Bersepeda jarak jauh

Kisah Perjalanan Bersepeda Jarak Jauh Jakarta-Pangandaran via Cianjur Selatan 415Km Sekali Tempuh

Vary Situmorang, seorang pesepeda Jakarta menempuh perjalanan bersepeda jarak jauh Jakarta-Pangandaran 415km bersama Oki Rohimat dan Roi.

istimewa
Vary Situmorang bersama Roi dan Oki Rohimat menempuh perjalanan jarak jauh bersepeda Jakarta-Pangandaran sejauh 415km dalam sekali kayuhan. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Vary Situmorang, seorang pesepeda Jakarta mengisahkan perjalanan jarak jauhnya bersama Oki Rohimat dan Roi menempuh rute Jakarta-Pangandaran lewat Cianjur Selatan dalam sekali jalan.

Kepada Wartakotalive.com, Vary membagikan pengalamannya menempuh rute bersepeda sepanjang 415km dalam sekali waktu kayuhan. Berikut kisahnya: 

Menjelang jam pulang kantor kopi sudah mulai dingin.

Sedikit lagi kandas di dasar cangkir menyisakan ampas.

Sudah memasuki akhir tahun terbesit keinginan yang belum tercapai. Salah satu agenda yang tertunda yaitu bersepeda dari Jakarta menuju Batu Karas, Pangandaran di Jawa Barat melewati jalur Cianjur Selatan.

Jalur ini terbilang jarang dilalui pesepeda karena berelevasi cukup berat.

Namun pemandangan alam yang tersajikan pastinya mengesankan. Jika dilihat di aplikasi Google Map, jarak dari rumah saya ke Batu Karas yaitu 415 Km.

Tentunya rute ini sangat menarik.

Tanpa menunggu lama saya pun menghubungi Roi, sahabat saya melaui pesan WhatsApp untuk ikut bertualang bersama melalui rute ini di pertengahan bulan November.

Kebetulan Roi juga mendapatkan ajakan serupa dari Oki Rohimat lima menit sebelum pesan singkat dari saya. Maka kami bertiga sepakat untuk berangkat bersama.

Hari Sabtu tanggal 14 November 2020 pukul 04.30 disepakati untuk ketemu dan berangkat dari Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Menuju Bogor

Sabtu pagi itu cuaca cukup bersahabat. Setelah menunggu beberapa menit di dekat stasiun MRT Lebak Bulus, Om Roi dan Om Oki muncul ditandai dengan cahaya lampu sepeda mereka yang menyeruak dari kegelapan.

Setelah bertegur sapa dan berdoa untuk keselamatan bersama, tanpa menunggu lama kami langsung mengayuh sepeda menuju kota tujuan pertama yaitu Bogor.

Kawasan Ciputat.
Kawasan Ciputat. (istimewa)

Melewati Ciputat jalan masih relatif sepi aktifitas warga.

Namun kami tetap mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang untuk menghemat tenaga.

Memasuki perempatan Gaplek Pamulang, Jamal sudah menunggu dan langsung bergabung dengan rombongan kami menemani hingga Puncak, Bogor.

Sambil saya kawal di posisi paling belakang melawati daerah Parung ketika hari mulai terang. Kondisi lalu lintas masih cukup lengang dan lancar meskipun melewati Pasar Parung yang terkenal macet.

Warung Mang Ade Puncak

Tepat pukul 06.30 kami sudah tiba di Warung Jambu, Bogor.  

Melewati SPBU, kami berhenti sejenak di sebuah  minimarket  untuk  mengisi  perbekalan air  minum  sekaligus  sarapan bubur  ayam.  

Tak  lama berselang, rombongan roadbikers dari Jakarta juga tiba. Beberapa dari mereka wajahnya cukup familiar karena sering bertemu gowes bersama di komunitas pesepeda Jakarta.

Rombongan ini ternyata menuju Puncak juga. S

ekitar 20 menit beristirahat, kami beranjak melanjutkan mengayuh menuju Puncak.

Seperti biasanya akhir pekan, jalur ini cukup padat. Kami merayap perlahan menikmati suguhan tanjakan rute Puncak yang cukup menguras tenaga berpacu dengan panas dan asap knalpot kendaraan bermotor.

Pukul 10.00 tanpa terasa kami sudah sampai di Warung Mang Ade yang merupakan destinasi favorit parapesepeda untuk singgah jika melewati Puncak Pass.

Warung Mang Ade
Warung Mang Ade (istimewa)

Sementara Om Jamal berbalik arah menuju Sentul via Megamendung.

Tampak beberapa pesepeda sudah lebih dahulu tiba dan asik menikmati sajian makanan dan minuman.

Di sini kami pun menyempatkan untuk mengisi perut lagi dan menambah perbekalan minum.

Tak lama berselang kami menikmati santapan sambil beristirahat, datang juga dari arah Cianjur rombongan pesepeda masuk dan langsung menyapa ramah.

Dari pembicaraan dengan kami rombongan ini dari komunitas yang cukup aktif dan terkenal juga dari Kota Bandung.

Mereka berangkat dari Kota Bandung sedari pukul 07.00 dan akan kembali lagi ke Bandung siang itu juga.   

Salah satu anggota komunitas itu agak terlambat tiba.

Ternyata beliau bersepeda off-saddle dari Cianjur sampai Warung Mang Ade Puncak Pass.

Off-saddle adalah istilah teknik bersepeda yang artinya bersepeda tanpa menggunakan saddle.

Gunanya untuk melatih kekuatan dan daya tahan bersepeda khususnya pada rute menanjak.

Kamipun sempat diwawancara beliau dan belakangan saya tahu ternyata masuk dalam content di kanal Youtube beliau.

Turun ke Cianjur

Tanpa berlama-lama kami di Warung Mang Ade, perjalanan kami lanjutkan menuruni jalanan melewati Ciloto kemudian Cipanas.

Cuaca cerah dan cukup panas menemani sepanjang jalan menurun dengan beberapa tanjakan pendek.

Kondisi jalanan menurun dengan beberapa tikungan tajam cukup merepotkan sepeda saya yang menggunakan rem disc brake mekanik.

Tangan terasa begitu pegal sementara pandangan mata harus konsentrasi ke depan.

Sejak perjalanan-perjalanan sebelumnya, jenis rem ini memang cukup merepotkan dan membahayakan.

Untungnya tidak pernah terjadi hal-hal yang mencelakakan.

Tidak sampai satu jam dari Warung Mang Ade, kami tiba di persimpangan salah satu landmark Kota Cianjur yaitu tugu Lampu Gentur.

Arah ke kiri dan arah lurus menuju Kota Bandung.

Sedangkan arah ke kanan menuju Sindang Barang.

Persimpangan ini lumayan ramai aktivitasnya dengan pusat perbelanjaan dan ruko-ruko di jantung kota yang sudah berdiri sejak abad ke-17 ini.

Rute Sejuk

Dari simpang tugu Lampu Gentur, kami mengarah ke selatan menuju Cibeber.

Cuaca cukup panas siang itu sedikit terhibur dengan pemandangan hamparan hijau area persawahan warga pinggir Kota Cianjur diselingi beberapa rumah makan khas kota ini yang cukup beragam mulai dari seafood hingga warung nasi khas masakan Sunda.

Tanpa terasa kami terus mengayuh, tepat pukul 14.00 kami memasuki Jalan Raya

Cibeber disambut dengan jalanan yang mulai menanjak meliuk melewati rindang pepohonan dan pedesaan menyejukan setelah sejak pagi kami terpapar panas siang.

Speedometer di jam saya sudah menunjukan angka 137 km, makin menanjak makin terlihat jelas pula pemandangan Kota Cianjur yang dikelilingi persawahan.

Tidak heran mengapa sejak dulu kota ini dikenal sebagai penghasil beras.

Warung enak

Ternyata tanjakan Jalan Raya Cibeber ini lumayan panjang menguras kalori yang kami isi di Warung Mang Ade tadi.

Tanpa banyak mengetahui referensi kuliner sepanjang pedesaan Jalan Raya Cibeber ini, kami hanya berharap bisa menemukan rumah makan yang cukup enak.

Seakan doa terjawab, tepat di ujung tanjakan nampak rumah makan bercat hijau muda di sisi kanan dengan area parkir yang cukup luas pula.

Pertanda rumah makan ini biasa disinggahi pelintas dengan kendaraan roda empat.

