Pilkada Tangsel
Tanggapi Kicauan Said Didu dan Panca Laksana Soal Cara Berpakaiannya,Sara: Salah Pelaku atau Korban?
Tanggapi Kicauan Said Didu dan Cipta Panca Laksana Soal Cara Berpakaiannya, Saraswati : Pelecehan Seksual, Salah Pelaku atau Korban?
WARTAKOTALIVE.COM, TANGSEL - Kicauan Said Didu dan politisi Partai Demokrat Cipta Panca Laksana di media sosial terkait 'paha calon Wakil Wali Kota Tangsel mulus' ditanggapi Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.
Calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang mendampingi Muhamad dalam kontestasi Pilkada Tangsel itu mengaku terkejut sekaligus kecewa.
Lewat akun facebooknya, @Rahayu Saraswati D. Djojohadikusumo; pada Senin (6/9/2020) perempuan yang akrab disapa Sara itu angkat bicara.
Diceritakannya, awal dirinya mendengar kabar soal tweet atau cuitan tersebut Sara mencoba menghubungi salah satu dari mereka yang dikenalnya secara pribadi.
Niatnya ketika itu diungkapkan Sara hanya ingin memastikan dua hal, yakni memastikan keaslian akun tersebut dan mengetahui maksud dari cuitannya.
"Tidak lama kemudian saya dapat jawaban bahwa ya, betul itu milik beliau dan bahwa beliau tidak mengetahui siapa yang dimaksud dan kalau cuitannya hanya bercandaan saja," ungkap Sara.
"Jujur. Sebenarnya yang marah itu justru tim saya yang mendampingi saya dan mengerti betul perjuangan saya sebagai aktivis perempuan dan anak," tambahnya.
"Bagi saya, mungkin karena hal seperti ini sudah jadi makanan sehari-hari (istilahnya), saya tidak begitu memikirkan. Apalagi memang selama dua hari setelah cuitan itu muncul, kegiatan di lapangan full, maka saya tidak ada waktu untuk memikirkan soal drama twitter itu," jelasnya.
• Diduga Tidak Berizin, Hotel Aston Kuningan Suites Sulit Dipungut Pajak
Namun, seiring dengan viralnya isu tersebut, dirinya menegaskan kekecewaannya terhadap kicauan tokoh politik tersebut.
Sebab, kicauan yang dituliskan secara langsung mengobjektifikasi perempuan, apalagi seorang calon pimpinan daerah.
"Tapi kalau memang bukan saya yang dimaksud, ya mungkin saja yang dimaksud adalah rival-rival saya yang notabene adalah laki-laki semua, karena jelas yang disebut adalah 'calon wakil walikota Tangsel' bukan calon walikotanya," ungkap Sara.
"Ya, kalau demikian… tentu itu hak dua calon yang lain untuk menanggapi," lanjutnya.
Akan tetapi Sara mengaku tersentak ketika membaca postingan status seorang sahabatnya.
Status itu menyimpulkan pelecehan seksual secara verbal banyak dialami perempuan di seluruh Indonesia.
Sayangnya, aksi itu bukan hanya dianggap hal sepele dan biasa, pelecehan seksual secara verbal pun katanya kini dianggap sebagai pujian.
• Pesta Seks Digelar Dua Kali di Aston Kuningan Suites, Pemprov DKI Jakarta Tidak Bergeming
"Lalu muncul pertanyaan, apakah akan saya laporkan secara hukum. Sekali lagi, kegiatan sangat padat dan saya fokus sosialisasi kepada masyarakat. Saya sampaikan bahwa akan saya pertimbangkan," ungkap Sara.
"Namun mulai muncul juga dorongan dari para pejuang perempuan dan aktivis anti kekerasan seksual. Ada juga yang menanyakan komitmen saya untuk mendukung para korban dan penyintas jika saya saja sebagai figur yang selama ini memperjuangkan nasib mereka tidak memberikan contoh dan mengambil sikap," tambahnya.
Tetapi malam ini dirinya tiba pada titik akhir setelah dirinya menyoroti sejumlah komentar miring yang bermunculan.
Komentar tersebut di antaranya., 'ya mungkin perlu dipertimbangkan… kalau dia tidak berpakaian seperti itu hal seperti ini tidak akan muncul'.
Lalu keluar sejumlah potret yang digunakan sebagai bahan serangan politik identitas dari beberapa bulan sebelum kepastian dirinya maju dalam kontestasi Pilkada Tangsel.
Potret tersebut dikait dengan penggiringan opini yang menyudutkannya seolah-olah melakukan pembodohan publik.
• Aston Tidak Akui Pengelolaan Apartemen Kuningan Suite, Besar Dugaan Tidak Berizin
Terkait hal tersebut, Sara mengajak berdiskusi dengan menimbang sejumlah hal, antara lain :
1. Pelecehan Verbal dalam tulisan
Pelecehan seksual dalam bentuk verbal melalui tulisan yang diunggah di medsos ditegaskannya merupakan sebuah pelecehan seksual.
"Jika ibu anda yang dibicarakan bagian tubuhnya, apakah anda akan merasa tenang-tenang saja? Kalau iya, selesai pembicaraan, bisa stop di sini karena nggak akan nyambung kita," jelas Sara.
2. Reviktimisasi
Apabila yang disalahkan adalah cara korban atau penyintas maupun perempuan berpakaian maka terjadilah reviktimisasi.
Dirinya mengajak masyarakat untuk membaca sejumlah literasi terkait pakaian yang dikenakan penyintas kekerasan seksual.
Seperti artikel www.huffingtonpost.ca
Sejumlah pertanyaan pun disampaikan Sara, di antaranya
Bagaimana dengan kasus-kasus kekerasan di mana perempuan menggunakan baju yang sangat sopan tetapi tetap mengalami kekerasan tersebut?
Bagaimana dengan para TKI kita yang mengalami kekerasan tersebut padahal pasti berpakaian sopan selama bekerja di rumah orang lain, bahkan seringkali mengenakan seragam yang disiapkan?
Bagaimana dengan anak-anak usia balita, 10 tahun, 15 tahun, yang mengalami kekerasan?
Apakah pakaian yang mereka kenakan salah?
Jika ada seorang perempuan berjalan bugil, apakah itu alasan untuk dia bisa diperkosa?
“Oh, ya dia seharusnya pakai baju dong. Kalau jalannya genit ya berarti dia yang minta', Apakah begitu? Mana kemanusiaan anda? Kenapa tidak dipikirkan, apakah mungkin perempuan ini justru membutuhkan bantuan. Mungkin sedang mengalami mental breakdown. Mungkin sedang mengalami episode di mana dia butuh bantuan karena sedang tidak sadar," jelas Sara.
3. Perspektif Terhadap Berpakaian
Secara spesifik, Sara mengungkapkan kasusnya berasal dari pakaian olahraga yang dikenakannya saat sedang berlari pagi.
Sehingga menurutnya, setiap personal, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak atas penilaian serta kesesuaian berpakaian masing-masing tanpa mengalami pelecehan, diskriminasi, nyinyiran dan lainnya
"Apakah pakaian seseorang menentukan akhlaknya? Saya telah menjadi saksi ketika seorang kawan diperlakukan buruk, lalu saat ia tiba-tiba mengubah caranya berpakaian, berubah juga cara orang memperlakukannya. Apakah kawan saya ini langsung berubah kepribadiannya, hanya karena dia mengubah caranya berpakaian dan juga karena berubahnya cara dia dipandang? Tidak!," tegas Sara.
"Sedangkal itukah kita sehingga menilai orang berdasarkan cara dia berpakaian saja?," jelasnya.
Dirinya meyakini pakaian atau penampilan tidak menjamin seseorang bersikap baik.
Menurutnya, banyak orang yang di luarnya kelihatan luar biasa alim, tetapi di balik itu kelakuannya tidak mencerminkan pakaiannya.
Sebaliknya, banyak orang yang bertato dari kepala sampai kaki, tetapi mereka memiliki hati paling mulia yang memberikan perlindungan kepada anak-anak korban kekerasan.
"Di Indonesia banyak dari mereka menampung dan menyelamatkan hewan-hewan yang ditelantarkan dan disiksa. Tuhan bisa 'bekerja' melalui mereka, tapi kita sebagai manusia semudah itu menilai akhlak seseorang hanya dari caranya 'berpakaian'. Hanya dari penampilannya," jelas Sara.
Lebih lanjut dipaparkan Sara, pakaian bisa disesuaikan dengan kondisi dan konteks atau acara.
Apabila dirinya mengenakan pakaian olahraga dengan celana pendek dan tanpa lengan saat bertemu dengan tokoh masyarakat di acara formil dapat disebut tidak sopan.
Tapi apabila berolahraga saja sudah dihakimi, dirinya bertanya tentang kabar para atlet perempuan yang mengenakan pakaian agar bisa memaksimalkan performa mereka.
"Apa dia juga akan dihakimi karena tidak sesuai dengan norma yang ditentukan orang lain? Hak dia adalah berpakaian sesuai dengan keinginannya dan hak orang lain untuk menghormati dan tidak melecehkannya," ungkap Sara.
"Tetapi rupanya masih banyak orang yang lebih senang menyalahkan korbannya dibanding menanyakan akhlak pelaku yang menghakiminya," jelasnya.
4. Politik Identitas
Sedangkan mengenai politik identitas yang dilontarkan pihak tertentu terhadap dirinya, Sara menegaskan hal tersebut merupakan penggiringan opini.
Sebab, dalam banyak kesempatan dirinya selalu mengenakan pakaian yang menurutnya pantas sebagai bentuk kesopanan.
Pakaian yang dikenakan tersebut juga ditegaskan Sara sebagai bentuk penghormatan kepada masyarakat yang mengundangnya.
"Saat berkunjung ke acara yang notabene adalah acara umat Muslim biasanya saya menggunakan kerudung sebagai TANDA PENGHORMATAN saya kepada yang mengundang, atau norma yang ditetapkan di daerah istimewa tersebut, walaupun tidak diharuskan. Hmmm… mungkin saya salah selama ini dengan melakukan itu. Atau budi pekerti yang diajarkan kepada saya selama ini salah, ya?," tanya Sara.
Terlepas dari kekerasan seksual verbal yang dialaminya, Sara menegaskan terdapat banyak kasus pelecehan atau kekerasan seksual terhadap perempuan yang dialami sejumlah korban saat ini.
Seperti seorang ibu rumah tangga berinisial S di Ciputat, Tangsel yang mengalami intimidasi dari keluarga pelaku beberapa waktu lalu.
Padahal aksi pelaku meremas dan memelintir payudara korban sampai berbekas dan memar terjadi hadapan mereka.
selain itu ibu rumah tangga berinisial M yang anaknya penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan seksual di sekolahnya.
Tetapi pihak sekolah justru menawarkan uang ganti rugi dan berpihak pada pelaku.
"Sampai kapan kita akan terus menerima hal seperti ini sebagai bagian dari kehidupan peradaban sekarang?," tanya Sara.
"Saya minta kawan-kawan mengangkat kasus-kasus yang muncul namun hilang lagi. Haruskah kasus diangkat di media baru dianggap serius oleh pelaku dan oknum aparat penegak hukum?," lanjutnya.
Sara menegaskan kasus yang dialaminya tidak sebanding dengan yang dialami ratusan bahkan ribuan perempuan dan anak di seluruh Indonesia.
Sebab diketahui, angka Konten Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse Material atau CAM) di Indonesia pada tahun 2015 merupakan tertinggi di Asia, yakni sekira 150.000 CAM di satu situs medsos.
Artinya, dari tahun 2015 saja ada sekira 150.000 anak yang tidak diberikan pemulihan dan perhatian atas kekerasan dan trauma yang mereka alami.
"Di mana negara? Di mana kalian para hakim maha suci? KITA SEMUA BERTANGGUNG JAWAB. Kita semua mempunyai andil dan bagian masing-masing. Saya berdiri bersama dengan korban dan penyintas pelecehan dan kekerasan seksual," tegas Sara.
"Sudah saatnya pemimpin daerah bergandengan tangan dengan kekuatan masyarakat untuk menyatakan CUKUP pada objektifikasi perempuan, pelecehan seksual verbal maupun fisik, kekerasan seksual, ataupun hal-hal yang melukai martabat perempuan yang adalah seorang ibu, adik, kakak, anak," tambahnya.
"Surga di telapak kaki ibu… namun sang ibu tidak dihormati lagi, maka apakah surga sudah ditinggalkan?," tutup Sara menegaskan.