Wacana Penghargaan Badge Award kepada Netizen Tuai Pro dan Kontra, Polri: Masih Rencana
Rencana ini bertujuan memberikan penghargaan kepada masyarakat yang turut membantu tugas kepolisian.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Mabes Polri mewacanakan pemberian badge award kepada masyarakat yang aktif melaporkan konten yang diduga melanggar tindak pidana di media sosial, kepada pihak kepolisian.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menyampaikan, rencana ini bertujuan memberikan penghargaan kepada masyarakat yang turut membantu tugas kepolisian.
"Badge award ini merupakan penghargaan."
Baca juga: Vaksin Covid-19 Sinovac Tahap Pertama Sudah Habis, Pemerintah Kini Gunakan Hasil Olahan Bio Farma
"Jadi masyarakat membantu tugas-tugas Polri, kemudian kita merespons dengan memberikan penghargaan terhadap masyarakat yang membantu tugas Polri."
"Khususnya, tugas Direktorat Siber," kata Ahmad di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (17/3/2021).
Ahmad menuturkan, ada dua jenis pengaduan yang bisa dilaporkan masyarakat untuk membantu tugas pihak kepolisian.
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Akomodir Niat Cina Jadikan Indonesia Pusat Produksi Vaksin di Asia Tenggara
Yakni, masyarakat membuat informasi terbuka di media sosial ataupun menyampaikan langsung kepada pihak kepolisian.
"Apakah dia memberikan informasi di internet atau di dunia maya, ataupun memberikan informasi tentang kejahatan yang ada di internet."
"Tapi langsung diberikan kepada Polri."
Baca juga: Mudik Lebaran Bakal Dilarang Atau Tidak, Satgas Covid-19 Minta Masyarakat Bijak Menyikapinya
"Jadi ada dua, dia menyampaikan lewat internet dan kedua dia langsung ke Polri," jelasnya.
Ahmad menyatakan, pemberian badge award masih tahapan perencanaan.
Penghargaan badge award yang diwacanakan menuai pro dan kontra.
Baca juga: Rizieq Shihab: Irjen Napoleon Bonaparte Bisa Dihadirkan di Ruang Sidang, kenapa Saya Tidak?
Sebab, penghargaan ini dianggap membuka peluang masyarakat saling lapor.
"Saya sudah tanya tadi penyidik di Dirsiber mengenai penghargaan yang akan diberikan kepada masyarakat, terkait dengan informasi yang diberikan kepada Polri, itu masih dalam perencanaan."
"Sekali lagi, masih dalam perencanaan," ucap Ahmad.
Baca juga: Ada Kerumunan Pendukung di Sidang Perdana Rizieq Shihab, Kuasa Hukum: Kan Terbuka untuk Umum
Polri, kata Ahmad, masih menggodok ukuran yang jelas perihal siapa yang berhak menerima badge award dari Polri.
"Masih akan diukur, nominasi apa yang akan diberikan kepada seseorang yang menerima badge award."
"Jadi apakah mekanismenya nanti dari kualitas atau kuantitas dari pihak yang membantu Polri dalam hal ini Dittipidsiber," terangnya.
Baca juga: Hentikan Santunan untuk Korban Meninggal Akibat Covid-19, Mensos Risma: Uangnya Tidak Cukup, Pak
Atas dasar itu, ia menambahkan pihaknya meminta masyarakat tidak khawatir terkait wacana badge award yang tengah digodok oleh Polri.
"Ini belum final, tapi memang sudah dalam tahap perencanaan."
"Pokoknya nanti, badge award jadi berubah penghargaan yang akan diberikan oleh Direktorat Siber," tuturnya.
Berpotensi Bikin Takut Berpendapat
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai rencana Tim Siber Bareskrim Polri memberikan badge award, berpotensi membuat warga takut berpendapat.
Terlebih, kata Usman, revisi UU ITE belum masuk prioritas anggota DPR.
Dengan demikian, kata Usman, warga yang mengungkapkan pendapatnya di media sosial akan terus berada di bawah ancaman pidana, selama pasal-pasal karet di UU ITE belum direvisi.
Baca juga: Wajah Doni Monardo Banyak Bertebaran di Jalan, Anggota Komisi VIII DPR: Mau Nyalon, Pak?
“Jika pemberian ‘badge award’ benar-benar dilaksanakan, ini berpotensi membuat warga semakin takut untuk mengungkapkan pendapat."
"Terutama jika pendapatnya kritis terhadap seorang pejabat," kata Usman ketika dikonfirmasi, Selasa (16/3/2021).
Usman menilai seharusnya pemerintah dan DPR seharusnya mengutamakan pembebasan mereka yang dipenjara akibat terkena pasal-pasal karet UU ITE oleh pemerintah, dan merevisi UU ITE.
Baca juga: Masa Simpan Vaksin Covid-19 AstraZeneca Sampai Akhir Mei 2021, Kemenkes Yakin Bisa Segera Dihabiskan
Pemerintah dan DPR, kata Usman, seharusnya mengimbau instrumen negara antara lain polisi, untuk tidak melakukan upaya yang kontra-produktif.
“Rencana ini juga dapat memicu ketegangan dan konflik sosial."
"Yang kedua, kejadian penangkapan seperti yang menimpa warga Slawi dapat terulang lagi."
Baca juga: Kini Semua Lansia Bisa Divaksin Covid-19 di Sentra Vaksinasi Istora Senayan, Begini Syaratnya
"Warga seharusnya tidak perlu takut pada ancaman hukuman pidana atau dipaksa untuk minta maaf, hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai," papar Usman.
Pemerintahan Presiden Jokowi, kata Usman, harus membuktikan pernyataannya terkait upaya memberi rasa keadilan kepada masyarakat, terutama dalam menyampaikan pendapat, kritik atau ekspresi lainnya yang sah.
Meskipun pemerintah telah berulang kali mengaku ingin melindungi, kata Usman, belum terlihat langkah nyata dari pemerintah untuk membuktikan komitmen tersebut.
Baca juga: Tak Komunikasi dan Tidak Kasih Nafkah Sejak Terlibat Kasus di KPK, Harun Masiku Diceraikan Istrinya
"Baru saja polisi menangkap warga Slawi karena dianggap menghina Walikota Solo, Gibran yang juga putra Presiden Jokowi, di media sosial."
"Ini saja sudah menunjukkan betapa kian menyempitnya ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia."
"Bagaimana jika ‘badge award’ benar-benar dilakukan?" kata Usman.
Baca juga: Jhoni Allen Tuntut AHY Dkk Ganti Rugi Rp 55,8 Miliar, Bakal Disumbangkan ke Panti Sosial
Menurut catatan Amnesty, sepanjang 2021 sudah ada setidaknya 15 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE, dengan 18 korban.
Sementara pada tahun 2020, Amnesty mencatat setidaknya terdapat 119 kasus dengan 141 korban, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.
Amnesty mengingatkan hak seluruh masyarakat atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, di antaranya dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Komentar Umum No. 34 atas Pasal 19 ICCPR.
Baca juga: Hasil KLB Deli Serdang Didaftarkan ke Kemenkumham, Partai Demokrat Yakin Yasonna Laoly Objektif
Sedangkan dalam hukum nasional, hak tersebut telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, tepatnya pada Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, serta Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Meskipun hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat dibatasi, pembatasan tersebut hanya dapat diterima dalam keadaan terbatas.
Prinsip-prinsip Siracusa tentang batasan dan penurunan ketentuan dalam ICCPR, yang merupakan sebuah interpretasi ahli atas ICCPR, memberikan panduan lebih lanjut terkait ketentuan pembatasan hak asasi manusia.
Baca juga: Didoakan Kubu AHY, Yassona Laoly: Sebelah Sana Berdoa Juga, Enggak Tahu Mana yang Didengar Nanti
Termasuk di antaranya yakni tidak boleh ada batasan yang bersifat diskriminatif.
Kedua, batasan apapun harus menjawab kebutuhan publik atau sosial yang mendesak, mengejar tujuan yang sah, dan sebanding dengan tujuan itu.
Ketiga, negara seharusnya tidak menggunakan cara yang lebih membatasi daripada yang diperlukan demi pencapaian tujuan pembatasan.
Baca juga: Menteri PPN Suharso Monoarfa: Mudah-mudahan Presiden Bisa Upacara 17 Agustus 2024 di Ibu Kota Baru
Keempat, pembenaran atas pembatasan hak yang dijamin berdasarkan ICCPR dibebankan kepada negara.
Kelima, setiap batasan yang diberlakukan harus tunduk pada kemungkinan untuk digugat dan perbaikan terhadap penerapannya yang sewenang-wenang. (Igman Ibrahim/Gita Irawan)