Kuasa Hukum Sudah Punya Dua Alat Bukti, Arist Merdeka Sirait Desak Polisi Amankan Anak Anggota Dewan
"Jadi semua alat bukti, paling tidak dua alat bukti juga cukup," kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait
Penulis: Rangga Baskoro | Editor: Dedy
WARTAKOTALIVE.COM, BEKASI --- Pihak Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendesak kepolisian segera mengamankan anak anggota dewan berinisial AT (21) yang diduga melakukan persetubuhan di bawah umur dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kepada bocah SMP berinisial PU (15).
Sejak kasusnya dilaporkan ke Mapolrestro Bekasi Kota pada Senin (12/4/2021) lalu, setidaknya kuasa hukum beserta orangtua korban telah mengumpulkan dua alat bukti.
"Jadi semua alat bukti, paling tidak dua alat bukti juga cukup," kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait saat dikonfirmasi, Selasa (27/4/2021).
Alat bukti pertama berupa hasil visum yang menunjukkan memar bekas tindak kekerasan fisik.
Diketahui bahwa PU kerap kali dipukul oleh AT apabila menolak untuk melayani pelanggan yang telah dipesan olehnya.
Bahkan PU juga terkena penyakit kelamin lantaran dalam sehari, ia dipaksa melayani dua hingga tiga orang laki-laki hidung belang.
"Dari kronologi itu terjadi kejahatan seksual yang sistematis dan kemudian visumnya juga jelas, karena mengakibatkan anak itu mengalami benjolan-benjolan atau istilahnya sejenis kista dan ketularan, terjangkit penyakit kelamin menular," tuturnya.
Alat bukti lainnya merupakan keterangan saksi-saksi dan korban yang telah tertuang di dalam berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian.
"Dari keterangan saksi juga, tetangga juga, kemudian dari keluarga korban," kata Arist.
Kejahatan luar biasa
Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Arist Merdeka Sirait menjelaskan kekerasan anak tergolong sebagai extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Hal itu guna menanggapi dugaan kasus persetubuhan di bawah umur dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menjerat anak anggota dewan berinisial AT (21).
Tercantum dalam Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Perpu Nomor 01 tahun 2016 mengenai perubahan kedua atas Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, junto Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
"Di situ ada istilahnya kejahatan luar biasa, itu (sanksi) minimal 10 tahun maksimal 20 tahun penjara," kata Arist.
Saat mewawancarai korban berinisial PU (15), Arist mengatakan bahwa korban juga sering mengalami kekerasan fisik dan penyekapan.