PPKM Darurat
Kisah Jasa Permak di Sentra Jahit Manggarai Coba Bertahan dengan Modal Harapan dan Mesin Jahit Jadul
“Selama penerapan PPKM, kantor pada tutup. Pekerja kantorannya nggak ada. Imbasnya ada di kita,” keluh Nursalim.
Menurut Nursalim, lima orang tukang jahit tersebut berasal dari dari daerah yang sama dengan dirinya. “Semua tukang jahit di sini dari Kebumen, mereka masih saudara sama saya,” kata Nursalim.
Lebih lanjut, ujar Nursalim, ia sudah tidak pulang ke kampung halaman selama lebih dari lima bulan.
Biasanya, tiap dua bulan sekali, Nursalim akan menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman.
“Anak sama istri saya di kampung. Lebih dari lima bulan saya gak pulang. Gak ada uang,” jelas Nursalim.
Di Ibu Kota, Nursalim tinggal seorang diri. Ia tinggal di rumah sewa yang lokasinya dekat dengan lapak jahit miliknya.
Selain tuntutan perut dan kiriman uang ke kampung halaman, ayah dari tiga orang anak ini harus membayar biaya sewa ganda yang mencakup bayar rumah dan sewa lapak.
Nursalim enggan untuk menyebut nominal yang harus ia keluarkan.
“Alhamdulillah semua ketutup sih walaup mepet,” ujarnya.
Tidak Naikkan Harga
Walau mengalami penurunan pendapatan, Nursalim mengaku tidak menaikkan harga dari jasa jahit yang ia tawarkan.
Ia terkadang menurunkan harga dan pernah menerima imbalan seikhlasnya.
“Malah kita turunin harganya, orang semua lagi pada susah.
Apalagi kalau sesama pedagang, gak enak kasih harga tinggi-tinggi,” ujar Nursalim.
Dalam menjalankan usahanya, Nursalim mematok harga Rp 10.000 untuk segala macam jasa potong celana maupun baju. Biaya untuk mengecilkan pakaian seharga Rp 20.000.
Sementara untuk rombak total seharga Rp 45.000 sampai Rp 50.000.