Nampak jelas tulisan RM SI UWA SINAR MULYA untuk saya ingat untuk singgah kembali jika melewati jalan ini kelak

. Terlihat beragam hidangan khas yang menggoda pada etalase kaca sederhana dan ada dua panci besar di atas meja di sisi kiri dengan satu mangkok besar sambal cabe merah segar.

Tanpa menunggu lama lagi, segera saya letakan ransel di belakang bangku kemudian bergegas mengambil piring dan nasi secukupnya beserta aneka lauk pauk sesuai selera.

Begitu juga dengan Roi dan Oki yang nampak sudah kelaparan juga.

Duduk bertiga kami semeja menikmati hidangan ditemani secangkir teh manis hangat serta susu jahe yang menambah kenikmatan.

Si ibu pemilik warung sesekali menyapa hangat.

Saya sangat impresif dengan rumah makan ini dengan hidangannya yang lezat, bersih dan cukup murah.

Layak dikunjungi jika melintas jalan ini lagi nanti.

Perkebunan teh

Cukup lama juga kami makan dan rehat di warung. Setelah badan terasa segar kembali, kami melanjutkan perjalanan yang menurut perhitungan kami masih sekitar 80 km lagi menuju Kota Sindang Barang.

Terlihat awan sudah mulai gelap, mendung pekat di sisi selatan menandakan sudah hujan di area situ.

Melewati jalan yang kembali mendaki kami nikmati perjalanan dengan riang serta sesekali bercanda. Udara semakin sejuk diiringi rintik hujan mulai turun menyambut kami memasuki perkebunan teh Panyairan milik PTPN VIII dengan gerbang megahnya di sebelah kanan jalan.

Di batas kota.
Di batas kota. (istimewa)

Dalam sejarahnya, keberadaan kebuh teh di daerah Cianjur sudah dimulai sejak tahun 1817.

Jalan meliuk sejuk di perkebunan teh ditambah awan mendung serasa saat itu waktu sudah menunjukan pukul 17.00 lebih.

Padahal jam baru menunjukan pukul 16.00. Tepat di depan gapura gerbang Kecamatan Sukanagara, kami berhenti sejenak untuk berfoto.

Hujan berkabut 

Setelah gerbang itu, jalan menurun cukup terjal dan kabut sudah mulai turun disertai hujan.

Pandangan di kacamata saya tertutup embun.

Saya coba melepas kacamata supaya tidak berbahaya dan pandangan lebih jelas.

Apalagi kondisi jalan menurun yang licin dan bolong-bolong.

Nampak di sebelah kanan saya lembah dengan barisan pepohonan pinus.

Hujan semakin deras, saya menepi sejenak untuk mengenakan jas hujan supaya badan lebih hangat melewati daerah perbukitan yang semakin dingin ini.

Semakin jauh, semakin menyenangkan rute ini meskipun jarak pandangan mulai terbatas.

Hingga tanpa terasa kami memasuki kota Kecamatan Sukanagara dengan alun-alun yang cukup megah.

Terlihat beberapa kantor bank BUMN dan kantor operasional Telkom dan PLN.

Melewati tapal batas kota kecamatan ini kami kemudian disuguhkan pemandangan pedesaan, hutan pinus, persawahan dan tebing alami di sebelah kanan kiri yang silih berganti terlewati.

Memasuki perkebunan teh, kami berhenti sejenak untuk mendokumentasikan  pemandangan hamparan hijau lembah kebun teh  diselimuti  kabut.  

Perjalanan dilanjutkan menuruni perbukitan.

Di sisi kiri terdapat perbukitan dengan pepohonan yang rapat dan air terjun yang membelah lembah mengairi persawahan.

Terlihat jelas kabut menutupi puncak perbukitan.

Pemandangan yang sayang dilewatkan begitu saja. Meskipun hujan, kami menyempatkan diri berswafoto di situ.

Rem blong

Selepas berfoto, perjalanan kami lanjutkan menuju Pagelaran.

Melewati Jalan Pagelaran – Sukanagara hari sudah mulai gelap, lampu depan dan belakang kami nyalakan supaya lebih aman.

Sementara hujan lebat dengan jarak pandang terbatas kami menuruni jalan menurun panjang dan terjal dengan permukaan yang tidak mulus memaksa saya untuk menarik tuas rem tiada henti. 

Sekuat tenaga saya berusaha mengendalikan sepeda.

Sekitar 5 Km kami lalui turunan panjang membelah hutan dan desa, rem belakang saya terasa blong praktis saya hanya pakai rem depan.

Tepat di pelataran warung kami menepi sejenak untuk memeriksa rem. Benar saja, kanvas rem belakang saya sudah renggang.

Dengan bantuan penerangan senter Om Roi, saya rapatkan lagi rem rem belakang supaya lebih aman.

Sop buah tengah malam

Kemudian kami lanjutkan perjalanan.

Masuk daerah kota kecil Pagelaran, suasana sudah mulai sepi dan gelap karena pemadaman listrik.

Mungkin karena hujan dan listrik padam pula maka kota kecil ini terlihat tidak banyak aktifitas warga. Setelah Pagelaran, kami memasuki wilayah Tanggeung.

Wilayah ini cukup unik dan cukup ramai. Terdapat penginapan yang cukup bagus juga di sana.

Perjalanan malam bersepeda.
Perjalanan malam bersepeda. (istimewa)

Meskipun malam, kami masih dapat melihat jalan meliuk mengitari pedesaan dengan hamparan sawah warga di sisi kiri dan kanan dengan jalan yang naik dan turun selepas batas kota.

Sempat kami berhenti di halaman warung yang sudah tutup dan gelap untuk sekedar berteduh di tengah dinginnya malam.

Perut mulai terasa lapar lag i setelah melewati rute panjang dan dingin.

Untungnya Roi membawa cemilan hi-protein, jadi kami sempat mengisi perut. Jam menunjukan pukul sekitar jam delapan malam, kami berharap masih ada warung makan yang buka.

Satu jam berlalu mengayuh jalan naik turun tanpa menemukan warung makan yang buka, sementara Kota Sindang Barang masih jauh.

Ternyata nasib baik masih juga berpihak, kami menemukan satu warung yang masih buka di sebelah kiri di ujung tanjakan terjal yang sempat terlewat oleh Roi dan  Oki. Saya mengajak mereka untuk berhenti sejenak.

Sepeda kami tuntun menepi sambil rebahan di bangku bambu.

Sambil bertanya menu ke si pemilik warung, kami melihat beberapa foto menu yang terpampang.

Ternyata di situ tersedia es buah segar dan mi instan.

Menu yang cocok untuk menambah energi dan vitamin untuk melanjutkan perjalanan. Meskipun agak aneh malam dingin dan hujan malaha menyantap sop buah.

Ternyata sop buah yang kami santap tidak kalah enak dari yang ada di Jakarta.

Irisan buah naga segar, mangga dan kelapa muda dilumuri susu kental manis serta sedikit es menambah kesegaran kami.

Akhirnya semangkuk mi instan lengkap dengan telur dan semangkuk sup buah kami selesaikan dan ditutup dengan segelas teh hangat.

Gelap hutan

Hari makin larut dan dingin, jam menunjukan sekitar pukul sepuluh malam. Ibu pemilik warung mengatakan bahwa Kota Sindang Barang masih sekitar 20 km lagi. Dan setelah warung ini akan ada tanjakan dan hutan.

Informasi ini cukup menghibur kami untuk melanjutkan perjalanan di tengah hujan yang makin lebat dan gelap malam.

Lantas kami lanjutkan perjalanan dengan tenaga yang sudah terisi.

Ternyata benar informasi dari ibu itu tadi, jalan menanjak cukup terjal menukik meniti aspal basah tidak ada penerangan sama sekali.

Sebelum masuk hutan, di sisi kiri nampak jejeran warung berdinding bambu yang sudah tutup. Hanya ada satu warung yang jendelanya terlihat masih buka dengan penerangan seadanya.

Sulit membayangkan malam-malam begini masih ada pembeli yang singgah di warung itu.

Di depan mulai nampak hutan gelap menyongsong tidak jelas arahnya karena gelap pekat.

Hanya lampu dari sepeda kami bertiga yang menerangi jalan.

Di sisi kanan terdengar suara air berarak menuruni tebing diiringi suara serangga menjadi alunan tembang malam menemani kami sambil saya sekali-sekali bersenandung sambil besyukur dan berdoa pada Yang Kuasa.

Sepi malam kami lalui perlahan dengan melewati air terjun kecil di kiri dan kanan jalan bergantian menuju daerah berikutnya yaitu Cibinong.

Tebing longsor

Asyik mengayuh ternyata jalan sudah mulai menurun, kami bisa lebih santai sambil recovery. Tetapi harus tetap waspada karena turunan curam, licin dan gelap.

Di sebelah kiri mulai terlihat hamparan lampu rumah dan garis pantai meskipun gelap. Sepertinya Kota Sindang Barang sudah semakin dekat. Ini membuat kami lebih bersemangat menuruni jalan berbukit  silih berganti melewati turunan dengan tikungan curam.

Di tengah hutan kami berpapasan dengan satu mobil yang supirnya mengatakan ada

tebing longsor di depan nanti.

Benar saja, sekitar jarak 300 meter di depan meskipun gelap terlihat sekitar tiga mobil berjejer berhenti oleh karena sesuatu di depan mereka.

Kami mengurangi kecepatan perlahan melewati tiga mobil itu.

Saat itu saya di posisi paling depan perlahan maju kedepan mencoba melakukan observasi.

Ternyata material longsoran bukan hanya tanah, namun batu-batu besar juga dari tebing sisi kiri.

Dalam hati kami bersyukur pada Yang Kuasa.

Untung saja kami tidak lewat tepat saat material longsor itu turun.

Perlahan saya maju ke depan agak ke kanan menjauhi sisi tebing.

Ketika hendak lebih maju lagi jangkauan jarak pandang saya sangat terbatas karena lampu sepeda saya kurang terang.

Untungnya lampu sepeda Roi jauh lebih terang. Jadi kami bisa melanjutkan perjalanan melewati longsoran dan pekatnya hutan malam itu.

Sekitar 1 km dari lokasi longsor, kami mendengar suara gemuruh dari sisi kiri. Semakin laju kami, semakin dekat suara itu semakin kuat suaranya.

Di kegelapan malam kami masih dapat melihat air terjun dengan tinggi sekitar 30 meter di sebelah kiri dengan air yang sangat deras.

Sungguh luar biasa keindahan alam yang kami lalui meskipun gelap malam kami menikmatinya. Kami sempatkan untuk berhenti sejenak di kaki air terjun persis di pinggir jalan.

Sayangnya malam begitu gelap sehingga kami tidak bisa berfoto.

Sindang Barang

Sekitar 3 Km dari air terjun kami lanjutkan perjalanan masuk wilayah Kota Cibinong.

Kondisi kota sudah sepi malam itu, hanya beberapa warung kecil yang masih buka. Lepas dari Kota Cibinong, kami menuju Cikadu.

Kondisi jalan relatif lebih rata dengan tebing di sebelah kiri dan sungai besar di sisi kanan jalan mengiringi kami.

Melalui pantulan cahaya bulan, dapat terlihat jelas permukaan air sungai penuh karena limpahan air hujan sepanjang hari. Dari Cikadu menuju Kota Sindang Barang kami tidak menemukan hutan lagi.

Tepat pukul dua belas malam, kami tiba di pertigaan jalan.

Terlihat jelas alun-alun Kota Sindang Barang  meskipun  cukup  gelap  karena  pemadaman listrik.  

Pada  penunjuk  jalan terlihat arah ke  kiri merupakan Cidaun yaitu kota tujuan kami selanjutnya.

Perut kembali terasa lapar, harapan kami masih ada warung makan yang buka.

Ternyata hanya ada gerobak tukang martabak manis di depan minimarket yang sudah tutup sedangkan di sisi kanan jalan terlihat beberapa warung makan yang sudah tutup juga.

Kuatir nanti ke arah Cidaun sudah tidak ada lagi warung makan, maka kami berbalik arah menuju sisi barat kota tepatnya di samping masjid raya yang malam itu terlihat masih adanya aktifitas pengajian.

Bakso penyelamat

Di sebelah kiri terlihat warung yang masih buka. Etalasenya nampak beberapa butir bakso dan sedikit bihun.

Kelihatannya menarik juga dinginnya malam menyantap bakso kuah.

Tanpa menunggu lama, kami bergegas menyandarkan sepeda dan bergegas masuk ke warung sambil memesan tiga mangkok bakso kuah.  

Sambil menunggu  pesanan kami  datang, kami  rebahan sambil  melepas lelah  ditemani  suara deburan ombak pantai. Oki sempat mengganti bajunya yang basah kuyup dengan baju yang kering.

Saya dan Roi rebahan sambil sejenak memejamkan mata. Kondisi lelah tidak serta merta membuat saya tidur.

Tak lama berselang, pesanan kami pun tiba.

Kami langsung menyantap hidangan sambil berkelakar melepas lelah setelah siang hingga tengah malah diterpa hujan.

Jalan mulus Pantai Selatan

Jam tanpa terasa sudah menunjukkan pukul 00.30 kami sepakat beranjak melanjutkan perjalanan menuju Cidaun.

Saya sangat terkesan dengan kondisi jalan pantai selatan Jawa Barat terlihat sangat bagus dan lebar.

Malam itu kondisi jalan yang  relatif rata, mulus dan sepi kendaraan. Hujan juga sudah reda membuat kami lebih santai mengayuh.

Menikmati sunyinya tengah malam melewati rumah-rumah warga yang sudah terlelap dalam peraduan sementara kami masih asik menikmati jalan aspal mulus membentang sepanjang pantai selatan Jawa Barat.

Pada beberapa lokasi lampu-lampu jalan berjajar rapih di tepi jalan.

Pembangunan infrastruktur di daerah ini terlihat berkembang pesat dibanding lima tahun lalu terakhir saya melewati jalan ini.

Mungkin karena Ibu Susi Pudjiastuti yang berasal dari pesisir selatan Jawa Barat pernah menjadi menteri perikanan dan kelautan di era kabinet sebelumnya.

Sehingga demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat peisir selatan Jawa Barat, pembangunan infrastruktur wilayah ini menjadi lebih diperhatikan.

Kelapa muda

Satu jam lebih berlalu tanpa terasa kami memasuki wilayah Cidaun.

Tampak pertokoan, minimarket dan beberapa penginapan di sisi kanan persis sejajar dengan pantai. Sepintas terlihat kota ini lebih hidup perekonomiannya dibanding Sindang Barang.

Kurang lebih pukul dua pagi mata kami sudah mulai lelah, kebetulan kami menemukan warung yang masih buka di sisi kanan jalan.

Kami pun berhenti untuk sekedar minum kopi dan sejenak melepaskan lelah. Tak disangka di warung ini ada juga tersedia kelapa muda.

Kopi dan kelapa muda pun akhirnya kami pesan dini hari itu sambil duduk santai dan bercengkrama dengan si pemilik warung sambil bercerita mengenai objek wisata Pantai Ciwidig yang terkenal yang ternyata letaknya tidak jauh dari warung tersebut.

Asyik bercerita, lumayan juga sekitar 15 menit kami sempat berisitiahat.

Dihadang anjing

Hari semakin larut kami lanjutkan perjalanan dengan tenaga tersisa. Jalan lurus mulus yang kami lewati sebagian mulai tergenang air dari hujan deras tadi malam.

Sayang sekali jalan sebagus ini tidak didukung dengan drainase yang mumpuni.

Setelah Pantai Jayanti yang terkenal itu, jalan mulai menanjak menjauh dari garis pantai. Pada beberapa lokasi kami dihadang gerombolan anjing di tengah jalan berkali-kali. Namun kami tetap tenang menjauh perlahan.

Setelah itu jalan menanjak cukup panjang dan menurun dengan gradien sekitar 5 hingga 7 persen silih berganti kami temui. Pada rute bagian ini, energi kami cukup terkuras sementara fisik kami mulai menurun. Dengan kondisi lelah kami sepakat untuk mencari tempat berhenti sejenak untuk rehat. Di kejauhan terlihat di depan kami jalan menanjak terjal dan panjang.

Tepat sebelum tanjakan itu tampak tiga warung berjejer dengan pelatarannya berada di sebelah kiri jalan cukup menarik untuk sekedar rebahan.

Oki rebahan di lantai langsung terlelap mendengkur.

Sementara saya dan Roi duduk bersandar. Saya masih ingat saat itu jam menunjukan angka 03.04. Saya rebahan sambil terjaga menjaga sepeda kami.

Kampas rem habis

Sesaat saya menatap jam, waktu sudah beranjak pada pukul 03.44. Ternyata kami sudah 40 menit beristirahat di situ.

Kami beranjak meninggalkan tempat itu dengan tenaga yang lumayan terisi. Perjalanan kami lanjutkan menuju tujuan berikutnya yaitu Ranca Buaya.

Jalan memutar ke arah utara kemudian turun ke selatan menuju Cilaki melawati jembatan panjang membentang kedua sisi muara sungai Cilaki dihiasi gugusan indah persawahan nan hijau tepat di bawahnya.

Beberapa warga nampak mulai beraktivitas membawa hasil laut dan perkebunan ke pasar. Udara segar pagi, pemandangan muara sungai menuju pantai selatan, hamparan sawahan dan tambak udang adalah perpaduan keindahan yang sangat kami nikmati pagi itu.

Di penghujung tanjakan yang tidak terlalu terjal saya melihat di sebelah kiri ada warung sate yang saya masih ingat 5 tahun lalu saya singgahi ketika melintas jalan itu.

Tepat pukul 04.40 kami tiba di perempatan menuju Pantai Ranca Buaya.

Terlihat ada warung kecil yang sudah buka menjajakan aneka makanan kecil seperti lepet dan bakwan goreng.

Ditemani secangkir kopi hangat kami menyempatkan diri untuk sarapan di warung itu.

Sambil menunggu Oki dan Roi selesai sarapan, saya menyempatkan memeriksa kampas rem belakang saya yang terasa kurang pakem.

Ganti kampas rem yang habis di jalan.
Ganti kampas rem yang habis di jalan. (istimewa)

Ternyata memang kanmpas rem saya sudah habis. Untungnya saya membawa kanvas rem yang baru untuk antisipasi.

Maka saya bergegas mengganti kanvas rem saat itu juga demi keselamatan di perjalanan.

Bubur ayam di Pamengpeuk

Mentari sudah mulai menampakan wajahnya saat kami beranjak dari Ranca Buaya mengarah ke timur menuju destinasi selanjutnya yaitu Pamengpeuk, Garut dengan jarak 37 km.

Sekitar satu jam kami mengayuh melewati indahnya gugusan sawah, kebun dan tambak udang di tepi pantai, tak terasa sudah terlihat Pantai Sentolo, Pamengpeuk.

Memasuki pusat kota kecamatan, mulai terihat ramai aktifitas perkonomian masyarakat.

Kecamatan dengan luas 44 ribu kilometer persegi ini menjadi kota strategis yang menghubungkan Kota Garut dengan berbagai kota di sepanjang pantai selatan di Jawa Barat.

Sesaat kami berhenti untuk sarapan bubur ayam di emperan pertokoan sambil mencari kopi sambil sejenak menikmati kota kecil ini.

Perkebunan Karet Mira Mare

Perjalanan dari Pemengpeuk menuju Pantai Batu Karas, Pangandaran masih menyisahkan 110 Km lagi. Jadi kami perkirakan sekitar 5 sampai 6 jam lagi kami tiba di Batu Karas, Pangandaran.

Sekitar 17 Km bersepeda, kami bertemu dengan rute menanjak melewati perkebunan karet Mira Mare.

Menyusuri perkebunan teh.
Menyusuri perkebunan. (istimewa)

Perkebunan ini sudah ada sejak sekitar tahun 1950 sebelumnya dimiliki oleh NV Franken London, saat ini dikelola oleh PTPN VIII.

Kami sangat menikmati hijau pekebunan yang dengan kondisi jalannya yang saat ini sudah jauh lebih baik dibanding 5 tahun lalu.

Batu Karas

Setelah perkebunan karet Mira Mare mengarah ke Pangandaran merupakan rute terberat bagi kami.

Cuaca panas sepanjang pantai selatan, jalan panjang lurus dan beberapa tanjakan yang tersisa menjadi tantangan sendiri.

Kami sepakat tiap 10 Km untuk beristirahat untuk mempertahankan fisik kami.

Setelah perjuangan panjang tanpa menyerah, pukul 14.00 kami tiba di Batu Karas, Pangandaran dengan selamat.

Kami pun menyempatkan diri untuk berfoto di Pantai Batu Karas untuk mengabadikan momen ini.

Satu lagi perjalanan kami lalui dengan berbagai pengalaman seru yang menambah rasa syukur kami akan kehidupan.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved