan hukum publik sesuai putusan MK. Pasal 3 ayat (1) UU 2/2011 menyebutkan partai politik harus didaftarkan ke kementerian untuk menjadi badan hukum,” jelasnya.

Fahri Bachmid, menjelaskan, Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD/ART, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham 34/2017) menyebutkan bahwa pendaftaran partai politik adalah pendaftaran pendirian dan pembentukan partai politik untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai politik.

Halaman
123
Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved