Berita Nasional

Mahfud MD Tolak Permohonan Uji Materi dari Gus Dur di MK soal UU Penodaan Agama, Ini Alasannya

Mahfud MD tolak permohonan uji materi dari KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Mahkamah Konstitusi soal UU Penodaan Agama, ini alasannya.

ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI/kompas.com
Mahfud MD tolak permohonan uji materi dari Gus Dur di MK soal UU Penodaan Agama secara daring dalam forum Professor Talk LIPI di Jakarta, Selasa (15/12/2020). Foto dok: Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan sambutan di sela penyerahan kompensasi secara simbolis kepada keluarga korban tindak pidana terorisme di Kemenkopolhukam, Jakarta, Jumat (13/12/2019). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Mahfud MD tolak permohonan uji materi dari KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Mahkamah Konstitusi soal UU Penodaan Agama, ini alasannya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menceritakan alasannya menolak permohonan uji materi dari almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat soal Undang-Undang Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Mahfud yang dahulu bertindak sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada sidang MK 19 April 2010 itu menilai, undang-undang itu dibuat untuk melindungi kepentingan umat beragama, terutama untuk kalangan minoritas.

Video: Soal Ujian Siswa SMP Sebut Anies Diejek Mega, Ketua DPRD Geram dan Ancam Lapor Polisi 

"Karena di dalam PNPS 1/1965 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 itu disebutkan juga '...adapun agama-agama lain (selain enam agama yang diakui negara) dibiarkan adanya," kata Mahfud secara daring dalam forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa (15/12/2020).

Mahfud bercerita, pada waktu UU Penodaan Agama itu digugat karena pemohon berpandangan adanya diskriminasi terhadap agama minoritas dalam undang-undang tersebut.

Baca juga: Muhaimin Iskandar Sebut Membaca Sejarah Gus Dur Sama dengan Membaca Sejarah Bangsa Indonesia

Baca juga: Guyonan Gus Dur soal Polisi Jujur Dipermasalahkan, Stafsus Presiden:Seharusnya Jadi Bahan Evaluasi

"Waktu itu digugat ke MK, bunyi kalimat ini: 'kok, yang lain disebutkan, kok, yang lain dibiarkan?' Saya katakan, yang pertama secara hukum itu urusan bahasa yang dibuat oleh DPR, oleh Bung Karno-lah, pada tahun 1965," kata Mahfud.

Mahfud memandang undang-undang tersebut tidak menyalahi konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 karena kata 'dibiarkan' pada kalimat 'selain agama yang diakui' itu berarti agama tersebut 'tidak diganggu' atau 'diberlakukan sama pembinaannya' dengan agama yang diakui negara.

"Kalau dibiarkan 'kan anggapannya diskriminatif, yang satu dibina, yang satu dibiarkan begitu. Saya bilang tidak. Sebenarnya dibiarkan artinya dilindungi yang agama-agama yang lain itu," kata Mahfud.

Ketua MK periode 2008—2013 itu kemudian mengusulkan agar pemohon dapat mengajukan perubahan bahasa kepada pihak yang mengesahkan undang-undang, yaitu DPR RI.

Baca juga: Ketua GP Ansor Depok: Gus Dur Berikan Contoh Kesederhanaan, Ajarkan Islam yang Ramah

"Diubahnya di DPR saja karena ini soal bahasa. Bukan soal substansi, begitu. Dan tidak ada yang salah dari itu," kata Mahfud pada forum yang membahas riset para profesor LIPI tentang Mewujudkan Harmoni dalam Kebinekaan: Masalah dan Solusinya tersebut.

Mahfud mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki banyak agama dan aliran kepercayaan yang sama-sama berperan membangun kehidupan bermasyarakat yang harmonis di Indonesia.

Namun, adanya nilai-nilai yang berbeda di dalam agama dan aliran kepercayaan yang banyak itu harus terus ditata dengan asas berkeadilan oleh Negara agar keharmonisan bermasyarakat terus berjalan baik.

"Kunci keharmonisan itu, yaitu kita mau hidup bersama di dalam keberbedaan, dengan menyepakati tata nilai," kata Mahfud.

Baca juga: Ketua GP Ansor Depok Terima Pentungan Bambu yang Digunakan Banser Kawal Presiden Gus Dur

Tata nilai yang kita angkat, kata Mahfud, kita ekstraksi dari berbagai perbedaan-perbedaan itu, kita angkat tata nilai yang kita sepakati bersama.

"Lalu itu yang kita sebut ideologi negara Pancasila," kata Mahfud.

Menurut Mahfud, Pancasila itu adalah bentuk penataan nilai-nilai yang masih bisa dikompromikan agar bisa disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia.

kemudian oleh para pendiri bangsa, dijadikan dasar filosofi ideologi dasar negara Republik Indonesia.

Baca juga: Ini Alasan Habib Rizieq Hanya Konsumsi Makanan yang Diberikan Keluarganya Selama Ditahan

"Nah, saudara, Pancasila itu memiliki fungsi dua, sebagai dasar negara dan selain dasar negara," kata Mahfud.

Yang menjadi dasar negara itulah yang melahirkan tata hukum nasional.

Mulai dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, perppu, PP, perpres, perda provinsi, perda kabupaten/kota, dan sebagainya.

"Itu dibuat sebagai peraturan bersama," kata Mahfud.

Mahfud mengatakan bahwa negara harus menitikberatkan pada hukum dan keadilan dalam menata nilai-nilai yang berbeda yang tidak bisa dikompromikan dan menjadi urusan privasi warga negara masing-masing.

Baca juga: PRAKIRAAN Cuaca Rabu, 16 Desember 2020, BMKG: Waspadai hujan disertai petir di Jaktim dan Jaksel

"Karena ini hukum nasional, pelaksanaan harus dipaksakan atau ditegakkan oleh Negara. Anda melanggar maka negara yang turun tangan," kata Mahfud. (Antaranews)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved